Hayuning Ratri Hapsari | Akramunnisa Amir
Kepala Badan Gizi Nasional, Dadan Hindayana (Suara.com/Lilis Varwati)
Akramunnisa Amir

Coba bayangkan, kamu kelaparan di perjalanan lalu di depanmu ada sebuah resto yang belum pernah kamu datangi. Tapi menurut ulasan di internet, masakannya nggak enak. Pemilik resto nggak paham kuliner. Kokinya juga belum berpengalaman. Setelah mengetahui hal tersebut, masih kepengin nggak makan di sana?

Kira-kira begitulah gambaran persoalan terkait program Makanan Bergizi Gratis (MBG) yang dicanangkan oleh pemerintah.

Program yang menyerap anggaran lebih dari 300 Triliun tersebut bisa dibilang adalah  program yang cukup besar. Namun mirisnya, pelaksanaannya beberapa bulan ini kerap menuai kontroversi. Salah satunya adalah masalah keracunan yang telah terjadi di berbagai daerah.

Sebagai masyarakat, tentu wajar jika kita bertanya-tanya tentang manajemen yang ada di balik program MBG. Kenapa untuk hal-hal seperti ini, pemegang kebijakan di balik program besar ini masih saja kecolongan? Mirisnya, kasus keracunan adalah masalah yang sudah terjadi berulang.

Ketika menilik manajemen yang ada, amat menarik ketika kita mengetahui fakta bahwa ternyata para petinggi BGN (Badan Gizi Nasional) yang menjadi garda terdepan dalam tata laksana program ternyata bukanlah orang-orang yang memiliki latar belakang sebagai ahli gizi. Sebut saja kepala BGN, Dadan Hindayana memiliki latar belakang pendidikan entomologi (ilmu serangga).

Dalam jajaran petinggi MBG berikutnya, beberapa orang lainnya adalah purnawirawan Polri hingga mantan tim sukses Pemilu. Ini menjadi hal yang cukup memiriskan. Pasalnya, kita berharap bahwa para pimpinan dari Badan Gizi setidaknya adalah orang-orang yang profesional di bidang gizi. Bukan malah justru mereka yang berlatar belakang pensiunan polisi atau politisi yang aji mumpung.

Di bidang pendidikan saja, seorang kepala sekolah setidaknya pernah menempuh studi sebagai sarjana pendidikan. Atau misal nih, seseorang pasti bakal nggak mau naik pesawat kalau tahu yang mengemudikan pesawat adalah pilot yang belum punya jam terbang yang tinggi.

Nah, ibarat makan di resto namun yang masak bukan koki yang ahli masak, program MBG ini berada dibawah tanggung jawab orang-orang yang bukan pakar di bidangnya. Bagaimana bisa kita mengharapkan visi misi MBG untuk meningkatkan gizi anak sekolah ketika para petingginya nggak kapabel untuk urusan tersebut?

Maka jangan jika masyarakat mulai sangsi dengan kebijakan yang ada terkait MBG ini. Dengan melihat latar belakang dari para petinggi yang memegang kebijakan, masyarakat bisa saja berasumsi bahwa kebijakan tersebut akan mengarah pada kepentingan politik yang nggak berdasar pada keilmuan. Dan amat disayangkan jika seandainya kebijakan yang ada hanya cenderung pada pencapaian target yang dihitung oleh angka dan nominal rupiah.

Akibatnya bisa kita lihat sekarang. Nggak ada standarisasi yang jelas. Bahkan bisa jadi, program ini hanya sekedar formalitas. Kesannya asal jadi, yang penting kenyang, meskipun kadang nggak memenuhi standar kebutuhan gizi harian anak.

Belum lagi dengan kasus keracunan massal, menu yang terkadang adalah makanan ultra proses yang nggak sehat, serta logistik dan distribusi yang rawan bermasalah.

Hal seperti ini bukan masalah sepele karena sudah berkaitan dengan persoalan kesehatan anak. Bahkan ada beberapa kasus yang nyaris mengancam nyawa karena adanya kelalaian dari pihak pelaksana.

Sayang sekali jika anggaran yang cukup besar untuk memperbaiki gizi ini malah menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat.

Bukannya ingin menolak program dengan visi yang sebenarnya baik ini, namun besar harapan bahwa ke depannya ada keterlibatan para ahli gizi dalam perencanaan dan pelaksanaan program. Sehingga visi terkait peningkatan gizi dalam rangka mencerdaskan bangsa bisa tercapai.

Saya pribadi sebagai seorang ibu muda yang rela hitung-hitungan untuk memenuhi asupan gizi anak di rumah, berharap bahwa pemerintah juga punya bentuk perhatian dan keresahan yang sama. Sebab ini bukan lagi soal memikirkan perut satu anak, tetapi jutaan anak se-Indonesia.