Sebagai masyarakat yang hidup di negeri berhutan tropis, kita akrab dengan kabar pembukaan lahan, Proyek Strategis Nasional (PSN), hingga ekspansi perkebunan yang kerap dibingkai sebagai jalan memajukan perekonomian.
Pembangunan sering diposisikan sebagai sebuah keharusan, sementara hutan seolah menjadi harga yang wajar untuk dibayar.
Pertanyaannya, apakah pembangunan memang harus mengorbankan hutan demi keberlanjutan? Ataukah selama ini kita telah terbiasa mengorbankan alam tanpa benar-benar memperhitungkan segala sesuatu yang hilang?
Jika ditelaah lebih jauh, hutan bukan sekadar hamparan pepohonan. Hutan adalah ekosistem, sebuah sistem kehidupan yang selama ini bekerja dalam diam demi menjaga keseimbangan alam.
Ketika hutan benar-benar dihilangkan, patut kita pertanyakan kembali: apakah itu harga yang pantas sebagai bayaran atas nama pembangunan?
Hutan Kita Bukan Lahan Kosong yang Menunggu Ekskavator
Dalam praktik perencanaan dan perizinan, hutan kerap diperlakukan seolah-olah sebagai lahan “tersedia” selama belum dimanfaatkan secara ekonomi. Cara pandang inilah yang membuat pembukaan hutan sering dianggap wajar, bahkan dianggap perlu atas nama pembangunan.
Padahal, menurut Forest Watch Indonesia (FWI), sebagian besar deforestasi di Indonesia justru terjadi akibat alih fungsi hutan yang direncanakan, baik untuk perkebunan, pertambangan, maupun proyek infrastruktur.
Fakta ini menunjukkan bahwa hilangnya hutan tidak selalu bermula dari aktivitas ilegal, melainkan juga dari keputusan yang sah secara administratif.
Ketika hutan dipandang sebagai lahan kosong yang menunggu ekskavator, kita perlahan melupakan perannya sebagai sistem yang menyangga kehidupan. Hutan menyimpan air, menjaga kesuburan tanah, menstabilkan iklim lokal, dan menjadi rumah bagi keanekaragaman hayati.
Saat kawasan hutan dibuka, fungsi-fungsi ini ikut hilang, meski dampaknya sering kali tidak langsung dirasakan oleh mereka yang hidup jauh dari wilayah hutan. Namun pada akhirnya, kerusakan itu tetap kembali kepada manusia, dalam bentuk krisis air, bencana ekologis, dan kualitas lingkungan hidup yang semakin rusak.
Jangan Jadikan Alam sebagai "Tumbal" Kemajuan Ekonomi
Dalam banyak rencana pembangunan, alam sering ditempatkan di posisi yang serba salah. Hutan dianggap penting, namun sering kali dikorbankan ketika dianggap menghambat laju ekonomi.
Hutan ditebang, lahan dibuka, dan kerusakan lingkungan seolah menjadi konsekuensi yang harus diterima demi pertumbuhan.
Padahal, berbagai kajian pembangunan berkelanjutan yang dirilis oleh United Nations (UN) justru menunjukkan sebaliknya: perlindungan hutan dan lingkungan hidup adalah fondasi penting bagi kemajuan ekonomi jangka panjang.
UN menegaskan bahwa hutan berperan besar dalam menjaga stabilitas iklim, ketersediaan air, ketahanan pangan, serta mata pencaharian jutaan orang. Ketika hutan dikelola dengan benar dan melibatkan masyarakat lokal, manfaat ekonomi tetap bisa diperoleh tanpa harus merusak daya dukung alam.
Dengan kata lain, alam bukan penghalang pembangunan, melainkan penopang yang sering luput dari perhitungan.
Karena itu, persoalan sebenarnya bukanlah memilih antara membangun atau menjaga hutan. Pertanyaannya adalah apakah kita akan terus menjadikan alam sebagai “tumbal” kemajuan ekonomi, atau mulai membangun dengan cara yang lebih bijak; yaitu dengan cara yang tidak mengorbankan masa depan demi keuntungan sesaat.
Berhenti Memusuhi Alam, Saatnya Kita Hidup Berdampingan
Deforestasi bukan sekadar laporan rumit di atas kertas atau grafik yang naik dan turun dari tahun ke tahun. Data-data itu adalah cerminan cara kita memandang dan memperlakukan alam selama ini.
Berbagai laporan lingkungan telah lama mengingatkan dampak hilangnya hutan, namun perubahan nyata baru akan terjadi ketika kita berhenti melihat hutan semata-mata sebagai komoditas yang bisa terus dieksploitasi.
Sebagai manusia, kita hidup di bawah langit yang sama dan menghirup udara yang sama. Ketika hutan hilang, yang terancam bukan hanya harimau atau masyarakat di pedalaman, tetapi juga masa depan kita semua. Sudah saatnya kita mengubah cara bertanya: bukan lagi soal berapa banyak pohon yang boleh ditebang demi kepentingan ekonomi, melainkan seberapa bijak kita dapat membangun tanpa merusak sumber kehidupan yang menopang kita bersama.
Sumber:
https://www.un.org/en/climatechange/science/climate-issues/forests
https://fwi.or.id/silang-sengkarut-pengelolaan-hutan-indonesia/
https://fwi.or.id/proyek-strategis-nasional-dan-deforestasi/
Baca Juga
-
Mulai dari Rumah, Inilah 7 Cara Sederhana Menerapkan Green Living
-
Kelapa Sawit: Sama-sama Pohon, tapi Tak Bisa Gantikan Fungsi Hutan
-
Reforestasi Bukan Sekadar Menanam Pohon, Ini Upaya Memulihkan Ekosistem
-
Di Balik Diamnya INFJ: Intuisi Kuat dan Kepekaan yang Luar Biasa
-
Bingung Pilih OOTD? Ini 5 Aplikasi Terbaik untuk Inspirasi Gaya Anda
Artikel Terkait
Kolom
-
Raja Ampat Dijaga dari Wisatawan, Eksploitasi Masih Mengintai
-
Remaja, Keranjang Oranye, dan Ilusi Bahagia Bernama Checkout
-
Terperangkap Bayang-Bayang Patriarki, Laki-Laki Cenderung Lambat Dewasa
-
Marissa Anita dan Perfeksionisme: Tak Ada Ruang untuk Setengah-Setengah
-
Drone Dilarang, Tambang Bebas Jalan: Ada Apa dengan Konservasi Kita?
Terkini
-
Sinopsis Last Samurai Standing, Upaya Keras Selamatkan Keluarga
-
Tak Pandang Bulu, Ini Cara Nova Arianto Seleksi Pemain Untuk Timnas U-20!
-
Tekuk Vietnam Lewat Adu Penalti, Filipina Kejutan Sempurna SEA Games 2025
-
5 Film Terbaik Byun Yo Han yang Wajib Ditonton, Terbaru Ada Tazza 4
-
Review Film Avatar: Fire and Ash, Spektakel Visual Apik di Pandora