Pemandangan mahasiswa yang mengerjakan tugas di malam sebelum tenggat waktu, bahkan menit-menit sebelum sistem pengumpulan ditutup, bukanlah hal yang asing. Situasi ini begitu akrab di kalangan kampus, seolah menjadi bagian dari dinamika kehidupan mahasiswa.
Entah itu tugas esai, laporan praktikum, hingga skripsi, semua terasa lebih “mengalir” saat dikerjakan dalam tekanan waktu. Sebagian bahkan merasa performa terbaik mereka justru muncul saat berhadapan dengan detik-detik terakhir.
Namun, di balik kebiasaan ini, muncul pertanyaan besar, apakah ini sekadar budaya deadline, atau tanda dari minimnya sense of urgency di kalangan mahasiswa?
Fenomena ini membuka ruang diskusi yang menarik tentang bagaimana mahasiswa memandang urgensi dan tanggung jawab. Apakah kebiasaan menunda-nunda itu mencerminkan kurangnya kesadaran atas pentingnya waktu, atau justru bentuk adaptasi terhadap tekanan akademik yang tinggi?
Di sisi lain, kita juga harus mencari tahu apakah sistem pendidikan kita turut membentuk pola perilaku yang terlalu toleran terhadap kedaruratan dan ketidakteraturan ini? Dalam konteks tersebut, penting untuk mengevaluasi apakah mahasiswa benar-benar kurang memiliki sense of urgency, atau justru sedang terjebak dalam pola yang membuatnya sulit bergerak lebih awal.
Budaya Deadline: Normalisasi Keterlambatan?
Dalam dunia perkuliahan, deadline telah menjadi semacam “jangkar” dalam sistem kerja mahasiswa. Banyak yang merasa tidak bisa memulai pekerjaan tanpa adanya tekanan waktu yang jelas. Hal ini membuat deadline bukan lagi menjadi pengingat, tapi justru pemicu utama untuk bergerak.
Seiring waktu, kondisi ini menumbuhkan budaya baru, yaitu sebuah pemahaman kolektif bahwa menunda pekerjaan hingga mendekati batas waktu adalah hal yang wajar, bahkan “lumrah” di dunia mahasiswa.
Budaya ini kerap dibungkus dengan dalih kreativitas di bawah tekanan. Padahal, produktivitas yang muncul karena terpaksa sangat berbeda dengan produktivitas yang tumbuh dari kesadaran.
Ketika mahasiswa terlalu mengandalkan tekanan waktu, mereka berisiko kehilangan kesempatan untuk menghasilkan karya yang matang, reflektif, dan berkualitas. Selain itu, tekanan yang terus-menerus akibat kebiasaan menunda juga dapat berdampak negatif pada kesehatan mental.
Kurangnya Sense of Urgency: Masalah yang Lebih Dalam
Sense of urgency adalah kemampuan untuk merasakan pentingnya suatu tugas dan bertindak cepat tanpa menunggu tekanan ekstrem. Dalam konteks mahasiswa, ini berarti mampu melihat tugas sebagai tanggung jawab yang perlu dikerjakan secara terencana, bukan hanya dikejar ketika waktu hampir habis.
Sayangnya, banyak mahasiswa justru kesulitan mengembangkan keterampilan ini karena terbiasa menanggapi tugas hanya ketika sudah mendesak.
Kurangnya sense of urgency bisa muncul karena berbagai faktor. Salah satunya adalah minimnya keterampilan manajemen waktu sejak dini.
Mahasiswa sering kali belum memiliki strategi untuk membagi waktu secara efektif, apalagi ketika dihadapkan dengan berbagai peran lain seperti organisasi, pekerjaan paruh waktu, atau kehidupan sosial. Akibatnya, rasa mendesak baru muncul ketika semua hal menumpuk dan tidak ada jalan lain selain “kejar tayang”.
Membangun Budaya Proaktif di Kalangan Mahasiswa
Mengatasi masalah ini bukan semata-mata soal memberi mahasiswa lebih banyak deadline atau hukuman. Namun dengan membangun budaya proaktif, di mana mahasiswa belajar untuk merencanakan, memprioritaskan, dan bertanggung jawab atas waktunya sendiri.
Institusi pendidikan dapat berperan dengan menyediakan pelatihan manajemen waktu, mentoring produktivitas, atau sistem evaluasi yang menekankan proses, bukan hanya hasil akhir.
Di sisi lain, mahasiswa juga perlu menyadari bahwa produktivitas tidak harus lahir dari tekanan. Rasa mendesak bisa dibangun dari kesadaran bahwa waktu adalah sumber daya yang terbatas.
Dengan membiasakan diri untuk bergerak lebih awal, memberi ruang bagi revisi dan refleksi, serta menghargai kualitas daripada kecepatan, mahasiswa tidak hanya akan lebih tenang, tapi juga lebih siap menghadapi tantangan masa depan.
Kebiasaan mahasiswa mengerjakan tugas di detik-detik terakhir mencerminkan fenomena yang kompleks yaitu antara budaya deadline yang mengakar dan kurangnya sense of urgency yang membudaya.
Untuk membangun generasi pembelajar yang tangguh dan bertanggung jawab, dibutuhkan upaya kolektif dari institusi dan individu untuk menciptakan ekosistem akademik yang mendukung kesadaran waktu. Karena pada akhirnya, urgensi bukan hanya soal mengejar waktu, tapi tentang bagaimana kita menghargainya sejak awal.
Baca Juga
-
Antara Nyaman dan Kebiasaan: Saat Satisficer Bicara Soal Konsistensi Lidah
-
Beban Kolektif Mahasiswa: Saat Tugas Kelompok Tak Lagi Ajarkan Kerja Sama
-
Antara Cinta dan Keharusan: Tekanan Perempuan dalam Memilih dan Mendidik
-
Tidak Sekadar Angka: Ketimpangan Gender di Dunia Kerja yang Masih Menganga
-
Jalan Raya ke Dunia Maya: Ketika Media Sosial Masih Tak Ramah pada Perempuan
Artikel Terkait
-
Beban Kolektif Mahasiswa: Saat Tugas Kelompok Tak Lagi Ajarkan Kerja Sama
-
12 Rekomendasi Laptop untuk Mahasiswa 2025, Mulai Rp 2 Jutaan, Performa Stabil & Bobot Ringan
-
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Amikom Promosikan Mahika Villas Sleman
-
Mitos vs Fakta: Benarkah Mahasiswa yang Modis Itu Tertekan?
-
Kondangan Akademik dan Hutang Sosial yang Tak Tertulis
Kolom
-
Melampaui Slogan: Menantang Ketimpangan Digital bagi Penyandang Disabilitas
-
Reading Slump: Saat Buku Favorit Tak Lagi Menggugah Selera Baca
-
Book Buying Ban: Ujian Terbesar Bagi Pecinta Buku di Era Banjir Diskon
-
Antara Nyaman dan Kebiasaan: Saat Satisficer Bicara Soal Konsistensi Lidah
-
Parade Robot Polisi: Antara Janji Modernisasi dan Kritik Publik
Terkini
-
Debut Akting, Yuna ITZY Main Bareng Park Shin Hye di Miss Undercover Boss
-
4 Pelembap Terbaik Terbukti Efektif Atasi Kulit Kusam dan Bekas Jerawat
-
Dampingi Bojan Hodak Latih Persib, Mario Jozic Akui Betah di Bandung
-
Aleix Espargaro Bingung Kenapa Aprilia Masih Mau Pertahankan Jorge Martin
-
Ulasan Serial Ironheart: Kisah Pahlawan Gen Z yang Penuh Aksi dan Inspirasi