Masuk bioskop dengan niat sederhana: mau nonton film. Popcorn sudah di tangan, minuman sudah dibeli, tinggal duduk manis menunggu layar besar menayangkan trailer-trailer film terbaru. Biasanya, sebelum film dimulai, kita akan disuguhi iklan minuman bersoda, promo e-wallet, atau kadang iklan kopi sachet yang entah kenapa selalu lebih dramatis daripada film yang akan diputar.
Namun kali ini berbeda. Begitu lampu meredup, yang muncul di layar bukan superhero Marvel, bukan pula teaser film horor lokal dengan suara kuntilanak mendayu-dayu. Yang muncul adalah Presiden Republik Indonesia.
Dengan musik latar penuh semangat, video itu menampilkan capaian pemerintah: produksi beras, program makan bergizi, koperasi desa, sekolah rakyat. Semua ditayangkan dengan gaya sinematik seolah-olah ini adalah trailer film blockbuster: Coming Soon, Capaian Pemerintah di Sekitar Anda.
Di titik itu, popcorn hampir tumpah. Rasanya seperti datang ke bioskop, tetapi malah ikut rapat koordinasi nasional.
Bioskop Rasa Balai Desa
Bioskop selama ini adalah ruang netral. Kita datang ke sana untuk melarikan diri dari rutinitas, untuk menenggelamkan diri dalam dunia imajinasi. Ruang gelap, layar besar, dan suara surround adalah janji bahwa sebentar lagi kita bisa jadi siapa saja: penyihir, astronot, pecinta yang patah hati, atau detektif yang memecahkan kasus.
Tetapi bagaimana kalau sebelum itu semua, kita lebih dulu dipaksa menonton "papan pengumuman nasional"? Rasanya seperti mau masuk rumah makan, tetapi sebelum pesan makanan kita harus mendengarkan sambutan lurah tentang keberhasilan program posyandu.
Pertanyaannya: apakah bioskop memang pantas menjadi ruang propaganda?
Pemerintah: Sosialisasi, Bukan Kampanye
Tentu, pemerintah punya penjelasan resmi. Kepala Komunikasi Kepresidenan mengatakan bahwa iklan komersial boleh tayang di bioskop, kenapa iklan pemerintah tidak? Bukankah masyarakat perlu tahu capaian negara? Menurut mereka, ini bukan kampanye politik, melainkan sosialisasi program.
Cinema XXI pun mengakui video itu memang pernah diputar, tetapi mereka mengatakan sudah berhenti sejak 14 September. Sehingga, untuk yang sempat menonton sebelum tanggal tersebut, selamat: anda termasuk penonton eksklusif tayangan perdana "Prabowo di Bioskop".
Dari sisi hukum, memang sulit menuduhnya kampanye terselubung. Tidak ada ajakan memilih. Hanya ada pameran capaian. Tetapi di situlah masalahnya: meski tidak melanggar aturan, rasa-rasanya tetap mengganggu.
Antara Popcorn dan Politik
Bedanya dengan iklan komersial, iklan pemerintah membawa beban politis. Kalau iklan minuman bersoda tayang, kita mungkin mengeluh karena bosan, tetapi tidak ada yang menganggap itu propaganda. Kalau iklan e-wallet muncul, paling kita hanya tergoda promo cashback.
Tetapi begitu kepala negara muncul, narasi berubah. Penonton tidak lagi merasa sedang menonton hiburan, melainkan menjadi audiens sebuah pidato. Ruang hiburan tiba-tiba berubah menjadi aula pertemuan, lengkap dengan sentuhan politis yang tidak bisa dihindari.
Apalagi, video tersebut tayang di bioskop: ruang publik yang seharusnya menjadi tempat netral. Tidak semua penonton punya afiliasi politik yang sama, tidak semua ingin disuguhi pesan pemerintah di waktu senggang mereka.
Bioskop mestinya menjadi ruang eskapisme. Bukan ruang pengingat bahwa setelah menonton film, kita tetap harus menghadapi harga beras, politik anggaran, dan janji-janji program.
Analoginya Banyak
Bayangkan kalau semua ruang hiburan diperlakukan sama. Sebelum konser musik dimulai, ada video capaian pemerintah dulu. Sebelum pertandingan bola dimulai, layar stadion menayangkan program koperasi desa. Bahkan mungkin nanti Netflix juga akan punya "intro kabinet" sebelum drama Korea.
Kalau begini, kita benar-benar hidup dalam "dunia sinematik pemerintahan". MCU bukan lagi Marvel Cinematic Universe, tetapi Ministry Cinematic Universe.
Antara Boleh dan Pantas
Masalahnya bukan sekadar boleh atau tidak boleh. Secara aturan, mungkin memang boleh. Tetapi apakah pantas? Apakah wajar pemerintah masuk ke ruang hiburan rakyat dengan cara seperti ini?
Kalau iklan komersial di bioskop bisa kita anggap sebagai bagian dari ekosistem bisnis, iklan pemerintah ini terasa lain. Karena pemerintah bukan penjual produk, melainkan pemegang kekuasaan. Ketika ia muncul di layar, aura yang datang bukan sekadar promosi, melainkan legitimasi politik.
Dan itu membuat penonton merasa tidak punya pilihan. Mau tidak mau, suka tidak suka, mereka harus menonton. Padahal, di ruang hiburan, pilihan itu penting. Kita boleh memilih menonton film horor atau komedi, tetapi tidak bisa memilih untuk melewatkan video pemerintah.
Dari Rapat RT ke Layar Lebar
Di desa, kita sering melihat papan pengumuman penuh dengan poster program pemerintah: jadwal posyandu, ajakan ikut kerja bakti, laporan realisasi anggaran. Itu wajar, karena papan pengumuman memang fungsinya seperti itu.
Tetapi ketika layar bioskop di kota besar berubah menjadi papan pengumuman raksasa, rasanya jadi aneh. Kita membayar tiket untuk menonton film, bukan untuk mengikuti sosialisasi.
Teringat masa kecil, ketika televisi nasional sering menyelipkan iklan layanan masyarakat di tengah-tengah acara. Bedanya, dulu kita tidak membayar untuk menonton televisi. Sekarang, kita sudah membayar 50 ribu, tetapi masih juga harus menyimak pesan sponsor negara.
Layar untuk Siapa?
Pada akhirnya, persoalan video pemerintah di bioskop ini bukan sekadar soal hukum, tetapi soal etika dan rasa. Pemerintah boleh saja berdalih ini sosialisasi, tetapi publik berhak merasa ruang hiburan mereka diganggu.
Bioskop mestinya menjadi tempat kita melarikan diri dari realitas, bukan diingatkan lagi tentang realitas. Kalau layar lebar terus dipakai menjadi papan pengumuman nasional, jangan-jangan nanti kita harus bawa buku catatan juga, supaya tidak ketinggalan poin-poin penting.
Mungkin suatu hari, sebelum film horor tayang, kita akan dapat video capaian pemerintah dulu. Supaya kalau filmnya terlalu menakutkan, kita bisa menenangkan diri: tenang, negara kita aman, program makan bergizi tetap jalan.
Tetapi sampai saat itu datang, izinkan kami menikmati popcorn tanpa harus ditemani sosialisasi politik. Karena jujur saja, satu-satunya "trailer" yang ingin dilihat di bioskop hanyalah trailer film. Bukan trailer kabinet.
Baca Juga
-
Air Galon, Menteri Pariwisata, dan Sindiran Prilly Latuconsina
-
Rombak Anggaran ala Purbaya: Gebrakan atau Judi Ekonomi?
-
Bebas Pajak Bagi Pekerja Rp10 Juta ke Bawah: Kado Manis atau Ilusi?
-
Air Mata di Kathmandu: Medsos Diblokir, Rakyat Bangkit, Pemerintah Runtuh
-
Purbaya Yudhi Sadewa Jadi Menkeu: Harapan Baru atau Sama Saja?
Artikel Terkait
-
Prabowo Bakal Hadiri Peluncuran 25 Ribu Rumah Subsidi di Bogor, Bunga KPR Tetap 5 Persen
-
Kapolri Listyo Sigit Mau Dicopot Prabowo Lewat Komisi Reformasi Polri? Begini Fakta versi Istana!
-
Gebrakan Prabowo: Usai Copot 5 Menteri termasuk Sri Mulyani, Kirim Surat Terima Kasih Pribadi
-
YLBHI Ingatkan Prabowo: Calon Kapolri Baru Harus Jaga Independensi, Bukan Alat Politik atau Bisnis!
Kolom
-
Menemukan Ketenangan di Tengah Dunia yang Selalu Online
-
Efisiensi Tanpa Overthinking: Menata Ulang Budaya Kerja Lembaga Mahasiswa
-
Singgung Profesionalisme: Vtuber ASN DPD RI, Sena Dapat Kritik Pedas Publik
-
Duet Ayah dan Anak di Pemilu: Sah secara Hukum, tapi Etiskah?
-
Kesesatan Berpikir Generasi: Predikat Tak Harus Verba, Kenapa Kita Salah?
Terkini
-
10 Tahun 'Reply 1988': Ryu Jun Yeol Sempat Absen, Akhirnya Muncul di Acara Spesial
-
Ulasan Novel My Darling Dreadful Thing, Cerita Horor di Rumah Tua Beckman
-
Dua Bulan Aman, Aura Kartu Kuning Justin Hubner Akhirnya Muncul Lagi!
-
Demi Mental Health Anak, Masayu Anastasia dan Lembu Kompak Meski Berpisah
-
3 Pilihan Antiperspirant Andalan untuk Nonton Konser, Bye-Bye Ketiak Basah!