Di era Orde Baru, yang berkuasa adalah tentara, politisi, dan segelintir elite. Tapi di era digital, peta kekuasaan jauh lebih rumit.
Ada satu kekuatan baru yang tumbuh dan tidak bisa diabaikan, yaitu influencer. Mereka tidak punya senjata, tidak punya kursi di parlemen, apalagi pasukan. Tapi dengan ponsel, ring light, dan audiens ratusan ribu hingga jutaan, mereka mampu mengguncang opini publik.
Pertanyaannya, apa yang terjadi ketika kekuatan opini publik itu berhadapan langsung dengan aparat negara yang bersenjata?
Kasus terbaru yang menimpa influencer Ferry Irwandi membuka bab baru dalam pertanyaan ini. Ferry, yang dikenal sebagai salah satu penggagas 17+8 Tuntutan Rakyat bersama beberapa influencer, seperti Jerome Polin dan Andovi da Lopez, kini dilirik aparat sebagai dugaan pelaku tindak pidana siber.
TNI, lewat satuan sibernya, mengklaim menemukan indikasi pelanggaran. Amnesty International segera mengingatkan kalau ini di luar tugas TNI. Tapi publik justru membaca persoalan ini dengan kacamata yang berbeda, yaitu tentang mengapa suara di media sosial begitu dianggap berbahaya sampai harus ditangani aparat bersenjata?
Dulu, pertarungan demokrasi hanya ada di parlemen. Partai politik berdebat, pemerintah menjawab, rakyat menonton atau protes di jalanan. Tapi kini, arena itu bergeser ke ruang siber.
Tagar bisa jadi lebih kuat daripada lobi politik. Threads panjang bisa lebih memengaruhi persepsi ketimbang pidato resmi di DPR. Bahkan gerakan 17+8 Tuntutan Rakyat tidak lahir dari partai, tapi dari komunitas anak muda, influencer, dan aktivis digital yang mengemas keresahan rakyat.
Inilah yang membuat pemerintah atau aparat sering salah langkah. Mereka masih melihat politik sebagai urusan meja rapat dan kursi kekuasaan. Padahal, legitimasi justru dipertaruhkan di ruang publik digital. Kalau opini mayoritas sudah terbentuk lewat Twitter, TikTok, atau Instagram, maka sulit bagi pemerintah untuk mengendalikannya hanya dengan konferensi pers.
Kepanikan aparat terhadap influencer sebetulnya bisa dipahami, meski tidak bisa dibenarkan. Di mata negara, influencer yang vokal seperti Ferry dianggap generator opini publik yang bisa mempercepat lahirnya konsensus rakyat. Kalau dulu butuh waktu berbulan-bulan untuk mengorganisir demonstrasi atau perlawanan, sekarang cukup dengan satu viral post.
Itu sebabnya gerakan 17+8 Tuntutan Rakyat dianggap ancaman, karena tuntutan soal transparansi, keadilan sosial, dan akuntabilitas jelas sah dalam demokrasi.
Tapi karena kecepatannya menular. Negara terbiasa menghadapi oposisi lewat jalur partai, bukan lewat influencer-led movement yang cair, susah dikontrol, dan tidak punya struktur hierarki.
Di satu sisi ada influencer dengan kamera, mikrofon, dan kreativitas. Di sisi lain ada aparat negara dengan hukum, senjata, dan institusi.
Pertarungan ini jelas tidak seimbang jika hanya dilihat dari alat. Tapi justru di situlah letak paradoks era digital bahwa opini publik bisa jadi jauh lebih memengaruhi stabilitas politik ketimbang senjata.
Kita bisa lihat, banyak kebijakan yang mundur gara-gara tekanan warganet, mulai dari RUU kontroversial hingga isu sosial. Artinya, meski influencer tidak punya peluru, tapi mereka punya amunisi moral yang tidak kalah mematikan, yaitu legitimasi publik.
Kasus Ferry hanyalah ilustrasi dari perubahan besar demokrasi yang kini tidak hanya dipertarungkan di parlemen, tapi di ruang siber.
Parlemen masih penting secara formal, tapi ruang digitallah yang lebih cepat membentuk persepsi rakyat. Di sinilah kita harus waspada, kalau aparat negara melihat ruang digital sebagai ancaman, alih-alih sebagai kanal partisipasi, maka bentrokan akan makin sering terjadi.
Seharusnya, ruang siber dipandang sebagai ekstensi demokrasi, bukan sebagai musuh negara. Kritik di timeline tidak otomatis melemahkan pertahanan, justru bisa jadi alarm dini bagi kebijakan yang salah arah.
Tapi jika setiap kritik dipantau oleh satuan siber, maka bukan tidak mungkin rakyat kembali dicekam politik ketakutan, bedanya, kali ini bukan lewat pos ronda dan tentara di jalanan, tapi lewat notifikasi dan take down konten.
Pertanyaan akhirnya kembali pada judul, siapa yang lebih berkuasa di era digital, influencer atau aparat negara? Jawabannya, dua-duanya berkuasa, tapi di arena yang berbeda. Aparat punya kuasa fisik, influencer punya kuasa simbolik. Aparat bisa menangkap tubuh, influencer bisa menggerakkan pikiran.
Aparat seharusnya fokus menjaga keamanan dan pertahanan, bukan mematikan suara sipil. Influencer pun harus sadar, mereka bukan sekadar pembuat konten, tapi aktor politik baru yang punya tanggung jawab moral.
Kalau aparat terus melihat influencer sebagai musuh dan ancaman, maka yang kalah bukan hanya satu orang, tapi kita semua. Demokrasi akan kehilangan arena sehatnya, dan yang tersisa hanya pertarungan tanpa arah antara senjata dan suara.
Baca Juga
-
Purbaya Yudhi Sadewa dan Rp200 Triliun: Antara Kebijakan Berani dan Blunder
-
Bumerang Komunikasi: Ketika Video Pemerintah di Bioskop Dianggap Gangguan
-
TNI dan Batas Peran dalam Ranah Sipil: Dari Barak ke Timeline
-
Politik Ketakutan: Membungkam Kritik dengan Label Pidana
-
Budaya Trial and Error dalam Kabinet Indonesia
Artikel Terkait
-
Deddy Corbuzier Kena Tegur Ferry Irwandi karena Tayangkan Podcast Sosok Ini
-
Pesan Mendalam Jelang Putusan Gugatan UU TNI: Apakah MK Bersedia Berdiri Bersama Rakyat?
-
Siapa Nama Asli Tasya Farasya? Ternyata Pernah Perbaiki Nama di KTP
-
Kisah Inspiratif Devon Kei Enzo: IQ di Atas Rata-Rata, Usia 15 Tahun Jadi Mahasiswa di Australia
-
Peran 2 Anggota Kopassus di Kasus Pembunuhan Kacab Bank: Atur Penculikan hingga Buang Jasad
Kolom
Terkini
-
Toreh Prestasi! Owen Cooper Jadi Aktor Termuda Pemenang Emmy Awards
-
FOMO Bikin Gelisah? Temukan Kedamaian Hidup dengan Digital Detox
-
Pratama Arhan dan Azizah Salsha Jalani Sidang Ikrar Talak Akhir September?
-
Geruduk DPR dan Kemenhub, Ini Rincian 7 Tuntutan Demo Ojol untuk Pemerintah dan Aplikator
-
Fosil Iklim Ungkap Fakta Mengejutkan: Pemanasan Global Terburuk Justru Belum Dimulai!