Hernawan | Ancilla Vinta Nugraha
Ilustrasi Barista (Unsplash/Brooke Cagle)
Ancilla Vinta Nugraha

Harga segelas kopi di kafe hits Jogja bisa menembus puluhan ribu rupiah. Namun, di balik racikan manis yang jadi teman nongkrong anak muda itu, para barista justru harus pintar-pintar meracik strategi hidup dengan gaji yang pas-pasan. 

Ngopi di Jogja kini bukan lagi sekadar soal rasa, tapi juga gaya hidup. Harga segelas kopi bisa menyentuh puluhan ribu rupiah, hampir setara dengan makan siang di warung makan sederhana. Namun, di balik budaya tersebut, ada ironi yang sulit diabaikan,  kesejahteraan barista justru tertinggal jauh.

Sebut saja NP (21), seorang barista di sebuah kafe di pusat kota Jogja. Dengan jadwal kerja 16 hari dalam sebulan, satu shift delapan jam, gaji Rp800 ribu yang ia terima setara dengan sekitar Rp50 ribu per hari untuk semua tugas mulai dari membuat kopi, menyiapkan dan memasak makanan, hingga bersih-bersih kafe.

Nominal itu jelas jauh dari kata cukup untuk hidup di Jogja yang kini semakin mahal. “Aku tinggal sama orang tua, jadi nggak bayar kos. Tapi kebutuhan pribadi mulai dari bensin, kuota internet, sampai makan harus aku tanggung sendiri,” ceritanya.

Yang paling terasa adalah soal gaya hidup sederhana yang harus benar-benar ditekan. Di tengah masifnya jumlah toko online dan live Tiktok, ia justru harus terus menahan diri. Untuk sekadar membeli skincare atau baju, ia harus berpikir berkali-kali. “Bukan nggak bisa beli, tapi harus nahan banget. Kalau dipaksain, akhir bulan malah tekor,” ujarnya.

Di luar itu, NP mencari tambahan lewat side job kecil-kecilan, seperti berjualan akun Netflix dan Spotify, hingga jasa print foto polaroid. “Lumayan, meski nggak seberapa, setidaknya bisa buat jajan,” ujarnya. Kisah ini tentu saja bukan cuma soal cerita.

Berdasarkan hasil wawancara, seorang barista harus pintar-pintar mengatur gaji supaya cukup untuk transportasi, kuota, hingga makan sehari-hari. Bahkan, tidak jarang uang tersebut habis sebelum akhir bulan. NP mengaku bahwa gaji bulanannya sering kali habis dalam waktu dua minggu saja. 

Ironinya, di saat pelanggan bisa nongkrong santai dengan kopi Rp30 ribuan, baristanya harus menahan diri untuk sekadar membeli skincare atau baju baru. Hidup jadi semacam permainan strategi untuk merealisasikan kapan harus hemat, di mana bisa dapat bantuan, dan bagaimana mencari tambahan agar dompet tak benar-benar kosong.

Di sini terlihat paradoks yang nyata. Jogja dikenal sebagai kota murah, kota pelajar, dan kota romantis. Tapi kenyataan di lapangan justru berbeda, biaya hidup makin tinggi, sementara gaji pekerja kerap tak sepadan dengan tenaga yang mereka keluarkan. Di tengah keterbatasan itu, NP tidak benar-benar sendiri. Ada bantuan kecil dari orang terdekat yang membuatnya bisa bertahan. Ia mengutarakan bahwa keluarga dan pacar yang dapat diandalkan untuk menopang kehidupannya sehari-hari. 

Meski begitu, bukan berarti hidupnya terasa ringan. Menuju akhir bulan, merupakan masa yang paling berat untuk dilewati. Untuk menyiasati, NP memilih berhemat sebisa mungkin. Meski penghasilan yang diterima sangat terbatas, NP tetap bertahan untuk bekerja sebagai barista. “Biar ada kerjaan di waktu luang dan biar ga jadi beban buat orang tua,” tuturnya. 

Meski ada rasa berat, NP sadar bahwa strategi bertahan hidup harus terus ia jalankan. Kondisi ini menunjukkan betapa timpangnya realitas industri kopi di Jogja. Di satu sisi, kafe-kafe menjamur dengan harga minuman yang kian melambung. Di sisi lain, para barista yang menjadi wajah dan tangan pertama industri ini justru hanya menerima upah yang tidak sebanding dengan biaya hidup.

Ditambah lagi pada beberapa coffee shop, pekerjaan barista tak hanya soal meracik kopi, tetapi juga bersih-bersih kafe, mulai dari menyapu, mengepel, hingga membersihkan toilet, bahkan menyiapkan makanan untuk pelanggan.

Kondisi ini menunjukkan betapa timpangnya realitas industri kopi di Jogja. Di satu sisi, kafe-kafe menjamur dengan harga minuman yang kian melambung. Di sisi lain, para barista yang menjadi wajah dan tangan pertama industri ini justru hanya menerima upah yang tidak sebanding dengan biaya hidup.

Jogja kerap disebut sebagai kota murah dan romantis, tapi cerita seperti NP mengingatkan bahwa murahnya kota ini hanyalah mitos lama yang tidak lagi berlaku. Biaya hidup naik, kebutuhan semakin banyak, sementara penghasilan pekerja tetap berjalan di tempat.