- Pasar terguncang, publik ragukan arah kebijakan tapi harapan muncul lewat sektor koperasi.
- Rakyat tunggu hasil nyata: inflasi terkendali, kerja layak, dan layanan publik yang cepat.
- Reshuffle Prabowo geser 5 menteri, termasuk lengsernya Sri Mulyani dari kursi Menkeu.
Reshuffle kabinet selalu menjadi momen politik yang menyedot perhatian publik. Setiap kali seorang presiden mengumumkan perombakan menteri, publik langsung berspekulasi apakah ini tanda perubahan arah kebijakan, sekadar kompromi politik, atau langkah darurat untuk memadamkan api krisis. Pada awal September 2025, Presiden Prabowo Subianto akhirnya mengumumkan reshuffle besar di Kabinet Merah Putih. Lima kursi menteri bergeser dan yang paling mengejutkan adalah lengsernya Sri Mulyani Indrawati dari jabatan Menteri Keuangan. Sosok yang selama hampir dua dekade menjadi simbol keandalan fiskal itu digantikan oleh Purbaya Yudhi Sadewa, ekonom yang lebih akrab di kalangan birokrasi ketimbang di pasar global.
Pergantian ini tak pelak mengguncang pasar. Bursa saham merespons dengan penurunan tajam, investor asing melepas portofolio, sementara komentar sinis segera bertebaran di media sosial. Sri Mulyani selama ini dipandang sebagai jembatan antara Indonesia dan kepercayaan global. Hilangnya figur itu memberi kesan bahwa pemerintah ingin menempuh jalannya sendiri, bahkan jika harus menanggung risiko goyahnya stabilitas keuangan. Pertanyaan yang bergema di publik sederhana, apakah reshuffle ini benar benar untuk memperkuat kabinet atau justru membuka ruang ketidakpastian baru.
Tak bisa dimungkiri, reshuffle ini dilakukan secara mendadak. Tidak ada bisik bisik panjang di media, tidak ada manuver partai yang tercium jelas sebelumnya. Prabowo memilih cara politik yang khas, diam diam lalu mendadak mengumumkan. Langkah ini di satu sisi menunjukkan bahwa presiden ingin menegaskan kendali penuh atas kabinetnya tanpa harus didikte oleh opini publik. Namun di sisi lain, sifat mendadak itu justru memicu spekulasi bahwa reshuffle lebih didorong pertimbangan politik internal ketimbang kebutuhan rakyat. Pengamat politik pun menilai bahwa perombakan ini masih jauh dari harapan publik yang menginginkan kementerian lebih profesional, lebih transparan, dan lebih berorientasi pada solusi nyata.
Di luar kontroversi soal ekonomi, ada pula harapan baru. Salah satunya datang dari segmen koperasi dan UMKM. Posisi Menteri Koperasi kini diisi Ferry Juliantono, politisi yang kerap bersuara lantang soal pentingnya mengembalikan koperasi ke marwah aslinya sebagai sokoguru ekonomi rakyat. Publik menaruh harapan bahwa di tangannya, koperasi tak lagi sekadar jargon dalam pidato kenegaraan, melainkan benar benar diberdayakan lewat digitalisasi, akses permodalan murah, dan perlindungan dari gempuran kapitalisme besar. Indonesia, yang masih bergulat dengan ketimpangan ekonomi, membutuhkan motor alternatif di luar oligarki bisnis. Koperasi bisa jadi jawabannya, asal tidak lagi diperlakukan hanya sebagai ornamen.
Namun reshuffle bukan hanya soal nama baru di kursi kementerian. Rakyat lebih peduli pada hasil. Inflasi yang menekan harga kebutuhan pokok, sulitnya akses kerja layak, hingga minimnya perlindungan sosial tetap menjadi problem harian. Apakah kabinet baru sanggup merespons itu semua dengan cepat. Jika perombakan hanya mengganti wajah tanpa arah kebijakan yang jelas, maka rakyat akan menganggap reshuffle sekadar formalitas politik.
Kritik lain datang dari kelompok masyarakat sipil yang sejak lama menuntut pemerintah untuk serius menjalankan agenda reformasi struktural, termasuk memperhatikan tuntutan 17 plus 8 yang digaungkan koalisi masyarakat sipil. Reshuffle mestinya menjadi momentum untuk mendekatkan pemerintah dengan aspirasi rakyat, bukan malah mengukuhkan kekuasaan semata. Sayangnya, sejauh ini sulit dibaca apakah pergantian ini memberi ruang bagi perubahan kebijakan yang signifikan.
Yang dibutuhkan publik dari kabinet baru sesungguhnya sederhana. Transparansi, keberanian, dan kecepatan. Transparansi dalam arti setiap kebijakan fiskal, setiap strategi ekonomi, hingga setiap keputusan politik bisa dijelaskan dengan bahasa yang dapat dipahami rakyat, bukan jargon teknokratis. Keberanian untuk mengambil keputusan yang mungkin tidak populer tetapi penting untuk jangka panjang, seperti reformasi subsidi energi atau perbaikan sistem pajak. Kecepatan dalam mengeksekusi kebijakan agar tidak lagi tersandera birokrasi berlapis dan tarik menarik kepentingan politik.
Presiden Prabowo perlu membuktikan bahwa reshuffle kali ini bukan sekadar upaya mempertontonkan siapa yang berkuasa, melainkan sebuah strategi untuk menegakkan kembali kepercayaan publik. Jika pergantian hanya menenangkan partai koalisi atau menyenangkan investor tertentu, maka reshuffle ini akan cepat dilupakan, bahkan mungkin dicatat sebagai langkah mundur. Tetapi jika kabinet baru mampu menunjukkan arah jelas, misalnya dengan menata ulang strategi fiskal, memperkuat koperasi, serta melindungi rakyat kecil dari gejolak pasar, reshuffle ini bisa dikenang sebagai titik balik.
Rakyat sudah terlalu sering menjadi penonton dalam drama politik reshuffle. Mereka melihat kursi berganti, wajah berubah, namun hidup sehari hari tetap sama sulitnya. Jika pemerintah ingin membalik persepsi itu, maka saatnya kabinet baru bekerja tanpa banyak basa basi. Harga sembako, lapangan kerja, dan kepastian layanan publik jauh lebih penting daripada perdebatan siapa yang duduk di kursi menteri.
Reshuffle adalah peluang. Pertanyaannya apakah peluang itu akan dimanfaatkan untuk membenahi fondasi negara atau hanya dijadikan eksperimen politik yang berulang kali dipentaskan tanpa hasil nyata. Jawaban itu ada di tangan Presiden dan menteri menterinya. Waktu mereka tak panjang, tetapi harapan rakyat masih terbuka. Jika reshuffle ini bisa mengembalikan kepercayaan publik, maka sejarah akan mencatatnya sebagai langkah penting. Jika tidak, ia hanya akan dikenang sebagai episode kecil dalam drama panjang politik Indonesia.
Baca Juga
-
Kasus Ferry Irwandi, Patroli Siber dan Menyempitnya Ruang Demokrasi Digital
-
Menagih Kembali Tuntutan Rakyat 17+8, Sudah Sejauh Mana?
-
Delpedro Marhaen, Kriminalisasi Aktivis dan Cermin Demokrasi yang Retak
-
Pestapora 2025: Festival Musik, Tambang, dan Sikap Berpihak Musisi pada Isu Keberlanjutan
-
21 Tahun Mengingat Munir dan Upaya Negara Melupakan
Artikel Terkait
-
Analis Bongkar Alasan Prabowo Copot Budi Gunawan: Imbas 'Agustus Kelam', Loyalitas Ganda Disorot
-
IHSG Rebound Awal Sesi, Tapi Reshuffle Kabinet Ancam Pelemahan
-
Mengenal Lebih Dekat Puteri Komarudin, Sosok Disebut Jadi Menpora Gantikan Dito
-
Potret Sjafrie Sjamsoeddin Pimpin Rapat Perdana Sebagai Menkopolkam Ad Interim
-
Curhat Budi Arie Usai Dicopot Prabowo: Pagi Masih Rapat di DPR, Sore Dapat Kabar Reshuffle
Kolom
-
Film Sore: Istri dari Masa Depan Melenggang dan Mengguncang Panggung Oscar
-
Kasus Ferry Irwandi, Patroli Siber dan Menyempitnya Ruang Demokrasi Digital
-
Pembongkaran Parkiran Abu Bakar Ali: Antara Penataan Malioboro dan Nasib Masyarakat
-
Kopinya Mahal, Tapi Gaji Barista Tetap Pas-pasan
-
Headline, Hoaks, dan Pengalihan Isu: Potret Demokrasi tanpa Literasi
Terkini
-
4 Pelembab Berbahan Yuja Bantu Bikin Wajah Auto Glowing Bebas Flek Hitam
-
Riset Terbaru Bongkar Bahaya Panas Ekstrem: Bisa Bikin Baterai Cepat Soak dan Tubuh Cepat Loyo!
-
4 Low pH Acne Cleanser untuk Merawat Kulit Berjerawat Tanpa Bikin Iritasi!
-
Sinopsis Film Koi ni Itaru Yamai, Dibintangi Kento Nagao dan Anna Yamada
-
Ada Mark Ruffalo, Para Aktor dan Sineas Kompak Boikot Industri Film Israel