- Pelestarian butuh komitmen kolektif, agar aksara hidup kembali di ruang publik, budaya populer, dan dunia digital.
- Digitalisasi jadi peluang, lewat Unicode, font, hingga program pelestarian berbasis teknologi.
- Aksara Nusantara terancam punah, generasi muda makin asing dengan warisan tulisannya.
Di tengah riuhnya peradaban modern, di mana teknologi terus berlari tanpa henti, manusia kerap melupakan satu warisan penting dalam berbahasa: aksara. Rangkaian simbol ini bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga catatan sejarah yang menyimpan jejak panjang peradaban. Menjelang Hari Aksara Internasional setiap 8 September, kita diingatkan bahwa perjalanan aksara adalah kisah panjang, dimulai jauh sebelum manusia mengenal huruf cetak hingga kini bersentuhan dengan bahasa komputasi.
Sebelum aksara ditemukan, manusia bergantung pada tradisi lisan untuk menyampaikan cerita, doa, syair, maupun pengetahuan. Dari mulut ke mulut, kisah diturunkan lintas generasi. Tradisi ini memang indah, tetapi rapuh. Ingatan manusia terbatas, dan tak jarang sebuah cerita terkubur bersama sang pengisah ketika ajal menjemput. Di titik itulah aksara menjadi jawaban. Untuk pertama kalinya, suara dapat disimpan dalam bentuk visual yang bertahan melintasi waktu.
Berbagai bentuk sistem tulisan lahir di belahan dunia: alfabet Yunani, hieroglif Mesir, huruf Han di Tiongkok, hingga aksara Pallawa yang menyebar ke Nusantara. Tulisan tidak lagi sekadar tanda, melainkan instrumen membangun peradaban. Di Indonesia, jauh sebelum huruf latin mendominasi buku pelajaran, telah hidup beragam aksara lokal. Tercatat setidaknya ada 12 aksara Nusantara: Kawi, Sunda, Buda, Bali, Bugis atau Lontara, Batak, Jawa, Pegon, Lampung, Rejang, Kerinci atau Incung, hingga Makassar. Masing-masing bukan sekadar simbol, melainkan menyimpan nilai sejarah, filosofi, hingga kearifan lokal yang diwariskan turun-temurun.
Namun, kekayaan ini kini berada di tepi jurang kepunahan. Generasi muda banyak yang bahkan tidak tahu bentuk aksara daerahnya sendiri. Gejalanya jelas terlihat: penutur asli kian berkurang, ranah penggunaan menyempit, dan minat mempelajarinya merosot tajam. Jika dibiarkan, aksara-aksara ini hanya akan tersisa di museum, buku sejarah, atau papan nama jalan yang sekadar formalitas.
Pemerintah telah berusaha melindungi aksara Nusantara lewat regulasi, seperti Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan dan aturan tentang bahasa daerah. Tetapi aturan hukum saja tidak cukup jika tak dibarengi kemauan politik, kerja kolaboratif, dan keterlibatan warga negara. Di era digital, pelestarian aksara membutuhkan strategi adaptif. Digitalisasi menjadi jalan penting agar aksara tidak hilang ditelan zaman.
Langkah ini mulai digarap serius. PANDI, misalnya, meluncurkan program Merajut Indonesia Melalui Digitalisasi Aksara Nusantara. Salah satu capaian besarnya adalah pendaftaran aksara Nusantara ke Unicode, standar internasional yang memungkinkan karakter digunakan di platform digital global. Aksara Bugis, Bali, Batak, Sunda, Jawa, Kawi, hingga Pegon kini bisa dipakai untuk mengetik di komputer atau menulis pesan di WhatsApp. PANDI juga membuat basis data terbuka berisi sejarah, status Unicode, font, hingga transliterasi. Siapa saja kini bisa menuliskan namanya dalam aksara Jawa atau Sunda hanya dengan beberapa klik.
Namun digitalisasi bukan tujuan akhir, hanya medium. Aksara Nusantara akan tetap hilang jika tidak diaplikasikan berkelanjutan. Tantangannya adalah membuat masyarakat merasa bahwa aksara relevan dengan hidup mereka hari ini. Perpusnas mencoba menjawab tantangan itu dengan membuka kelas intensif aksara Jawa dan Jawi, melibatkan pelajar, mahasiswa, penulis konten, hingga duta baca. Harapannya, aksara tidak hanya dipelajari, tetapi juga digunakan sehari-hari.
Jika melihat ke luar negeri, Jepang, Korea, Tiongkok, hingga Thailand berhasil menjaga aksara tradisionalnya sembari melesat dalam ekonomi dan budaya global. Ironisnya, di Indonesia aksara Jawa kerap dikira mirip dengan aksara Thailand, seolah popularitasnya lebih besar di negeri tetangga. Komparasi ini menohok: kita kalah mengenali warisan sendiri dibanding aksara asing.
Pelestarian aksara adalah kunci menjaga identitas budaya. Tanpa aksara, pengetahuan tercerai-berai dan konteks budaya hilang. Digitalisasi memberi peluang unik untuk memadukan tradisi dengan modernitas. Aksara Nusantara bisa hadir di poster konser, undangan pernikahan, konten Instagram, atau bahkan prompt kecerdasan buatan. Ketika aksara menjadi bagian dari tren media sosial, ia akan berhenti menjadi artefak usang dan berubah menjadi bahasa hidup.
Tetapi realitas menunjukkan adopsi ini belum merata. ICANN pernah menolak pendaftaran aksara Jawa sebagai domain internasional dengan alasan jarang digunakan. Penolakan ini menunjukkan bahwa kita belum sepenuhnya menjadi tuan rumah atas aksara sendiri.
Indonesia punya modal besar. Data Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa mencatat 718 bahasa daerah di Nusantara, 428 di antaranya berada di Papua. Setiap bahasa berpotensi menghidupkan aksara lokalnya. Beberapa daerah sudah memulai langkah kecil: Yogyakarta dan Bandung menuliskan nama jalan dengan aksara Jawa dan Sunda, Bali menampilkan aksara lokal di fasilitas publik. Meski simbolis, ini pesan kuat: aksara masih ada, dan kita tak boleh mengabaikannya.
Di era yang serba viral, mempopulerkan aksara Nusantara bisa menjadi kampanye budaya yang segar dan relevan. Ia bisa hadir lewat meme, stiker chat, atau filter kamera yang instagramable. Ketika anak muda merasa aksara itu keren, ia akan berhenti dianggap kuno dan menjadi identitas yang layak dibanggakan.
Perpustakaan pun punya peran strategis. Tidak hanya menyimpan naskah kuno, tapi juga bisa menjadi laboratorium kreatif yang menghubungkan aksara Nusantara dengan teknologi digital maupun kecerdasan buatan. Kelas-kelas aksara dapat berkembang menjadi pelatihan desain, produksi konten, atau pengembangan font baru. Hanya dengan cara inilah aksara Nusantara tak sekadar dikenang, tetapi dipakai dan terus hidup.
Pada akhirnya, kebudayaan yang hidup adalah budaya yang digunakan. Jika aksara Nusantara hanya tersimpan dalam arsip atau database digital tanpa pernah dipakai, ia tetap akan mati. Tetapi jika aksara hadir di layar gawai, karya seni, pesan singkat, hingga tren viral, ia akan menemukan ruangnya di dunia modern tanpa kehilangan akar. Jepang, Korea, dan Thailand telah membuktikan bisa. Indonesia pun mampu, asalkan komitmen kolektif itu benar-benar diwujudkan.
Baca Juga
-
Di Balik Akun Anonim dan Ironi Perundungan di Ruang Digital
-
Ketika Perpustakaan dan Kecerdasan Buatan Duduk Bersama di Senja Hari
-
Demokrasi Digital, Kuasa Influencer dan Krisis Kepakaran
-
Propaganda Buzzer, Ancaman Doxxing dan Masa Depan Iklim Demokrasi Digital
-
Mengapa Kita Perlu Sadar Politik dan Hak-Hak Dasar Warga Negara Sejak Dini?
Artikel Terkait
-
Meutya Hafid Klaim Satelit Nusantara Lima Sediakan Akses Internet di Maluku-Papua Setara Jakarta
-
Satelit Nusantara Lima Sukses Diluncurkan, Siap Perkuat Internet di Indonesia
-
Kejagung Umumkan Pengambilalihan Lahan Sawit Ilegal, Luasannya Lebih Besar dari Pulau Bali
-
SpaceX Tunda Peluncuran Satelit Nusantara Lima untuk Ketiga Kalinya
-
Ini Dia Pemilik Tanggul Beton Cilincing, Perusahaan yang Pernah Diperebutkan BUMN dan Swasta
Kolom
-
TNI dan Batas Peran dalam Ranah Sipil: Dari Barak ke Timeline
-
Dear PSSI, Tolong Kembalikan Antuasiasme Kami pada Timnas Indonesia
-
Di Balik Akun Anonim dan Ironi Perundungan di Ruang Digital
-
Avishkar Raut: Ketika Suara Belia Mengguncang Kekuasaan Tua
-
Buku Bajakan, Luka Penulis dan Pengkhianatan Literasi
Terkini
-
Ulasan Novel The Lover Next Door: Ketika Jodoh Tak Akan Pergi ke Mana-mana
-
Ijazah Gibran Digugat Rp125 T, Jokowi Tunjuk 'Orang Besar' di Baliknya
-
Jadi Korban Fitnah, Dewa Gede Adiputra Ambil Langkah Hukum
-
4 InspoDaily OutfitEffortlessYunho ATEEZBuat Tampil Modis Tanpa Ribet!
-
Menguat di Bursa Calon Kapolri, Siapa Komjen Suyudi Ario Seto Pilihan Prabowo?