Hernawan | Irhaz Braga
Purbaya Yudhi Sadewa [Instagram]
Irhaz Braga
Baca 10 detik
  • Gaya komunikasi santai ala Susi Pudjiastuti, Basuki Hadimuljono, dan kini Purbaya Yudhi Sadewa membuat pejabat terasa lebih dekat, jujur, dan manusiawi di mata publik.
  • Bahasa sederhana memberi kesan transparansi, empati, dan membuat rakyat merasa dilibatkan langsung dalam pembahasan kebijakan, bukan hanya jadi pendengar.
  • Fenomena ini jadi tren baru politik: rakyat merindukan pejabat yang bukan hanya membuat kebijakan, tapi juga mampu menyapa dengan bahasa rakyat, meski ada risiko kontroversi.

Dalam ingatan publik, gaya bicara santai, lugas dan apa adanya Susi Pudjiastuti masih membekas meski ia tak lagi menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan. Ucapannya sering spontan, bercampur bahasa asing dan logat daerah, kadang melawan arus, tetapi justru terasa jujur dan apa adanya. Ia menembus sekat antara pejabat dan rakyat, membuat publik merasa bahwa suara mereka punya tempat di ruang kekuasaan.

Hal serupa berlaku bagi Basuki Hadimuljono, yang kini juga tak lagi menjadi Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Sosoknya kerap tampil dengan gaya hangat, menyanyi di acara resmi, bercanda dengan wartawan, dan menjawab pertanyaan dengan bahasa sederhana. Basuki meninggalkan kesan bahwa pejabat bukanlah sosok yang selalu kaku di balik podium, melainkan manusia biasa yang bisa tertawa bersama rakyat.

Kenangan akan keduanya menjadi semacam standar baru bagi publik dalam menilai komunikasi pejabat negara. Kini gaya serupa muncul pada figur Purbaya Yudhi Sadewa, Menteri Keuangan yang baru.

Berbeda dengan pendahulunya yang identik dengan gaya teknokratik, Purbaya tampil dengan komunikasi ringan, santai, bahkan penuh humor. Ia menjelaskan kondisi fiskal dan kebijakan ekonomi dengan bahasa yang bisa dipahami tanpa harus membuka kamus istilah ekonomi. Di tengah ketidakpastian global, gaya seperti ini memberi rasa dekat dan menenangkan, seakan-akan rakyat sedang berbincang dengan tetangga sendiri.

Mengapa gaya ini begitu disukai. Jawabannya sederhana, karena bahasa yang membumi membuat pejabat terasa lebih dekat. Formalitas berlebihan sering menciptakan jarak. Saat pidato pejabat penuh istilah teknis, rakyat merasa kebijakan hanyalah urusan segelintir elit. Namun ketika seorang menteri berbicara dengan bahasa sehari-hari, publik merasa diajak bicara langsung, bukan sedang mendengar perintah dari atas.

Gaya komunikasi santai juga memberi kesan transparansi. Bahasa yang terlalu resmi sering dianggap penuh pencitraan. Sebaliknya, gaya spontan yang lugas menimbulkan rasa percaya karena publik melihat keaslian, bukan naskah yang sudah disusun dengan hati-hati. Dari situ muncul keyakinan bahwa pejabat benar-benar mengungkapkan pikirannya, bukan sekadar menyampaikan kalimat protokol.

Lebih jauh, gaya komunikasi ini juga memunculkan empati. Ketika dulu Susi berbicara soal laut dan nelayan, emosinya terasa nyata. Saat Basuki berseloroh di sela penjelasan proyek infrastruktur, rakyat melihat sisi manusiawi dari seorang pejabat. Ketika Purbaya menjelaskan fiskal negara dengan perumpamaan sederhana, publik merasa bahwa isu ekonomi bukan sesuatu yang jauh, melainkan bagian dari kehidupan mereka sehari-hari.

Fenomena ini membuktikan bahwa rakyat menilai pejabat bukan hanya dari kebijakan yang dihasilkan, tetapi juga dari cara kebijakan itu dikomunikasikan. Dalam politik, komunikasi bukan sekadar alat penyampai informasi, tetapi juga bagian dari legitimasi. Pejabat yang mampu berbicara dengan bahasa rakyat akan lebih mudah mendapatkan simpati dan dukungan, bahkan ketika kebijakan yang dibawa tidak selalu populer.

Tentu ada risiko. Bahasa yang terlalu santai bisa menimbulkan kontroversi, apalagi bila disampaikan tanpa pertimbangan. Namun publik tampaknya lebih memilih pejabat yang sesekali blak-blakan daripada mereka yang terlalu terikat formalitas.

Pengalaman bersama Susi, Basuki, dan kini Purbaya menunjukkan bahwa rakyat merindukan pejabat yang bukan hanya pandai merumuskan kebijakan, tetapi juga piawai menyapa rakyat dengan bahasa yang sederhana. Demokrasi bukan hanya soal kebijakan makro dan undang-undang, melainkan juga soal bagaimana rakyat merasa didengar dan diajak berbicara.

Jika tren ini terus berlanjut, bisa jadi wajah komunikasi politik di Indonesia akan semakin berubah. Pejabat publik dituntut bukan hanya mampu memimpin, tetapi juga mampu menjadi teman bicara. Dan mungkin itulah yang sebenarnya dirindukan rakyat dari pemerintahannya, bukan sekadar keputusan yang lahir di meja rapat, melainkan percakapan yang jujur dan apa adanya.