Hikmawan Firdaus | Yayang Nanda Budiman
Ilustrasi Perpustakaan (Pixabay)
Yayang Nanda Budiman
Baca 10 detik
  • Permisif terhadap bajakan merusak etika literasi, menormalisasi plagiarisme, dan menghambat lahirnya penulis baru.
  • Solusi ada: penegakan hukum, akses buku digital/legal, dan kesadaran moral pembaca untuk menghargai karya asli.
  • Buku bajakan melukai penulis: bukan hanya soal royalti hilang, tapi juga martabat intelektual yang direndahkan.
[batas-kesimpulan]

Di balik euforia pameran buku, diskon besar-besaran di pasar daring, serta menjamurnya kios-kios bacaan murah, tersimpan ironi yang kerap luput dari perhatian. Fenomena buku bajakan bukan sekadar soal harga murah atau akses mudah, melainkan soal luka yang dialami penulis dan pengkhianatan terhadap misi besar literasi.

Selama ini, narasi pembajakan sering dipersempit pada soal ekonomi. Penulis kehilangan royalti, penerbit merugi, dan ekosistem industri buku tergerus. Semua itu benar, tetapi belum seluruhnya. Yang terluka bukan hanya dompet penulis, melainkan juga martabat karya intelektual yang seharusnya dihargai sebagai buah pemikiran, penelitian, dan proses kreatif yang panjang. Ketika karya diperjualbelikan tanpa izin, seolah jerih payah seorang penulis tidak lebih dari komoditas yang bisa digandakan seenaknya.

Lebih jauh, praktik pembajakan memelihara budaya permisif yang bertentangan dengan semangat literasi. Literasi bukan hanya tentang kemampuan membaca huruf, tetapi juga tentang membangun sikap etis dalam memperlakukan pengetahuan. Bagaimana mungkin bangsa ini berharap tumbuh tradisi intelektual yang sehat jika pondasinya dibangun di atas praktik pengkhianatan intelektual?

Ironinya, banyak orang yang mengaku pecinta literasi justru tanpa rasa bersalah membeli buku bajakan. Argumennya sederhana: harga buku asli terlalu mahal. Dalih ini sering dipakai untuk membenarkan tindakan yang sejatinya melukai ekosistem pengetahuan. Padahal, mahal atau murah selalu relatif. Harga kopi di gerai waralaba internasional yang habis dalam hitungan menit seringkali lebih tinggi dari harga satu buku asli yang bisa dibaca seumur hidup. Persoalannya bukan semata harga, melainkan prioritas dan kesadaran akan nilai sebuah karya.

Tentu, tidak bisa dipungkiri ada persoalan struktural. Akses terhadap buku di Indonesia memang timpang. Di luar kota besar, toko buku sulit dijumpai. Biaya distribusi membuat harga buku melonjak. Kondisi ini kerap dijadikan justifikasi maraknya bajakan. Namun, menyelesaikan masalah dengan cara merusak bukanlah solusi. Membenarkan pembajakan sama saja dengan membiarkan plagiarisme tumbuh, dan dalam jangka panjang hanya akan mematikan penulis-penulis baru yang berharap karyanya dihargai secara layak.

Di titik ini, negara juga tidak boleh berpangku tangan. Penegakan hukum terhadap pelaku pembajakan masih lemah. Banyak kios bajakan beroperasi terang-terangan di pusat kota, bahkan di sekitar kampus. Situs-situs penyedia buku digital bajakan dengan mudah diakses hanya dengan satu kali pencarian. Ketika regulasi ada tetapi tidak ditegakkan, pesan yang sampai ke publik sederhana: membajak adalah hal biasa.

Namun, membicarakan buku bajakan tidak cukup hanya dari sisi hukum. Persoalan ini juga menuntut keterlibatan masyarakat pembaca. Literasi sejatinya adalah gerakan moral. Menghargai karya orang lain adalah bagian dari etika literasi yang perlu ditanamkan sejak dini. Sekolah dan perguruan tinggi semestinya tidak hanya mengajarkan keterampilan membaca dan menulis, tetapi juga menanamkan kesadaran bahwa membeli karya bajakan berarti mencederai pengetahuan itu sendiri.

Para penulis pun layak mendapat dukungan lebih. Tidak semua penulis hidup dari royalti, tetapi penghargaan terhadap karya tetap menjadi bentuk pengakuan sosial. Bayangkan, ketika buku bajakan laris manis, penulis tidak memperoleh apa-apa selain rasa perih melihat karyanya diperlakukan semena-mena. Luka ini bukan luka pribadi, melainkan luka bagi dunia literasi. Sebab, tanpa penghargaan, semangat menulis bisa meredup, dan kehilangan suara penulis berarti kehilangan satu potong refleksi atas zaman.

Alternatif sebenarnya tersedia. Banyak penerbit kini menghadirkan buku digital dengan harga lebih terjangkau. Program perpustakaan digital nasional memungkinkan siapa saja membaca secara gratis dan legal. Komunitas-komunitas juga bisa menjadi perantara untuk berbagi bacaan asli dengan sistem sirkulasi. Semua itu menunjukkan bahwa akses tidak harus mengorbankan etika.

Pada akhirnya, melawan buku bajakan bukan sekadar kampanye hukum atau seruan moral. Ini adalah perjuangan untuk menjaga integritas pengetahuan. Literasi hanya akan bermakna jika berdiri di atas kejujuran, penghargaan, dan penghormatan terhadap karya intelektual. Membeli buku bajakan mungkin terasa seperti jalan pintas untuk menikmati bacaan murah, tetapi sesungguhnya itu adalah jalan memutar yang membawa kita menjauh dari cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa.

Buku adalah jendela dunia, begitu sering dikatakan. Tetapi jendela itu akan buram jika dibuka dengan cara curang. Luka penulis akibat bajakan bukan hanya soal kehilangan materi, melainkan pengkhianatan terhadap literasi itu sendiri. Saatnya pembaca, penerbit, negara, dan seluruh ekosistem buku berdiri di sisi yang benar: melindungi pengetahuan dengan cara yang bermartabat.