Tugas kelompok yang semestinya menjadi ajang belajar berkolaborasi sering kali justru berubah menjadi sumber frustrasi bagi mahasiswa. Alih-alih bekerja sama, tidak jarang hanya satu atau dua orang yang benar-benar berkontribusi, sementara sisanya bersikap pasif atau bahkan hilang tanpa kabar.
Situasi ini menjadikan tugas kelompok sebagai beban kolektif yang tidak merata, di mana kerja keras hanya dilakukan segelintir orang tetapi nilai dibagi rata. Ironisnya, fenomena ini begitu sering terjadi hingga dianggap lumrah dalam kehidupan kampus.
Fenomena tersebut membuka ruang diskusi yang lebih luas tentang bagaimana konsep kerja sama diterapkan dalam dunia pendidikan tinggi. Apakah tugas kelompok benar-benar dirancang untuk membentuk keterampilan kolaboratif, atau sekadar formalitas pembagian beban akademik?
Di tengah sistem pembelajaran yang semakin padat dan tekanan individu yang tinggi, sering kali kerja kelompok hanya menjadi daftar formal di RPS (Rencana Pembelajaran Semester), tanpa pendampingan yang memadai tentang manajemen tim dan tanggung jawab kolektif. Akibatnya, banyak mahasiswa yang tidak belajar nilai sejati dari kerja sama itu sendiri.
Nama Ramai, Kerja Sepi
Salah satu ironi paling umum dalam tugas kelompok adalah daftar nama anggota yang panjang, namun hanya satu-dua yang benar-benar bekerja. Diskusi kelompok yang seharusnya terjadi justru digantikan dengan obrolan singkat di grup chat yang berisi, “Siapa yang bisa ngerjain bagian ini?” tanpa kejelasan tindak lanjut. Alhasil, beban hanya jatuh pada mereka yang memiliki rasa tanggung jawab lebih besar atau yang enggan melihat nilai kelompok hancur.
Kondisi ini sering kali menciptakan ketegangan internal. Mahasiswa yang aktif merasa lelah karena terus menanggung tanggung jawab kelompok, sementara yang pasif justru tetap menerima nilai yang sama. Situasi ini bukan hanya tidak adil, tetapi juga membentuk budaya permisif terhadap ketidakterlibatan. Dalam jangka panjang, hal ini membuat mahasiswa kehilangan pemahaman akan arti kerja sama yang sebenarnya, yaitu sebagai proses berbagi, bukan melempar tanggung jawab.
Sistem yang Kurang Menghargai Proses
Masalah tugas kelompok bukan hanya soal sikap individu, tetapi juga bagaimana sistem pendidikan merancang dan mengevaluasi kerja kolaboratif. Umumnya, dosen memberikan satu nilai untuk seluruh anggota kelompok tanpa mempertimbangkan kontribusi individu. Akibatnya, mahasiswa tidak terdorong untuk aktif karena tidak ada insentif maupun konsekuensi yang jelas atas keterlibatan mereka.
Idealnya, kerja kelompok dilengkapi dengan mekanisme penilaian partisipasi, refleksi individu, dan supervisi yang memungkinkan setiap mahasiswa bertanggung jawab atas bagian kerjanya. Namun, sistem ini masih jarang diterapkan secara konsisten. Ketika proses tidak dinilai, maka orientasi mahasiswa pun hanya berfokus pada hasil akhir. Padahal, justru dalam proseslah nilai-nilai kerja sama, komunikasi, dan tanggung jawab itu dibentuk.
Kerja Sama yang Tak Pernah Diajarkan
Sering kali mahasiswa dituntut untuk mampu bekerja sama tanpa pernah benar-benar diajarkan bagaimana caranya. Keterampilan seperti membagi peran, mengelola konflik, membuat keputusan bersama, dan berkomunikasi secara efektif tidak otomatis dimiliki semua orang. Sayangnya, pendidikan tinggi lebih sering berasumsi bahwa mahasiswa akan belajar itu semua secara alami lewat tugas kelompok.
Padahal, tanpa pembekalan dan pendampingan yang memadai, tugas kelompok justru bisa memperparah kesenjangan kemampuan sosial antar mahasiswa. Mereka yang cenderung dominan akan mengambil alih, sementara yang kurang percaya diri akan memilih untuk diam atau menghindar. Akibatnya, tugas kelompok malah memperkuat ketimpangan alih-alih menyatukan perbedaan.
Tugas kelompok seharusnya menjadi sarana pembelajaran sosial yang membentuk nilai kerja sama, tanggung jawab, dan komunikasi. Namun dalam praktiknya, justru sering berubah menjadi beban kolektif yang tidak merata. Ketika kontribusi tak dihargai, proses tak diawasi, dan keterampilan kerja sama tak diajarkan, maka tugas kelompok hanya akan melahirkan ketimpangan dan frustrasi. Jika ingin membentuk mahasiswa yang benar-benar siap menghadapi dunia kerja dan kehidupan sosial yang kompleks, maka kerja sama bukan hanya harus dituntut, tetapi juga harus diajarkan dan diapresiasi secara adil.
Baca Juga
-
Antara Cinta dan Keharusan: Tekanan Perempuan dalam Memilih dan Mendidik
-
Tidak Sekadar Angka: Ketimpangan Gender di Dunia Kerja yang Masih Menganga
-
Jalan Raya ke Dunia Maya: Ketika Media Sosial Masih Tak Ramah pada Perempuan
-
Antara Manipulasi dan Legitimasi: Saat Pemerintah Bicara Tanpa Mendengar
-
Dari Kampus ke Desa: Langkah Awal Mahasiswa UMBY Lewat Pembekalan KKN 2025
Artikel Terkait
-
12 Rekomendasi Laptop untuk Mahasiswa 2025, Mulai Rp 2 Jutaan, Performa Stabil & Bobot Ringan
-
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Amikom Promosikan Mahika Villas Sleman
-
Mitos vs Fakta: Benarkah Mahasiswa yang Modis Itu Tertekan?
-
Kondangan Akademik dan Hutang Sosial yang Tak Tertulis
-
10 Aplikasi Wajib Mahasiswa agar Laptop Tidak Cuma Pajangan
Kolom
-
Antara Cinta dan Keharusan: Tekanan Perempuan dalam Memilih dan Mendidik
-
Pahlawan Devisa atau Korban Kebijakan? Kritik Saran Kerja ke Luar Negeri
-
Membaca Buku Nonfiksi Tak Harus Habis: Pilih yang Relate, Ambil yang Perlu
-
Mitos vs Fakta: Benarkah Mahasiswa yang Modis Itu Tertekan?
-
Meneropong Tantangan dan Solusi Literasi Perpajakan bagi Freelancer Digital
Terkini
-
Review Film Adult Best Friends: Masih Bisa Ketawa Sobatmu Nikah Duluan?
-
Mengurai Makna Hubungan Toxic Lewat Lagu Treat You Better oleh Shawn Mendes
-
Bisa Kalahkan Ducati, Maverick Vinales Acungi Jempol untuk Fabio Quartararo
-
4 Sunscreen Lokal Panthenol untuk Lindungi Kulit dan Perkuat Skin Barrier
-
Ulasan Buku Semestaku Semua Tentang Kamu: Monolog soal Kehangatan Cinta