Hayuning Ratri Hapsari | Akramunnisa Amir
Ilustrasi seseorang yang membaca berita (Freepik)
Akramunnisa Amir

Kalau ditanya, seberapa sering sih kita membaca sebuah tulisan pendek maupun artikel dari baris judul hingga selesai? Tiap orang barangkali akan berbeda kebiasaan.

Ada yang memang membaca dari awal hingga akhir untuk mendapatkan gambaran informasi secara detail, ada pula yang hanya mengambil gagasan utama dari sebuah bacaan untuk memperoleh informasi secara sekilas saja.

Terlepas dari cara kita terkait merespons sebuah informasi, hal itu memang tergantung kebutuhan tiap individu. Tapi yang cukup memiriskan saat ini adalah menyaksikan betapa banyak orang yang mencukupkan diri hanya membaca judul bacaan atau headline dari sebuah berita.

Misalnya saat membaca berita dengan judul yang clickbait. Lantas, kita buru-buru mengambil sebuah kesimpulan padahal belum membaca isi keseluruhan. Lalu melompat ke headline lain dan memperoleh kesimpulan baru yang hanya berdasarkan asumsi.

Contoh lain misalnya kebiasaan baca di media sosial. Kita menemukan sebuah utas yang membahas kasus yang cukup heboh. Karena tidak sabar untuk membaca sampai tuntas, kita kemudian tersulut emosi. Lantas, ikut nimbrung dengan memberi komentar di utas tersebut meskipun dengan komentar yang sebenarnya nggak nyambung.

Dalam kasus-kasus yang receh, hal-hal seperti di atas sebenarnya nggak menjadi masalah yang besar. Tapi kalau sudah berbicara tentang politik dan huru-hara yang terjadi di sebuah negara, menjadi pembaca yang nggak kritis itu sangat merugikan. Sebab, segala kebijakan yang ter-framing oleh media akan mempengaruhi kehidupan kita sebagai masyarakat. 

Kita jadi mudah dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu. Mulai dari buzzer politik, media yang cuma ingin traffic-nya naik, hingga oknum brand atau korporasi yang niatnya cuma buat jualan dengan memanfaatkan berita yang menyulut emosi pembacanya. Sadar nggak, kalau yang terjadi sekarang arahnya sudah seperti itu?

Akhir-akhir ini, media dan pemberitaan begitu heboh dengan berbagai headline yang sensasional. Khususnya dalam ranah politik, pemerintahan, dan rakyat.

Namun, di tengah huru-hara yang terjadi di negara ini, kita juga dihebohkan dengan berita kriminal yang bombastis, gosip artis, hingga kasus receh yang viral di media sosial. Dan hal ini seringkali menjadi pengalih dari sebuah berita tentang kebijakan pemerintah dan isu politik yang cukup kontroversial.

Ditambah lagi, adanya media yang pragmatis hingga peran buzzer ikut memecah belah fokus kita. Jika sebagai masyarakat, kita nggak punya kemampuan literasi yang baik, kita akan mudah untuk terpancing berita yang hanya sekedar pengalihan isu ataupun informasi hoaks yang beredar.

Jadi, masalahnya di sini bukan sekedar bagaimana media mengobrak abrik perhatian kita, tetapi juga tentang kita sebagai pembaca yang mudah terprovokasi. Ketika sebuah negara memiliki rakyat yang hanya sibuk dengan informasi yang dangkal, maka di situlah demokrasi akan mudah dijegal.

Prinsip mereka, ketika ada sebuah kebijakan politik yang hanya mementingkan oknum elite tertentu, sodorkan rakyat dengan sebuah narasi yang menjadi distraksi. Buat rakyat teralih dari berita penting menuju hal-hal yang sepele, maka informasi yang seharusnya diketahui khalayak akan mudah tenggelam.

Oleh karena itu, solusi untuk mengatasi hal ini adalah kembali memperbaiki budaya literasi. Sebab, literasi di sini berperan sebagai filter dalam menyaring sebuah informasi.

Jadi, jangan cuma berhenti di bagian headline ketika membaca sebuah berita. Tetapi juga membaca secara keseluruhan dengan memahami konteksnya.

Selain itu, penting untuk mengecek sumber dan hanya memproses informasi yang betul-betul valid. Nggak sekedar komen, like dan share berita hanya karena FOMO. Karena pada akhirnya, proses berjalannya demokrasi di tengah gempuran informasi hari ini juga ditentukan dengan seberapa besar perhatian kita untuk menajamkan kemampuan literasi.