Pernahkah kamu melihat seseorang membaca buku di halte bus, di trotoar, atau di dalam angkot, lalu spontan merasa heran atau kagum? Atau mungkin kamu sendiri pernah membaca buku di tempat umum dan merasa seperti makhluk aneh yang sedang diperhatikan?
Padahal, membaca seharusnya menjadi aktivitas yang lumrah dilakukan di mana saja, termasuk di ruang publik. Sayangnya, budaya membaca di tempat umum belum sepenuhnya menjadi hal yang biasa di Indonesia.
Membaca di tempat umum di Indonesia masih sering dianggap aneh atau tidak biasa, membuat individu merasa menjadi pusat perhatian.
Hal ini kemungkinan besar karena kegiatan tersebut belum menjadi kebiasaan umum. Selain itu, membaca seringkali dianggap sebagai aktivitas yang membosankan atau opsional, bukan rutinitas harian.
Dikutip dari Not Just Fiction salah satu hambatan signifikan untuk menormalisasi membaca di tempat umum di Indonesia adalah persepsi sosial dan stigma yang melekat padanya.
Banyak individu merasa malu atau tidak nyaman membaca di tempat umum, khawatir akan menjadi pusat perhatian karena tindakan tersebut dianggap asing atau tidak biasa
Selain itu, dikutip dari Quora membaca seringkali dianggap membosankan, terutama jika kontennya melibatkan bahasa yang kompleks atau teks yang panjang.
Persepsi ini diperparah oleh kurangnya lingkungan sosial yang mendukung dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat luas. Banyak orang tua di Indonesia, misalnya, dilaporkan tidak menyadari pentingnya membaca untuk pendidikan.
Mereka seringkali mendelegasikan tanggung jawab ini sepenuhnya kepada sekolah. Kesenjangan dalam pemahaman orang tua ini berkontribusi pada lemahnya budaya membaca dasar.
Di banyak negara lain, membaca buku di taman kota, kereta bawah tanah, atau kafe adalah pemandangan yang sangat umum.
Tapi di sini, seseorang yang membaca di tempat umum kadang justru dilihat terlalu rajin atau bahkan sok pintar. Pandangan seperti ini perlahan harus mulai kita ubah.
Membaca di ruang publik perlu dinormalisasi, bahkan didorong. Ruang-ruang publik harus bisa menjadi tempat yang mendukung aktivitas literasi, bukan hanya tempat lalu-lalang tanpa interaksi yang nyata.
Ketika seseorang membawa buku ke tempat umum, itu bukan sekadar soal gaya, tapi upaya untuk memberi ruang bagi aktivitas intelektual di tengah kesibukan kota.
Lebih dari itu, membaca di tempat umum bisa jadi inspirasi bagi orang lain. Anak-anak yang melihat orang dewasa membaca buku di kereta atau taman akan tumbuh dengan kesadaran bahwa membaca adalah bagian dari kehidupan sehari-hari, bukan sekadar tugas sekolah.
Untuk kita yang sibuk, membaca di ruang publik juga bisa jadi solusi menyelipkan waktu baca di sela kesibukan. Bawa satu buku di tas, baca saat menunggu ojek online, atau buka e-book selagi menunggu pesanan kopi datang.
Tentu kita butuh kenyamanan dan rasa aman untuk melakukan ini. Maka penting juga bagi pengelola fasilitas publik untuk menyediakan ruang duduk yang layak, pencahayaan yang baik, atau bahkan pojok baca di tempat umum.
Tapi sebelum menuntut itu semua, langkah awalnya bisa dimulai dari kita adalah berani membaca di tempat umum tanpa merasa canggung.
Karena semakin sering kita melihat orang membaca di luar rumah, semakin wajar pula aktivitas ini di mata publik. Kita tak perlu malu terlihat membaca buku di halte, di kafe, atau bahkan di pinggir jalan. Justru dari situlah budaya literasi bisa tumbuh lebih alami dan menyatu dalam kehidupan sehari-hari.
Baca Juga
-
Review Novel Laut Bercerita: Sejara Kelam Penculikan Aktivis Masa Orde Baru
-
Jangan Malu Jadi Pembaca Buku: Membaca Itu Gak Bikin Kamu Antisosial
-
Review Film Jalan Pulang: Teror Sosok Misterius yang Penuh Dendam
-
Klub Baca: Ruang Aman Gen Z untuk Bersuara Tanpa Takut Dihakimi
-
Membaca Buku Bukan soal Menunggu Waktu Luang, tapi soal Menyempatkan
Artikel Terkait
-
Menelusuri Etos Kerja Lewat Ulasan Buku Rahasia Bisnis Orang Korea
-
Ulasan You and Me on Repeat: Menemukan Jati Diri Lewat Putaran Waktu
-
Novel Salty, Spiced, and a Little Bit Nice: Cinta Palsu dan Roti Bebas Gula
-
Ulasan Novel Courtroom Drama: Antara Hati, Hukum, dan Masa Lalu yang Belum Usai
-
Jangan Malu Jadi Pembaca Buku: Membaca Itu Gak Bikin Kamu Antisosial
Kolom
-
Sup Kuning Ikan Patin, Hidangan Pendamai Ibu dan Putrinya
-
Dua Mata Pelajaran yang Harusnya Masuk Kurikulum Indonesia
-
Tambang di Raja Ampat: Ketika Pengecualian Jadi Jalan Resmi
-
Sepiring Nasi Tumpang di Hari Raya, Cerita Persaudaraan yang Tak Terlupakan
-
Jangan Malu Jadi Pembaca Buku: Membaca Itu Gak Bikin Kamu Antisosial
Terkini
-
Sinopsis Kpop Demon Hunters, Idol Kpop Lawan Iblis Pengincar Jiwa Fans
-
5 Alasan Loki Harus Bergabung dengan Bajak Laut Topi Jerami di One Piece
-
Ketar-ketir! Media Vietnam Soroti Naturalisasi di Timnas Putri Indonesia
-
Jadi Presiden Snow di Prekuel The Hunger Games, Ini Tanggapan Ralph Fiennes
-
Sinopsis Head Over Heels, Tekad Seorang Dukun untuk Rebut Cinta Pertama