Hikmawan Firdaus | Yayang Nanda Budiman
Ilustrasi Bendera One Piece (Suara.com)
Yayang Nanda Budiman
Baca 10 detik
  • Pemerintah baru merespons simbolis, sementara tuntutan struktural masih diabaikan.
  • Semakin alot pemerintah, semakin besar jurang ketidakpercayaan rakyat.
  • Gerakan 17+8 menuntut reformasi mendasar, dari tarik TNI dari sipil hingga audit DPR.
[batas-kesimpulan]

Akhir Agustus 2025, jalan-jalan di berbagai kota besar dipenuhi suara demonstran yang menuntut pemerintah memenuhi agenda 17+8. Dari Jakarta hingga Bandung, dari Yogyakarta sampai Makassar, masyarakat sipil membawa satu pesan yang sama. Mereka menyerukan daftar panjang janji reformasi yang belum pernah ditunaikan. Gerakan ini berisi tujuh belas tuntutan jangka pendek yang ditargetkan selesai pada awal September 2025 dan delapan tuntutan jangka panjang yang diberi batas waktu sampai Agustus 2026. 

Isi tuntutan tidak abstrak. Mereka meminta penarikan TNI dari fungsi sipil, penghentian kriminalisasi terhadap demonstran, dan pembentukan tim investigasi independen atas kasus kekerasan aparat. Nama Affan Kurniawan dan Umar Amarudin kembali diteriakkan dalam aksi massa, keduanya menjadi simbol duka karena tewas akibat represi. Ada pula tuntutan transparansi anggaran negara, pembekuan tunjangan DPR, serta revisi regulasi kepolisian. Pada tuntutan jangka panjang, agenda yang dibawa lebih struktural. Audit independen DPR, reformasi partai politik, dan penguatan lembaga HAM menjadi sorotan.

Pemerintah tidak sepenuhnya diam. Presiden Prabowo Subianto mengumumkan penghapusan tunjangan DPR dan moratorium kunjungan luar negeri anggota dewan pada 31 Agustus 2025. Beberapa hari kemudian, DPR menyetujui penghentian tunjangan rumah dan ikut melaksanakan moratorium tersebut. Menko Yusril Ihza Mahendra lalu menggelar rapat koordinasi antar-kementerian. Ia menyatakan pemerintah akan merespons tuntutan rakyat, tetapi tidak semua bisa diwujudkan dengan segera.

Meski begitu, langkah-langkah ini masih bersifat simbolis. Yang disasar baru hal-hal permukaan, sementara tuntutan yang lebih mendasar belum tersentuh. Maka pertanyaan yang muncul di tengah publik adalah mengapa pemerintah tampak begitu alot?

Salah satu jawabannya terletak pada politik kepentingan. Beberapa poin tuntutan menyinggung jantung kekuasaan. Penarikan TNI dari ranah sipil bukan hanya soal teknis, melainkan menyentuh tradisi panjang keterlibatan militer dalam urusan domestik. Begitu pula desakan pembentukan tim independen untuk mengusut kekerasan aparat. Jika dijalankan, hal itu bisa membuka borok institusi yang selama ini terlindungi. Pemerintah tahu, memenuhi tuntutan ini berarti mengganggu kenyamanan lingkaran kekuasaan sendiri.

Ada pula faktor birokrasi yang cenderung menolak perubahan. Tuntutan masyarakat sipil sering dipandang sebagai gangguan, bukan sebagai koreksi. Stabilitas dijadikan alasan utama untuk menunda. Padahal stabilitas yang bertumpu pada represi bersifat rapuh, mudah pecah ketika ketidakadilan semakin menumpuk.

Selain itu, terdapat paradoks dalam politik hukum. Pemerintah sering menegaskan komitmen terhadap demokrasi, namun praktik di lapangan menunjukkan hal sebaliknya. Aktivis lingkungan, mahasiswa, hingga buruh masih menghadapi kriminalisasi. Demokrasi hanya hadir dalam retorika, sementara represi tetap berjalan.

Jangan lupakan juga faktor ekonomi. Banyak tuntutan menyangkut konflik tanah, pelanggaran hak masyarakat adat, dan kerusakan lingkungan. Semua ini terkait erat dengan investasi dan proyek strategis nasional. Pemerintah lebih memilih menjaga arus modal ketimbang berhadapan dengan investor. Maka tidak heran jika sejumlah tuntutan yang menyentuh sektor ekonomi nyaris tidak digubris.

Sikap alot ini bukan berarti pemerintah tidak mampu. Justru sebaliknya, mereka sangat paham konsekuensi dari pemenuhan tuntutan. Karena itu yang dipilih adalah kompromi. Beberapa tuntutan dipenuhi agar publik melihat ada respons, sementara yang berpotensi mengguncang fondasi kekuasaan ditunda.

Tetapi penundaan tidak menyelesaikan masalah. Semakin lama pemerintah berkelit, semakin dalam jurang ketidakpercayaan masyarakat. 17+8 bukan sekadar daftar aspirasi aktivis, melainkan refleksi dari krisis demokrasi yang dirasakan luas. Mengabaikannya hanya akan memperlebar luka antara rakyat dan penguasa.

Sejarah mencatat, ketika rakyat bersuara keras dan pemerintah menutup telinga, yang lahir bukan ketertiban, melainkan gebrakan. Pemerintah mungkin merasa konsesi kecil cukup meredakan protes. Namun masyarakat sipil sudah terlanjur sadar bahwa demokrasi tidak bisa berdiri di atas simbol. Ia menuntut keberanian politik yang nyata.