Hernawan | Yayang Nanda Budiman
Sejumlah influencer termasuk Ferry Irwandi ikut dalam aksi di depan Gedung DPR RI, pada Senin (1/9/2025). (Suara.com/Faqih)
Yayang Nanda Budiman

Menteri Hak Asasi Manusia (HAM), Natalius Pigai, mengemukakan gagasan mengenai penyediaan lapangan khusus demonstrasi di halaman Gedung DPR RI. Ide ini, menurutnya, bertujuan memfasilitasi warga dalam menyampaikan pendapat secara damai, sekaligus menjaga ketertiban umum. Beberapa kalangan menyebut gagasan ini patut diseriusi karena dapat menjadi jalan tengah antara hak konstitusional dan keteraturan publik.

Namun, di balik tawaran solusi infrastruktur ini, muncul pertanyaan yang lebih mendasar: apakah masalah demokrasi kita benar-benar terletak pada ketiadaan ruang fisik untuk menyuarakan aspirasi? Ataukah persoalan sebenarnya berada pada sikap etis para pemegang mandat yang enggan membuka jarak dengan rakyatnya?

Aspirasi yang Terhambat

Demonstrasi, sejak lama, menjadi kanal utama ketika mekanisme representasi politik tidak berjalan efektif. Warga turun ke jalan bukan karena sekadar mencari ruang berkumpul, melainkan karena merasa aspirasinya tidak didengar melalui jalur formal. Orasi di depan DPR merupakan simbol bahwa suara rakyat ditujukan langsung kepada lembaga perwakilan.

Dalam praktiknya, sering kali aspirasi tersebut tidak dijawab secara terbuka. Legislator lebih memilih menutup pintu rapat ketimbang berdialog dengan massa yang menunggu di luar pagar. Situasi inilah yang menimbulkan kesan bahwa jarak antara konstituen dan legislator kian melebar. Maka, menyediakan lapangan khusus demonstrasi tanpa diikuti perubahan sikap etis berisiko menjadikan aspirasi hanya bergema di ruang kosong.

Infrastruktur Tanpa Substansi

Membangun lapangan dengan panggung orasi, pengeras suara, dan jalur evakuasi tentu dapat meningkatkan kenyamanan teknis. Namun, infrastruktur fisik tidak otomatis menghadirkan demokrasi substantif. Aspirasi baru bermakna jika ada pihak yang bersedia mendengar dan menanggapi.

Jika lapangan demonstrasi berdiri megah tetapi para legislator tetap enggan menemui konstituen, ruang itu hanya akan menjadi taman aspirasi yang sepi respons. Demokrasi akan merosot menjadi seremonial: rakyat berhak berbicara, tetapi wakil rakyat tidak wajib menjawab.

Risiko Pembatasan

Usulan ini juga berpotensi menimbulkan masalah baru. Jika lapangan demonstrasi dijadikan satu-satunya lokasi sah untuk menyampaikan pendapat, maka kebebasan berekspresi justru bisa terkerangkeng. Demonstrasi di luar lokasi resmi berisiko dipandang ilegal dan dibubarkan aparat dengan alasan ketertiban.

Padahal, konstitusi menjamin kebebasan warga untuk menyampaikan pendapat tanpa syarat lokasi tertentu. Dengan demikian, penyediaan lapangan khusus seharusnya dipahami sebagai alternatif, bukan pembatasan. Demokrasi yang sehat menuntut keterbukaan ruang, bukan pembatasan formal.

Jejak Gagasan Serupa

Perlu dicatat, ide ruang demonstrasi bukan hal baru. DPR pernah merancang pembangunan “Alun-alun Demokrasi” di kompleks parlemen pada periode 2015–2019. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga sempat membangun Taman Aspirasi di kawasan Monas. Namun, keduanya tidak berjalan efektif. Penyebab utamanya bukan pada aspek fisik, melainkan pada minimnya komitmen politik untuk menjadikan ruang tersebut sebagai medium dialog nyata antara rakyat dan wakilnya.

Menjembatani Jarak

Dalam konteks ini, masalah utama demokrasi Indonesia bukanlah ketiadaan ruang, melainkan keterputusan komunikasi. Rakyat membutuhkan saluran aspirasi yang tidak hanya simbolis, tetapi juga substantif. Legislator perlu hadir, bukan sekadar secara fisik, tetapi dengan kesediaan mendengar dan merespons.

Usulan lapangan demonstrasi baru akan bermakna apabila disertai mekanisme yang mewajibkan pimpinan lembaga terkait keluar menemui massa, mendengarkan orasi, dan membuka dialog. Tanpa itu, aspirasi rakyat akan tetap berputar di ruang yang tertutup rapat.

Kesimpulan

Penyediaan lapangan demonstrasi di halaman DPR dapat menjadi salah satu upaya memperbaiki tata kelola penyampaian aspirasi. Namun, gagasan ini bukan jawaban atas akar persoalan demokrasi kita. Masalah mendasar justru terletak pada etika politik: keberanian legislator untuk membongkar jarak dengan rakyat, mendengar kritik, dan menjawab aspirasi secara terbuka.

Demokrasi bukan sekadar persoalan tata ruang, melainkan sikap moral dan komitmen untuk menghargai suara rakyat. Infrastruktur fisik dapat membantu, tetapi jiwa demokrasi hanya akan hidup jika ada kesediaan kuasa untuk benar-benar mendengar.