Saat membaca judulnya: Evil Does Not Exist, yang tayang eksklusif dalam rangkaian Jakarta World Cinema (4 September - 4 Oktober 2025) di KlikFilm, kesannya tuh ada semacam paradoks.
Iya, kejahatan nggak pernah ada. Seolah-olah Ryusuke Hamaguchi, sutradara Jepang satu ini tengah bermain-main dengan keyakinan moral kita. Bagaimana mungkin dia berani berkata demikian, ketika sejarah manusia penuh perang, perampasan, dan luka yang nyata?
Hamaguchi membawa pernyataan itu ke dalam film drama terbarunya dengan durasi ±106 menit dengan sinematografi yang ditata Yoshio Kitagawa dan musik melankolis dari Eiko Ishibashi.
Di pusat cerita, ada Takumi (Hitoshi Omika), duda yang hidup bersama putri kecilnya, Hana (Ryo Nishikawa), di desa kecil di pinggiran Tokyo. Hidup mereka sederhana; menebang kayu, menimba air dari mata air, memasak dengan wasabi liar yang ditemukan di hutan. Kehidupan yang seolah-olah bebas dari hiruk-pikuk modernitas, nyaris seperti dunia yang utuh tanpa cacat.
Namun kedamaian itu goyah ketika perusahaan kota hendak membangun resort glamping di hutan desa. Dua pegawai, Takahashi (Ryuji Kosaka) dan Mayuzumi (Ayaka Shibutani), dikirim untuk menyosialisasikan proyek. Namun, alih-alih menemukan warga desa yang bisa dibujuk, mereka malah menghadapi komunitas yang paham betul dampak ekologis dari pembangunan itu. Perdebatan pun terjadi sepanjang durasi bergulir.
Gugatan Terhadap Cara Kita Memahami Moral
Di titik ini, mudah sekali bagi penonton untuk melabeli, ‘perusahaan itu jahat dan desa itu baik’. Namun Hamaguchi, dengan kesabarannya, menolak narasi hitam-putih itu. Karakter Takahashi dan Mayuzumi nggak digambarkan sebagai monster (jahat). Mereka manusia rapuh, pekerja biasa yang bahkan mulai goyah ketika menyadari proyek yang mereka jalankan bisa melukai keseimbangan alam.
Begitulah cara Hamaguchi menguji penontonnya, apakah benar kejahatan itu ada, ataukah ‘kejahatan’ hanyalah konsekuensi dari pilihan-pilihan manusia yang terlalu sering dibungkus kata indah dalam hal pembangunan, kemajuan, dan modernitas?
Ya, aku mulai mengerti mengapa film ini berjudul Evil Does Not Exist. Karena yang disebut ‘jahat’ nggak pernah berdiri sendiri. Datang dalam rupa tokoh antagonis tunggal, muncul lewat sistem, ambisi, bahkan kompromi kecil yang kita biarkan.
Takumi, yang terlihat begitu bersih dan sederhana, hanyalah seorang ayah yang ingin melindungi rutinitas kecil bersama anaknya. Desa bukanlah surga yang sempurna, kota pun bukan neraka yang penuh setan. Alam dalam film ini nggak punya niat baik atau jahat; hanya bereaksi. Jika sungai tercemar, jika tanah rusak, jika keseimbangan hutan terganggu, itu bukan karena alam jahat, melainkan karena manusia yang terlalu gegabah.
Maka, ketika film ini mencapai akhirnya yang ambigu dan gelap, aku benar-benar terdiam. Hamaguchi nggak ngasih jawaban pastinya, hanya pertanyaan, ‘apa benar kejahatan itu nggak ada?’
Bagiku, judul film ini bukan pernyataan, melainkan gugatan. Gugatan terhadap cara kita memahami moral. Kita suka menunjuk ke luar, mencari sosok jahat yang bisa disalahkan, agar kita merasa aman di pihak yang baik. Padahal, seringkali, kejahatan lahir dari akumulasi keputusan-keputusan kita sendiri, dari keserakahan yang kita anggap wajar, dari ambisi yang kita bungkus dengan alasan mulia.
Itulah mengapa Film Evil Does Not Exist begitu menohok. Yang nggak sebatas kisah benturan antara desa dan kota, melainkan meditasi tentang bagaimana kita menamai sesuatu sebagai ‘jahat’, dan betapa mudahnya kita lupa kalau wajah kejahatan bisa jadi adalah wajah kita sendiri.
Sudahkah Sobat Yoursay nonton Film Evil Does Not Exist?
Baca Juga
-
Review Film Andai Ibu Tidak Menikah dengan Ayah: Nggak Semudah Itu Jadi Ibu
-
Review Film Menjelang Magrib 2, Nggak Ada Alasan Buat Dilanjutkan!
-
Kala Film The Conjuring: Last Rites, Mengemas Lebih Dalam Arti Kehilangan
-
Kala Romansa Musikal Melenggang di Busan International Film Festival
-
Panji Tengkorak: Ambisi Besar yang Tenggelam di Tengah Keadaan
Artikel Terkait
-
Profil Nandi Juliawan, Pemeran Encuy di Preman Pensiun Meninggal Dunia
-
4 Fakta Film Operasi Pesta Pora, Kejutan di Pestapora 2025 yang Dibintangi Iqbaal Ramadhan
-
Penayangan Black Phone 2 Makin Dekat, Universal Pictures Rilis Trailer Baru
-
Jadi Bintang Utama, Alan Ritchson Mainkan Film Terbaru tentang Navy SEAL
-
Sinopsis SICCIN 8, Film Bergenre Horor yang Siap Tayang 11 September
Kolom
-
Deadline Tuntutan 17+8 Sudah Lewat: Para Karyawan Lagi-lagi Tak Ada Niat!
-
Narasi Damai ala Influencer: Cara Komunikasi Pemerintah yang Hilang Arah
-
Kesejahteraan Guru Terancam? Menag Bilang 'Cari Uang, Jangan Jadi Guru!'
-
Demokrasi Bukan Sekadar Kotak Suara, Tapi Nafas Kehidupan Bangsa
-
Repot? Mempertanyakan Sikap Pemerintah pada Tuntutan Rakyat 17+8
Terkini
-
Kode Halus SBY untuk Prabowo di Pameran Seni: Rangkul Seniman Demi Redam Amarah Massa?
-
Skandal Domino Menteri Kehutanan: Beneran Nggak Kenal atau Tanda Hilangnya Integritas?
-
Jejak Kreatif Futsal dalam Mengubah Wajah Gaya Hidup Generasi Muda
-
Futsal sebagai Medium Terapi Jiwa: Mengubah Emosi Menjadi Kekuatan Positif
-
Main Futsal Resmi 2 Babak, Tapi Anak Tongkrongan Tahan Setengah Babak Aja