Dalam masyarakat tradisional, masih tertanam kuat ideologi yang membedakan peran berdasarkan jenis kelamin. Anak laki-laki sejak kecil didorong untuk aktif, eksploratif, kuat, dan banyak bergerak.
Sementara anak perempuan diajarkan untuk tenang, rapi, dan manis. Nilai-nilai ini memang tampak sederhana, bahkan dianggap alami.
Namun, tanpa disadari, pola pikir ini juga memengaruhi cara kita memandang kebiasaan membaca. Hal ini yang membuat kebanyakan pria enggan untuk secara terbuka mengungkapkan kecintaan mereka pada membaca.
Membaca dianggap sebagai aktivitas yang tenang dan pasif dan karena itu, dianggap lebih cocok untuk perempuan. Akibatnya, banyak anak laki-laki tumbuh dengan anggapan bahwa membaca bukanlah kegiatan yang “laki-laki banget”. Padahal, ini hanyalah konstruksi sosial yang perlu kita luruskan bersama.
Dikutip dari Book Orators menungkapkan bahwa anak laki-laki yang menginternalisasi stereotip bahwa anak perempuan memiliki kemampuan membaca yang lebih maju lebih mungkin mengalami harga diri yang lebih rendah dan motivasi akademik yang berkurang. Hal ini diperkuat oleh statistik bahwa hanya 31% gelar Sastra Inggris di Amerika yang diberikan kepada laki-laki.
Bukan hal yang aneh jika di lingkungan sekolah, ruang baca lebih sering diisi oleh siswi. Bukan karena anak laki-laki tidak bisa membaca atau tidak suka membaca, tapi karena sejak kecil mereka dibentuk untuk lebih memilih aktivitas fisik ketimbang aktivitas reflektif. Mereka takut dicap lembek jika terlihat terlalu suka membaca, apalagi fiksi.
Padahal membaca tidak mengenal gender. Kemampuan berpikir kritis, daya imajinasi, empati, dan refleksi, semua manfaat dari membaca dibutuhkan oleh siapa saja, terlepas dari jenis kelaminnya.
Laki-laki juga perlu memahami emosi, memperluas perspektif, dan memiliki kepekaan terhadap isu-isu sosial. Dan buku adalah salah satu media terbaik untuk membangun itu semua.
Mengklasifikasikan membaca sebagai kegiatan feminin sama berbahayanya dengan melabeli olahraga sebagai kegiatan maskulin.
Dua-duanya salah kaprah dan justru membatasi potensi seseorang. Literasi tidak boleh menjadi ranah terbatas, apalagi hanya karena perbedaan peran gender yang diwariskan secara turun-temurun.
Selain itu, kategorisasi genre tertentu (misalnya, fiksi romansa untuk wanita, fiksi ilmiah/sejarah untuk pria) melanggengkan peran gender tradisional, mengasosiasikan wanita dengan emosi dan hubungan, serta pria dengan fakta dan pengetahuan teknis.
Ini berarti bahwa membaca, alih-alih menjadi aktivitas intelektual yang netral, malah menjadi alat budaya yang mengukuhkan bias gender yang ada sejak usia dini.
Jika hal ini terus dibiarkan, terbatasnya paparan anak laki-laki terhadap karakter yang beragam dapat menghambat perkembangan empati dan pemahaman sosial mereka, karena dalam penelitian dikatakan bahwa membaca fiksi sangat terkait dengan peningkatan kognisi sosial dan empati (Mar et al., 2005).
Sudah saatnya kita membuka ruang yang setara bagi semua anak untuk tumbuh dengan kebiasaan membaca, tanpa takut dilabeli ini dan itu.
Anak laki-laki berhak membaca novel fiksi, puisi, bahkan cerita drama sekalipun. Begitu pula anak perempuan, bebas mencintai buku sains, biografi pemimpin dunia, atau sejarah perang.
Orang tua, guru, dan lingkungan sekitar punya peran penting untuk menyampaikan bahwa buku bukan milik satu gender, dan literasi adalah kebutuhan semua orang. Kita perlu menghapus asumsi bahwa membaca hanya cocok untuk anak perempuan, atau bahwa anak laki-laki harus selalu aktif di luar.
Membaca adalah jalan untuk menjadi manusia yang utuh, berpikir tajam, berhati luas, dan bertindak bijak. Dan kualitas seperti itu tidak eksklusif dimiliki oleh satu jenis kelamin.
Baca Juga
-
Ketika Buku Dijuluki 'Barang Bukti': Sebuah Ironi di Tengah Krisis Literasi
-
Pink dan Hijau: Simbol Keberanian, Solidaritas, dan Empati Rakyat Indonesia
-
Jaga Jempolmu: Jejak Digital, Rekam Jejak Permanen yang Tak Pernah Hilang
-
Membaca untuk Melawan: Saat Buku Jadi Senjata
-
Diaspora Tantang DPR, Sahroni Tolak Debat: Uang Tak Bisa Beli Keberanian?
Artikel Terkait
-
Review The Complete Short Stories II: Dunia Kafka dalam Fragmen dan Sunyi
-
Buku The Warren Buffett, Mendalami Ilmu Investasi dari Kisah Warren Buffet
-
Jangan Malu Baca Buku di Tempat Umum: Normalisasi Membaca di Ruang Publik
-
Menelusuri Etos Kerja Lewat Ulasan Buku Rahasia Bisnis Orang Korea
-
Ulasan You and Me on Repeat: Menemukan Jati Diri Lewat Putaran Waktu
Kolom
-
Beban Kelompok: Dari Drama Numpang Nama sampai Fenomena Social Loafing
-
Harga Buku Mahal, Literasi Kian Tertinggal: Alasan Pajak Buku Perlu Subsidi
-
Santri Pelopor dan Pelapor: Melawan Bullying di Pesantren
-
Media Sosial, Desa, dan Budaya yang Berubah
-
Ketika Whoosh Bikin Anggaran Bengkak, Kereta Konvensional Jadi Anak Tiri?
Terkini
-
Bukan Sekadar Suka Bersih, Kenali Gejala dan 5 Tipe OCD Menurut Psikolog
-
Ungkap Ada Rasa Spesial? Ini Hubungan Titi DJ dan Thomas Djorghi
-
Gerbong STY Kian Habis: Kini Giliran Marselino Ferdinan Ditinggal Patrick Kluivert
-
Donald Trump Sambut Positif Desakan Perdamaian di Gaza, Pencitraan Semata?
-
Bangkok 'Ditelan Bumi'! Jalan di Depan Rumah Sakit Amblas Jadi Lubang 50 Meter