Hikmawan Firdaus | Irhaz Braga
Ilustrasi Pertandingan Futsal (Dok. AXIS Nation Cup 2025)
Irhaz Braga

Di kota-kota besar, futsal tidak lagi sebatas olahraga lima lawan lima yang dimainkan di lapangan berukuran setengah sepak bola. Ia menjelma menjadi ruang ekspresi baru, bahkan menjadi bagian dari identitas digital anak muda. Tren ini makin terlihat di media sosial. TikTok, Instagram, hingga YouTube dipenuhi cuplikan gol spektakuler, formasi futsal yang rapi, hingga teknik dasar futsal yang dipoles menjadi konten estetik.

Futsal kini tak hanya berbicara soal siapa yang menang atau kalah di lapangan. Narasi identitas digital ikut bermain. Generasi muda menjadikan futsal sebagai perpanjangan diri mereka di ruang virtual. “Highlight permainan bukan hanya soal prestasi, tetapi juga representasi diri,” katanya. Bagi sebagian anak muda, posisi di futsal bukan cuma strategi teknis, melainkan citra yang bisa dipamerkan di dunia maya, seperti AXIS Nation Cup 2025, yang bisa dilihat di anc.axis.co.id atau axis.co.id.

Fenomena ini mirip dengan bagaimana skateboarding atau basket jalanan pernah viral di awal 2000-an. Bedanya, futsal hadir pada era di mana distribusi visual lebih cepat dan lebih masif. Dalam hitungan detik, sebuah video skill individu bisa viral dan membentuk tren baru. Dari dribbling kreatif, sepatu futsal bermerek, hingga gaya selebrasi gol, semua bisa menjadi bagian dari “brand” pribadi seseorang.

Sejumlah pihak melihat hal ini sebagai bentuk baru dari komodifikasi identitas. Olahraga yang semula lahir dari kebutuhan komunitas kini terikat pada algoritma digital. Anak muda berlomba mengasah teknik dasar futsal bukan hanya demi kompetisi, tetapi juga demi mendapatkan pengakuan dalam bentuk likes, views, atau komentar di platform digital. Hashtag tertentu, termasuk #FutsalAXISNationCup dan #SuaraParaJuara, menjadi pintu masuk bagi mereka yang ingin bergabung dalam percakapan digital yang lebih besar.

Lebih jauh, futsal juga menjadi medium untuk menegosiasikan kelas sosial. Laman seperti anc.axis.co.id dan axis.co.id misalnya, memperlihatkan bagaimana ekosistem digital mulai memfasilitasi ajang kompetisi futsal sebagai wadah ekspresi anak muda. Ada pergeseran: futsal tidak lagi hanya berlangsung di lapangan sewaan atau turnamen lokal, tetapi juga di ruang maya tempat ribuan orang menonton secara serentak.

Namun, ada sisi gelap dari tren ini. Identitas digital yang dibangun dari futsal kerap memunculkan standar baru yang tidak semua orang bisa ikuti. Pemain dengan gaya flamboyan, sepatu bermerek, dan video yang diedit rapi cenderung lebih mudah dikenal dibanding mereka yang bermain dengan kemampuan serupa tanpa dukungan produksi digital. “Yang viral bukan selalu yang terbaik, tapi yang paling bisa mengemas diri,” ujar seorang pengamat budaya populer.

Dalam konteks ini, formasi futsal tidak lagi dipahami hanya sebagai strategi bertahan atau menyerang, tetapi juga sebagai simbol kolektif yang bisa memperkuat narasi komunitas di ruang digital. Sebuah tim yang solid dengan gaya bermain khas bisa menjadi magnet identitas, bukan hanya di lapangan tetapi juga di media sosial.

Tempo perubahan ini membuat futsal lebih dari sekadar olahraga populer di sekolah dan kampus. Ia sedang bergerak menjadi gaya hidup, bahkan identitas generasi. Bagi sebagian pelajar, menjadi “anak futsal” sama artinya dengan mengukir citra sosial di dunia maya. Posisi di futsal yang mereka pilih di lapangan pun kerap menjadi metafora tentang siapa diri mereka di luar lapangan: kiper yang tangguh, anchor yang mengatur ritme, atau pivot yang menjadi ujung tombak.

Seperti halnya olahraga padel yang mendunia lewat media sosial, futsal sedang menapaki jalur serupa. Bedanya, futsal punya akar yang jauh lebih kuat di Indonesia. Viralitas hanyalah akselerator. Di balik algoritma digital, ada budaya lapangan kecil yang sudah bertahun-tahun tumbuh dan kini menemukan panggung globalnya.