Pada peristiwa penjarahan rumah beberapa anggota DPR yang sempat viral kemarin, perhatian kita sebagai netizen sempat tertuju pada jenis barang-barang mewah yang diamankan warga. Di antaranya adalah jam tangan mewah, koleksi action figure mahal hingga tas branded.
Nah, barang-barang yang dimiliki oleh seseorang biasanya sedikit banyak mencerminkan nilai-nilai yang diprioritaskan dan gaya hidup yang dianut sang pemilik. Terkait hal tersebut, ada hal yang cukup menggelitik dibalik preferensi barang-barang mewah yang ada di rumah anggota dewan. Yakni tidak ada satu pun buku yang ditemukan!
Saya berasumsi bahwa tidak adanya buku yang ikut dijarah barangkali karena memang buku adalah jenis barang yang tidak menarik. Tidak menarik untuk dijarah, atau tidak cukup menarik untuk dimiliki oleh si empunya rumah.
Namun, dari jejak digital yang ada, kita bisa melihat bahwa di antara beberapa puing-puing sisa penjarahan, memang tidak ada satu pun buku yang terlihat di sana.
Ini menjadi ironi yang amat disayangkan. Kekuasaan dalam dunia politik ini ternyata jauh dari dunia intelektual. Lantas, apa jadinya masa depan suatu bangsa ketika rumah para pemegang kebijakannya ternyata kosong dari bahan bacaan?
Anggota dewan ini kan seharusnya menjadi tokoh-tokoh yang berpikir, lalu merumuskan kebijakan untuk rakyat. Mereka diharapkan menjadi orang-orang yang mampu mewakili suara rakyat dengan bijak. Menjadi seorang perumus kebijakan seperti itu tentu membutuhkan skill pengambilan keputusan yang baik.
Lalu dari mana skill tersebut bisa diperoleh? Ya tentu saja dengan kebiasaan untuk melek dengan keadaan sekitar. Entah dengan banyak membaca, menganalisis informasi, atau berpikir kritis tentang fenomena yang terjadi di masyarakat. Dan semua hal tersebut hanya bisa dicapai dengan adanya tradisi intelektual dan besarnya perhatian terhadap literasi.
Coba bandingkan dengan beberapa tokoh politik dunia seperti Abraham Lincoln, Wilson Churchill, hingga Barack Obama. Atau jangan jauh-jauh, deh. Di Indonesia sendiri, kita punya sejarah para pendiri bangsa yang sangat besar perhatiannya terhadap buku. Mulai dari Soekarno yang gemar membaca, Bung Hatta yang pernah dijuluki Si Kutu Buku, hingga BJ. Habibie yang punya perpustakaan pribadi sekaligus ruang kerja di rumah mewahnya.
Lihatlah, betapa timpangnya kondisi mereka yang dikenal sebagai politisi karena buku dan pemikiran, dengan mereka yang dikenal karena jam tangan miliaran.
Andai nih, mereka mau menukar barang-barang branded itu seharga buku, saya yakin mereka bisa mendirikan satu perpustakaan besar di sudut rumah dengan jumlah puluhan ribu buku yang tidak bakal habis dibaca seumur hidup.
Tapi itu cuma berandai-andai. Karena ketika kita melihat kebijakan yang diciptakan oleh para elit politik kita, sepertinya masih didominasi oleh kebijakan yang bersifat reaktif dan pragmatis, minim riset, dan tidak berbasis pengetahuan.
Jadi, sebenarnya kita tidak perlu heran ketika apa yang tercermin dari politisi kita hari ini adalah hal-hal yang bersifat materialistik ketimbang usaha untuk menciptakan keberpihakan kepada rakyat. Jika mereka saja tidak membaca, bagaimana bisa kita berharap akan tercipta kebijakan dari hasil pemikiran mendalam?
Ini bisa menjadi pelajaran berharga bagi kita sebagai warga negara. Bahwa kita perlu menerapkan standar yang lebih tinggi jika suatu hari nanti kembali diberi kesempatan untuk memilih wakil rakyat. Yakni pilihlah mereka yang peduli dengan budaya literasi.
Tapi standar yang lebih tinggi itu tetap tidak bisa terwujud kalau masyarakatnya sendiri yang tidak teredukasi. Maka dari itu, sebelum lantang berteriak tentang betapa jauhnya para elit politik dari kebijakan berlandas ilmu pengetahuan, kita sendiri yang harus memulai kebiasaan membaca dan memahami dengan baik.
Ketika masyarakat teredukasi, niscaya propaganda menyesatkan dan janji-janji politik tidak akan mudah menggoyahkan kita untuk memilih pemimpin yang tidak kapabel di bidangnya, suatu hari nanti.
CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Ironi Kasus Keracunan Massal: Ketika Petinggi Badan Gizi Nasional Bukan Ahlinya
-
Harga Buku Mahal, Literasi Kian Tertinggal: Alasan Pajak Buku Perlu Subsidi
-
Public Speaking yang Gagal, Blunder yang Fatal: Menyoal Lidah Para Pejabat
-
Headline, Hoaks, dan Pengalihan Isu: Potret Demokrasi tanpa Literasi
-
Polemik Bu Ana, Brave Pink, dan Simbol yang Mengalahkan Substansi
Artikel Terkait
-
Puan Maharani Pimpin Reformasi DPR; Gebrakan Awal, Tuntutan Publik Menyusul?
-
Shanju Istri Jonathan Christie Kena Semprot, Dianggap Tak Peka dengan Penderitaan Rakyat
-
Punya Platform Besar, Apakah Andovi da Lopez Juga Terima Chat Tawaran Jadi Buzzer Kontra Demo?
-
Ngaret dari Jadwal, BEM SI Tetap Gelar Aksi di Depan Gedung DPR RI: Bebaskan Kawan Kami!
-
Guru Besar Bongkar Akar Masalah Indonesia: Bukan DPR, Tapi Partai Politik
Kolom
-
Delman di Tengah Asap Kota: Romantisme yang Menyembunyikan Penderitaan
-
Satu Tahun Prabowo Gibran: Antara Kepuasan Publik dan Kegelisahan Kolektif
-
Boleh Cuti Haid, Asal Ada Bukti: Kenapa Hak Perempuan Harus Diverifikasi?
-
Ketika Laki-Laki Takut Sama Perempuan Sukses: Fenomena Men Marry Down
-
Menelusuri Jaringan Pasar Gelap Satwa Liar dan Lengahnya Negara
Terkini
-
Merasa Lelah? 4 Buku Kesehatan Mental Ini Siap Temani Kamu Pulihkan Diri
-
Bukan Singa atau Hiu, Ternyata Ini 5 'Pembunuh' Paling Efektif di Dunia Hewan
-
Alex Pastoor Soroti Target Timnas Indonesia ke Piala Dunia 2026, Tak Logis?
-
Gagal Lolos Piala Dunia, 3 Hal Ini Wajib Dievaluasi dari Timnas Indonesia!
-
STY Kerap Digoreng Isu Bahasa, Penjelasan Eks Ketua Umum PSSI Berikan Tamparan Menohok!