Zohran Mamdani resmi terpilih sebagai Wali Kota New York City. Ia bukan hanya mencatat sejarah sebagai wali kota Muslim dan keturunan Asia Selatan pertama di kota tersebut, tetapi juga langsung menegaskan arah politiknya lewat keputusan yang mengejutkan banyak orang, bahwa seluruh anggota tim transisinya adalah perempuan.
Dalam konferensi pers di Queens, Mamdani yang berusia 34 tahun itu memperkenalkan tim transisi yang dipimpin oleh Elana Leopold sebagai direktur eksekutif.
Anggotanya termasuk Maria Torres-Springer (mantan wakil wali kota pertama), Lina Khan (mantan ketua Federal Trade Commission di era Joe Biden), Grace Bonilla (CEO United Way of New York City), dan Melanie Hartzog (mantan wakil wali kota bidang kesehatan dan layanan sosial).
Langkah ini terasa lebih bermakna bila mengingat siapa yang ia kalahkan: Andrew Cuomo, politikus senior yang kariernya diwarnai dengan skandal pelecehan terhadap perempuan di tempat kerja.
Mamdani, di sisi lain, justru mempercayakan transisi kekuasaan kepada para perempuan yang punya rekam jejak kepemimpinan dan integritas di berbagai sektor publik.
Keputusan itu bukan hanya simbolik. Di tengah dunia politik Amerika yang masih didominasi laki-laki kulit putih, Mamdani menunjukkan bahwa representasi bukan sekadar narasi kampanye.
Ia benar-benar menggeser pusat kekuasaan dari tangan yang sama selama puluhan tahun, ke mereka yang selama ini jarang diberi ruang untuk memimpin.
Tim transisi adalah fondasi pemerintahan baru. Mereka menentukan arah, membentuk prioritas, dan menyusun sistem kerja yang akan dijalankan selama masa jabatan. Dengan mempercayakan posisi penting itu kepada para perempuan, Mamdani tidak hanya bicara soal kesetaraan, tapi juga soal cara baru memerintah.
Langkah ini konsisten dengan gaya kampanyenya yang sangat grassroots. Mamdani turun langsung ke jalan, ke pusat komunitas, ke bar, ke klub malam, bahkan ke senior camp.
Seolah ingin bertemu setiap warga New York sebelum terpilih. Pendekatan itu membuatnya terasa dekat, bukan hanya dengan para pemilih muda, tapi juga kelompok minoritas dan komunitas kreatif yang selama ini merasa tidak terwakili di ruang politik.
Bagi generasi muda, keputusan Mamdani terasa seperti bukti bahwa politik bisa tampak berbeda. Bahwa keberanian memilih orang yang tepat, bukan yang biasa, bisa mengubah sistem dari dalam.
Mungkin ini awal dari bab baru, di mana empati, inklusivitas, dan keberanian untuk mendengar menjadi standar baru kepemimpinan.
CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Perempuan dan Perceraian: Perjuangan Kalahkan Stigma, Bukan untuk Dikasihani
-
5 Rekomendasi Aplikasi Kencan Terbaik, Zohran Mamdani dan Istrinya Bertemu di Hinge
-
PDIP Sindir Pemimpin Fasis dan Zalim Lewat Tokoh Wayang Prabu Boko, Siapa Dimaksud?
-
Jadi Wali Kota Muslim Pertama di New York, Ini Fakta Menarik Zohran Mamdani
-
Cristina Macina, Pemimpin Perempuan yang Dorong Masa Depan Pangan Berkelanjutan di Indonesia
Kolom
-
Nelayan Banyuwangi dan Perjuangan Menjaga Laut dari Kerusakan
-
Dari Cerita dan Moral Pesisir, Kita Belajar Hakikat Manusia
-
Laut Mengambil Kembali Haknya: Belajar Etika Ekologi dari Abrasi
-
Bukan Sekadar Tenda: Menanti Ruang Aman bagi Perempuan di Pengungsian
-
Hijau Spanduk, Hitam Kehidupan: Belajar dari Pesisir yang Katanya Ekologi
Terkini
-
CERPEN: Sang Pembohong
-
Menaklukkan atau Bertahan? Belajar Harmoni dengan Alam dari Cara Hidup Masyarakat Pesisir
-
Lewat TGIP, FIKOM Mercu Buana Buka Akses Kreatif untuk Generasi Muda
-
Tak Terlihat tapi Tajir: Siapa Sebenarnya Para Ghost Rich Indonesia?
-
Balong Tumaritis, Kolam di Jawa Barat yang Airnya Tak Pernah Benar-Benar 'Diam'