- Padahal regulasi jelas mewajibkan uang saku, jaminan sosial, dan perlindungan bagi pemagang.
- Praktik ini memperparah ketimpangan sosial, sehingga harus dihentikan demi keadilan kerja.
- Unpaid internship mengeksploitasi tenaga muda dengan dalih “belajar” tanpa memberi upah.
Di banyak papan lowongan magang, kita sering menemukan kalimat manis: “Kesempatan emas untuk belajar dan menambah pengalaman.” Namun, di balik kalimat itu, sering tersembunyi praktik eksploitatif bernama unpaid internship, magang tanpa bayaran.
Dengan dalih memberi pengalaman, banyak perusahaan justru mengubah tenaga muda menjadi mesin kerja gratis. Fenomena ini bukan hal baru. Dalam dunia kerja, terutama di sektor kreatif, media, dan lembaga swadaya masyarakat, unpaid internship sudah lama dianggap lumrah.
Perusahaan berkilah, magang bukanlah pekerja penuh sehingga tidak berhak atas upah. Magang dianggap sebatas “kesempatan belajar” di lapangan. Padahal, di banyak kasus, beban kerja yang diberikan sama beratnya, bahkan kadang lebih, dibanding karyawan tetap.
Argumen utama yang selalu diulang adalah bahwa magang memberi manfaat berupa ilmu, jejaring, dan pengalaman. Namun, argumen ini rapuh. Belajar tentu penting, tetapi jika pekerjaan yang dilakukan magang bersifat produktif dan berkontribusi langsung terhadap keuntungan perusahaan, mengabaikan upah adalah bentuk ketidakadilan.
Seorang mahasiswa yang harus menulis laporan riset, membuat desain promosi, atau bahkan membantu menyusun strategi pemasaran jelas sedang menghasilkan nilai tambah. Jika karyawan tetap mendapat bayaran untuk pekerjaan serupa, mengapa tenaga magang dibiarkan tanpa kompensasi? Di sinilah letak persoalan unpaid internship: ia memanfaatkan ambisi dan kerentanan anak muda untuk menutupi ongkos produksi perusahaan.
Magang kerja sebenarnya bukanlah sesuatu yang bisa dilakukan sembarangan. Pemerintah telah mengaturnya secara khusus dalam peraturan perundang-undangan. Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mendefinisikan pemagang sebagai bagian dari sistem pelatihan kerja yang diselenggarakan secara terpadu, dengan bimbingan langsung dari instruktur atau pekerja berpengalaman. Tujuannya jelas, yaitu agar peserta magang menguasai keterampilan tertentu, bukan untuk menjadi tenaga kerja murah.
Lebih jauh, Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Pemagangan di Dalam Negeri mengatur dengan rinci hak dan kewajiban pemagang serta perusahaan. Pasal 10 ayat (2) mewajibkan adanya perjanjian pemagangan tertulis yang memuat hak dan kewajiban kedua belah pihak, program pemagangan, jangka waktu, dan besaran uang saku.
Bahkan Pasal 13 ayat (1) menegaskan bahwa pemagang berhak atas bimbingan, fasilitas keselamatan kerja, uang saku, jaminan sosial, serta sertifikat pemagangan. Komponen uang saku pun sudah dijelaskan dalam Pasal 13 ayat (2), mencakup biaya transportasi, uang makan, dan insentif. Jangka waktu pemagangan maksimal satu tahun.
Dengan demikian, unpaid internship sejatinya bertentangan dengan roh regulasi. Bagaimana mungkin perusahaan mengklaim ingin “mendidik” sementara mereka abai pada aturan yang jelas menyebutkan kewajiban memberikan uang saku? Regulasi ini dibuat bukan hanya untuk melindungi pemagang, tetapi juga agar perusahaan tidak semena-mena menghemat biaya operasional dengan menekan tenaga muda.
Sayangnya, meski aturan sudah ada, praktik unpaid internship masih terjadi di banyak tempat. Perusahaan sering berkilah bahwa mereka tidak punya cukup dana untuk membayar tenaga magang, atau menyebut pengalaman lebih berharga daripada uang saku. Padahal, pengalaman kerja dan kompensasi finansial bukanlah dua hal yang harus dipertentangkan. Keduanya bisa berjalan beriringan.
Di sisi lain, unpaid internship memperkuat ketimpangan sosial. Hanya mereka yang berasal dari keluarga cukup mampu yang bisa mengambil kesempatan magang tanpa bayaran. Anak-anak muda dari kelas menengah ke bawah sulit untuk ikut serta, karena mereka butuh penghasilan untuk sekadar membiayai hidup. Posisi strategis di masa depan akhirnya hanya diisi oleh mereka yang mampu “membayar” pengalaman dengan tenaga gratis. Demokratisasi kesempatan kerja pun menjadi semu.
Meski begitu, generasi muda mulai menyadari ketidakadilan ini. Di media sosial, semakin banyak suara yang menolak unpaid internship. Kesadaran kritis ini harus dibarengi keberanian universitas dan pemerintah untuk menegakkan aturan. Universitas tidak seharusnya memaksa mahasiswanya mencari magang tanpa memastikan perlindungan hukum. Pemerintah pun wajib memastikan perusahaan menaati UU Ketenagakerjaan dan Permenaker 6/2020, agar kegiatan magang benar-benar menjadi ruang belajar, bukan ladang eksploitasi.
Dunia kerja seharusnya menjadi ruang pembelajaran yang adil. Jika perusahaan benar-benar ingin memberi pengalaman, mereka bisa tetap membayar magang dengan uang saku minimal sebagaimana diatur dalam peraturan. Bentuk penghargaan itu bukan hanya soal angka, tetapi simbol pengakuan bahwa kerja manusia, sekecil apa pun, punya nilai. Unpaid internship mungkin terlihat sepele, tetapi ia menyimpan persoalan besar. Ia mencerminkan bagaimana kita menormalisasi ketidakadilan atas nama pengalaman. Jika dibiarkan, ia akan terus mereproduksi budaya kerja yang timpang, di mana yang kuat semakin diuntungkan dan yang lemah semakin tersisih.
Magang seharusnya menjadi jembatan bagi anak muda memasuki dunia kerja. Namun, jika jembatan itu hanya bisa dilewati mereka yang mampu bekerja gratis, kita sedang membangun sistem yang cacat sejak awal. Sudah saatnya kita berhenti menganggap unpaid internship sebagai hal lumrah. Tenaga, waktu, dan pengetahuan anak muda tidak boleh diremehkan. Mereka layak dihargai, bukan dieksploitasi. Pengalaman memang penting, tetapi keadilan jauh lebih penting.
Baca Juga
-
Sesak Ruang Digital Penuh Komentar hingga Iklan Hasil Deepfake Judi Online
-
Protes Gen Z di Nepal: Refleksi Kritis tentang Empati dan Keadilan Sosial
-
Reshuffle Kabinet Merah Putih dan Janji Perubahan yang Masih Samar
-
Kasus Ferry Irwandi, Patroli Siber dan Menyempitnya Ruang Demokrasi Digital
-
Menagih Kembali Tuntutan Rakyat 17+8, Sudah Sejauh Mana?
Artikel Terkait
-
CEK FAKTA: Mahasiswa Demo di Mako Brimob pada 7 September 2025?
-
Mahasiswa KKN UNS Kembangkan Program 'Berseri' untuk Kelola Sampah Organik di Serangan
-
4 Alasan Kenapa Organisasi Tak Lagi Jadi Pilihan Utama Mahasiswa
-
Demo 10 September 2025: Aktivis-Mahasiswa Demo di Polda Metro Buntut Penangkapan Delpedro Cs
-
Mahasiswa Geruduk DPR: Ultimatum 17+8 Tuntutan Rakyat Menggema!
Kolom
-
Sikap Ksatria Rahayu Saraswati, Teladan Integritas dalam Dunia Politik
-
Timnas Gagal Lagi: Proses Tanpa Arah dan Suporter yang Semakin Lelah
-
Sesak Ruang Digital Penuh Komentar hingga Iklan Hasil Deepfake Judi Online
-
Politik Ketakutan: Membungkam Kritik dengan Label Pidana
-
Public Speaking yang Gagal, Blunder yang Fatal: Menyoal Lidah Para Pejabat
Terkini
-
Startup Indonesia Gandeng Zeroboard Jepang untuk Tekan Emisi Karbon
-
Bedah Tuntas Kontroversi Rahayu Saraswati: 4 Poin Viral yang Berujung Mundur dari DPR
-
Klarifikasi Menkeu Purbaya usai Anak Sebut Menteri Agen CIA di Instagram
-
Art Jakarta 2025: Lebih dari Sekadar Pameran, Ini Cara Mendukung Ekosistem Seni Indonesia
-
Skakmat Mahfud MD untuk Nadiem Makarim: 'Orang Bersih, tapi Tak Paham Birokrasi Sama Sekali'