Sekar Anindyah Lamase | Irhaz Braga
Presiden Prabowo Subianto. [Suara.com/Novian]
Irhaz Braga

Beberapa hari lalu, kabar dari Banggai Kepulauan membuat dada sesak. Lebih dari dua ratus siswa jatuh sakit setelah menyantap menu Makan Bergizi Gratis (MBG). Puluhan masih terbaring di rumah sakit, sebagian harus mendapat perawatan intensif. Orang tua berduyun-duyun memenuhi lorong RSUD, wajah mereka cemas, menunggu kabar anaknya yang muntah-muntah sejak siang.

Tak lama berselang, kabar serupa datang dari Garut, Jawa Barat. Seratus lima puluh pelajar mengalami gejala yang sama, empat belas di antaranya dirawat intensif. Jumlah itu menambah deretan panjang kasus yang menghantui program MBG.

Menurut catatan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), sejak awal 2025 hingga pertengahan September, lebih dari 5.300 siswa di berbagai daerah telah menjadi korban dugaan keracunan dari menu MBG. Bayangkan sejenak: anak-anak yang seharusnya pulang sekolah dengan tawa justru dijemput ambulans. Program yang dirancang untuk menyehatkan justru menciptakan barisan pasien kecil di ruang darurat.

Program MBG sejatinya lahir dari niat mulia. Pemerintah ingin memastikan setiap anak Indonesia mendapatkan asupan bergizi, agar tumbuh sehat dan cerdas. Angka stunting diharapkan menurun, kualitas sumber daya manusia meningkat, dan visi Indonesia Emas 2045 kian dekat.

Namun niat baik saja tidak cukup. Realitas di lapangan menunjukkan celah besar antara rancangan kebijakan dan pelaksanaan. Produksi makanan dalam skala masif menuntut rantai pasok yang rapih, standar kebersihan yang ketat, serta pengawasan berlapis.

Tanpa itu, setiap kotak nasi yang dibagikan bisa berubah dari gizi menjadi racun. Fakta bahwa ratusan anak harus dirawat dalam tempo berdekatan seharusnya menjadi alarm keras. Ini bukan lagi kasus insidental. Ini gejala sistemik.

Setiap kali kasus muncul, pola respons pemerintah nyaris sama: menurunkan tim investigasi, mengambil sampel makanan, lalu menunggu hasil laboratorium. Langkah itu memang prosedural, tetapi terlalu dangkal jika berhenti di sana.

Kenyataannya, korban terus bertambah. Dari Banggai hingga Garut, dari Lamongan hingga daerah lain yang tak banyak terekspos media, kasus berulang dengan gejala serupa. Pertanyaannya, sampai kapan kita mau menunggu hasil uji sampel, sementara anak-anak terus menjadi korban? Di titik ini, pemerintah tak bisa lagi berlindung di balik kata “investigasi.” Dibutuhkan keberanian politik untuk mengambil keputusan yang mungkin pahit, tetapi menyelamatkan nyawa.

Langkah pertama yang harus diambil adalah menghentikan sementara distribusi MBG di daerah-daerah terdampak. Ini bukan berarti menolak niat baik program, tetapi menyelamatkan sementara anak-anak dari risiko yang nyata. Tidak ada satu pun kebijakan publik yang layak dipertahankan bila menimbulkan korban massal.

Langkah kedua adalah audit total terhadap penyelenggara, mulai dari vendor bahan baku, dapur penyaji, mekanisme distribusi, hingga pihak sekolah. Semua mata rantai harus diperiksa secara terbuka. Bila ditemukan kelalaian, pemerintah wajib melakukan penindakan tegas, bukan hanya peringatan, tetapi juga sanksi administratif dan pidana.

Langkah ketiga adalah transparansi kepada publik. Orang tua berhak tahu apa yang sebenarnya terjadi, apa penyebab keracunan, dan langkah apa yang diambil pemerintah untuk mencegah kasus serupa. Transparansi adalah syarat mutlak untuk mengembalikan kepercayaan yang kini runtuh.

Pada akhirnya, kita harus kembali ke hal yang paling mendasar: anak-anak bukanlah objek percobaan kebijakan. Mereka adalah manusia yang hak atas kesehatannya dijamin konstitusi. Ketika sebuah program bergizi justru membuat mereka tergeletak di ruang perawatan, negara telah gagal memenuhi kewajiban perlindungan.

MBG tidak boleh dimaknai sekadar proyek besar dengan angka distribusi fantastis. MBG harus dimaknai sebagai amanah, bahwa setiap makanan yang disajikan kepada anak-anak adalah janji negara untuk menjaga hidup mereka.

Kita bisa terus membanggakan visi Indonesia Emas, tetapi tanpa keberanian memperbaiki yang keliru, janji itu akan menjadi retorika hampa. Gelombang keracunan massal ini seharusnya menjadi titik balik: apakah pemerintah berani melakukan evaluasi total, atau memilih terus berjalan sambil menutup mata terhadap korban baru? Sejarah akan mencatat pilihan itu.

Dan sementara kita menunggu, ada anak-anak yang masih terbaring lemah di rumah sakit, menanggung akibat dari sebuah program yang seharusnya menyelamatkan mereka.

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS