Hikmawan Firdaus | Yayang Nanda Budiman
Ilustrasi situs judi online diblokir pemerintah [Suara.com/Antara]
Yayang Nanda Budiman
Baca 10 detik
  • Fenomena ini merusak interaksi publik, menurunkan kepercayaan, dan menyasar semua kalangan.
  • Butuh strategi komprehensif: regulasi tegas, moderasi AI, penegakan hukum, & literasi digital.
  • Kolom komentar YouTube & iklan Facebook dibanjiri promosi judi online, bahkan dengan deepfake.
[batas-kesimpulan]

Kolom komentar YouTube kini tak lagi sekadar ruang interaksi penonton dan kreator. Di antara pujian, kritik, atau sekadar canda warganet, tersembunyi pola yang makin masif berupa promosi judi online. Mulanya hanya berupa kalimat samar seperti ajakan mencoba sebuah gim yang disebut bisa membuat cepat kaya, lengkap dengan tautan yang disisipkan. Lama kelamaan komentar itu muncul dalam berbagai variasi, diunggah berulang kali dengan ratusan akun berbeda. Seolah komentar organik, padahal jejaknya menunjukkan sebuah operasi sistematis.

Fenomena ini bukan sekadar gangguan estetika di dunia maya. Ia menggerogoti ruang digital dengan menjadikan kanal publik sebagai pasar gelap perjudian. Lebih mencemaskan lagi, komentar-komentar itu sering muncul di video yang sama sekali tidak berkaitan dengan perjudian. Tutorial memasak, musik anak, hingga ceramah keagamaan pun tak luput. Targetnya jelas siapa saja tanpa memandang umur.

Keresahan tidak hanya datang dari penonton yang terganggu dengan banjir komentar berisi tautan judi. Para kreator konten pun merasakan dampak serius. Kolom komentar yang mestinya menjadi ruang interaksi hangat dengan audiens justru dipenuhi pesan seragam yang mengganggu percakapan. Tidak sedikit kreator mengeluh bahwa citra kanal mereka ikut tercoreng karena seolah memberi ruang bagi promosi ilegal.

Jika di YouTube promosi judi menyelinap lewat komentar, di Facebook wajahnya lebih canggih. Iklan-iklan yang muncul di beranda kadang menampilkan tokoh publik atau selebritis terkenal. Namun, perhatikan lebih seksama. Gerak bibirnya janggal, intonasi suaranya kaku, dan ekspresi wajahnya terlalu sempurna. Itulah rekayasa deepfake yang meminjam identitas orang lain untuk membujuk pengguna bergabung ke situs judi online.

Ada menteri yang wajahnya dipoles sedemikian rupa seolah sedang memberikan testimoni. Ada pula aktor ternama yang diubah menjadi juru bicara meyakinkan publik bahwa situs tertentu aman dan resmi. Padahal semuanya palsu. Ironisnya, konten semacam ini justru lolos dari sensor awal platform bahkan muncul sebagai iklan berbayar.

Narasi yang dibangun sengaja menyentuh aspek psikologis. Tawaran cepat kaya, peluang pendapatan pasif, atau testimoni kebahagiaan semu ditaburkan untuk menjerat. Seperti umpan yang dilemparkan ke laut luas, selalu ada yang menyambar terutama generasi muda yang aktif berselancar di media sosial.

Fenomena ini menyingkap satu persoalan besar. Platform digital raksasa belum mampu menghadang gelombang judi online. Moderasi konten berjalan lambat, sementara teknologi penyamaran promosi kian maju. Deepfake AI memungkinkan siapa saja mengubah wajah menjadi wajah tokoh terkenal hanya dengan beberapa klik. Hasilnya bukan lagi parodi lucu, melainkan alat manipulasi yang berkelindan dengan kejahatan siber.

Masalahnya tidak berhenti pada aspek teknis. Ada ruang abu-abu dalam tanggung jawab. Perusahaan teknologi kerap berdalih mereka hanya penyedia wadah. Negara menuntut mereka lebih tegas, sementara masyarakat terus terpapar. Pertanyaannya sampai kapan publik harus menanggung risiko dari kelengahan platform digital.

Indonesia dengan populasi warganet yang masif adalah pasar empuk. Data demi data menunjukkan pertumbuhan jumlah pengguna internet, tetapi celah regulasi dan lemahnya pengawasan membuat ruang digital menjadi ladang subur. Judi online yang mestinya bisa diberantas lewat pemblokiran situs justru menemukan cara baru menyebar lewat komentar, iklan, dan konten manipulatif.

Di titik ini yang dipertaruhkan bukan hanya moralitas atau isu kriminal. Lebih jauh, menyebarnya promosi judi online menciptakan ekosistem toksik yang bisa merusak kepercayaan publik terhadap ruang digital. Bagaimana tidak, jika tokoh publik bisa dengan mudah dipalsukan siapa yang bisa menjamin informasi lain valid.

Menyalahkan semata-mata pada pengguna jelas tidak adil. Publik hanyalah penonton yang disuguhi konten. Apalagi teknologi deepfake membuat konten palsu tampak meyakinkan. Ketika selebritis atau pejabat publik seolah berbicara langsung, kemampuan kritis pun diuji. Bahkan orang yang terdidik bisa terkecoh.

Karena itu, perlu strategi alternatif yang lebih komprehensif. Pertama, pemerintah tidak cukup hanya memblokir situs. Pemangku kebijakan dapat mewajibkan platform digital menutup akses iklan berbayar yang terkait perjudian, termasuk melakukan audit berkala terhadap sistem verifikasi iklan. Kedua, otoritas telekomunikasi bisa bekerja sama dengan kreator konten untuk membangun sistem deteksi dini komentar spam berbasis AI lokal sehingga penyebar judi tidak sempat berbiak. Ketiga, aparat penegak hukum perlu menindak tegas jaringan yang berada di balik kampanye komentar dan iklan palsu, bukan hanya pemain kecil yang terjaring.

Selain itu, strategi pencegahan harus melibatkan literasi digital. Program edukasi publik bisa diarahkan pada cara mengenali deepfake, membedakan konten asli dan palsu, serta melatih keterampilan melaporkan konten ilegal dengan mudah. Kreator konten pun perlu diberi dukungan, misalnya dengan fitur moderasi komentar yang lebih cerdas dan cepat. Dengan begitu, kanal mereka tetap bersih tanpa mengorbankan interaksi dengan audiens asli.

Tanpa langkah serius, kolom komentar di YouTube akan terus dibanjiri promosi judi dan beranda Facebook akan terus menampilkan wajah-wajah yang dipalsukan. Ruang digital akan berubah menjadi kasino raksasa yang beroperasi tanpa dinding.

Pada akhirnya, ini bukan semata soal perjudian. Ini soal bagaimana kita menjaga integritas ruang digital sebagai ruang publik. Jika komentar-komentar dan konten palsu dibiarkan, yang kita warisi kepada generasi mendatang hanyalah dunia maya yang keruh, penuh jebakan, dan kehilangan kepercayaan.

Mungkin benar pepatah lama yang mengatakan perjudian selalu mencari celah dari lorong sempit kampung hingga ruang maya paling modern. Bedanya, kini ia hadir dengan wajah tokoh publik yang kita kenal, berbicara dalam bahasa yang kita percaya, tetapi sejatinya hanyalah bayangan dari teknologi yang disalahgunakan.