Hikmawan Firdaus | Ancilla Vinta Nugraha
Ilustrasi Futsal Putri AXIS Nation Cup (Galery/anc.axis.co.id)
Ancilla Vinta Nugraha

Cewek kok main futsal, udah kayak cowok aja.” Kalimat yang sering kali terdengar ketika perempuan memasuki lapangan futsal. Di mata keluarga maupun lingkungan sekitar, futsal kerap kali dicap sebagai teritori laki-laki. Padahal, lewat ajang futsal seperti AXIS Nation Cup yang digelar di anc.axis.co.id, perempuan juga punya ruang untuk menunjukkan bahwa mereka mampu bersaing dan berprestasi di lapangan.

Di level kompetisi, tak jarang sebuah turnamen hanya membuka kategori futsal putra, tanpa memberi ruang bagi tim putri. Bahkan bila ada, jumlah pesertanya dibatasi, bahkan eksposurnya jauh lebih kecil dibandingkan futsal putra. Kondisi ini memperkuat kesan bahwa futsal perempuan hanya “tambahan,” bukan bagian utama dari dunia olahraga. Namun lewat kompetisi yang kini juga dipromosikan di axis.co.id, futsal perempuan mulai mendapat tempat dan pengakuan, meski jalan menuju kesetaraan masih penuh tantangan.

Simone de Beauvoir dalam bukunya yang berjudul Second Sex: Kehidupan Perempuan menyebut perempuan dijadikan sebagai “the Other” atau sosok liyan yang selalu diukur berdasarkan standar laki-laki. Dalam futsal, kondisi itu sangat terlihat. Ketika seorang perempuan tampil prima, ia dipuji karena “hebat seperti laki-laki.” Sebaliknya, bila gagal, kegagalan itu dilekatkan pada jenis kelaminnya, seolah membuktikan bahwa futsal memang bukan tempat perempuan.

Selain itu, ada pula yang terbiasa menahan cibiran di sekolah atau kampus karena dianggap “tomboy” hanya karena memilih futsal ketimbang aktivitas lain yang dianggap lebih “feminin.” Tekanan sosial ini menjadi tembok tak kasat mata, yang membuat beberapa pemain futsal perempuan untuk memberi pembuktian ganda. Pembuktian ganda ini kerap dilakukan untuk membuktikan permainan yang terbaik sekaligus dengan selalu menetapkan peraturan permainan futsal dan tetap memenuhi standar yang dilekatkan oleh perempuan. 

Beauvoir juga mengatakan bahwa “Sang ibu, diam-diam memusuhi kebebasan anak perempuannya.” Bagi beberapa atlet perempuan, restu untuk bermain futsal terkadang tidak datang dengan mudah. Dukungan dari keluarga kerap disertai dengan syarat atau aturan tertentu. Syarat tersebut umumnya tidak jauh dari ketentuan untuk tetap memiliki prestasi akademik yang tinggi. Pernyataan ini seolah-olah menyatakan bahwa futsal pada perempuan hanya bisa diterima bila disandingkan dengan “jaminan” kesuksesan lainnya. 

Pandangan bahwa futsal adalah dunia laki-laki membuat perempuan terus dipandang sebelah mata. Dalam beberapa kasus, perempuan tidak dibebaskan untuk meraih cita-cita sebagai atlet futsal. Kebebasan untuk memilih jalan hidup dibatasi oleh standar ganda, seakan olahraga bagi perempuan hanyalah “hobi” yang boleh dilakukan selama tidak mengganggu peran utama yang dilekatkan pada perempuan. 

Di usia remaja, anak laki-laki mulai dikenalkan dengan persaingan, agresivitas, dan keberanian mengambil risiko melalui olahraga. Dari situlah mereka belajar kebebasan tubuh, kemenangan, sekaligus kemandirian. Sebaliknya, anak perempuan lebih sering diarahkan untuk bersikap pasif, menghindari risiko, dan patuh pada aturan. Hal ini membuat perempuan tidak terbiasa dengan perilaku kompetitif yang justru sangat penting dalam olahraga seperti futsal. Maka, sering kali pemain futsal perempuan kerap merasa harus “berjuang dua kali” untuk melawan lawan di lapangan sekaligus melawan stigma sosial yang mengekang.

Lebih jauh, Beauvoir juga mengkritik bagaimana perempuan sejak kecil diajarkan untuk tetap di rumah, selalu diawasi, dan jarang diberi kebebasan mengorganisasi hiburan atau aktivitasnya sendiri. Pola pembatasan itu terbawa hingga dewasa, termasuk dalam dunia olahraga. Maka, perempuan yang memilih menekuni futsal sebenarnya sedang menembus batas tradisional yang sejak lama membatasi ruang gerak mereka. Setiap gol yang dicetak, setiap pertandingan yang dimainkan, bukan hanya soal kemenangan di lapangan, melainkan juga simbol perlawanan terhadap struktur sosial yang masih menganggap perempuan sebagai “second sex.