MBG: Makan Bergizi Gratis. Namanya terdengar manis, tapi apakah rasanya juga aman? Beberapa penerima mulai merasakan efek samping yang bikin bertanya-tanya: apakah yang gratis itu selalu baik?
Program MBG, yang digagas pemerintah sebagai upaya memperbaiki gizi masyarakat, awalnya disambut antusias. Namun, beberapa laporan mulai muncul: beberapa penerima mengaku mengalami gangguan pencernaan, rasa makanan yang aneh, hingga kekhawatiran soal kandungan bahan yang digunakan.
Menurut laporan Suarariau.id, sebanyak 157 siswa dari tingkat SD, SMP, SMA, dan SMK di Kota Salakan, Kabupaten Banggai Kepulauan, Provinsi Sulawesi Tengah mengalami dugaan keracunan akibat Makan Bergizi Gratis (MBG) pada Rabu (17/9/2025). Dari jumlah tersebut, 77 siswa masih menjalani perawatan serius di rumah sakit, sementara 80 lainnya telah dipulangkan untuk rawat jalan.
Melihat insiden ini, terlihat adanya celah serius dalam program MBG. Makanan yang seharusnya menjadi sumber gizi bagi anak-anak justru menimbulkan masalah kesehatan yang nyata.
Pengawasan terhadap proses pengolahan dan distribusi makanan tampaknya belum dijalankan dengan ketat, sehingga tujuan awal program untuk meningkatkan gizi siswa justru terancam. Kasus ini menunjukkan bahwa gratis tidak selalu identik dengan aman, dan bergizi tidak selalu menjamin kesehatan jika prosedur dasar seperti kebersihan dan kualitas bahan diabaikan.
Kejadian ini menjadi peringatan penting bagi semua pihak yang bertanggung jawab atas penyediaan makanan bagi anak-anak, agar setiap program sejenis lebih terjamin keamanannya.
MBG memang terdengar seperti program idaman, makanan bergizi untuk anak-anak dan tanpa dipungut biaya. Namun kejadian di Banggai Kepulauan menunjukkan bahwa “gratis” tidak selalu berarti aman. Ratusan siswa justru dirawat karena dugaan keracunan, menyoroti lemahnya pengawasan terhadap kualitas makanan yang seharusnya menyehatkan.
Program MBG kini menjadi cermin dari masalah klasik dalam banyak inisiatif publik. Seolah mengisyaratkan bahwa niat baik sering kali berjalan tanpa kontrol yang memadai.
Anak-anak sering kali menjadi korban yang paling rentan, sementara klaim bergizi dan gratis lebih menarik di atas kertas dibandingkan kenyataan di lapangan.
Situasi ini menegaskan bahwa niat baik harus dibarengi dengan disiplin dan tanggung jawab nyata, agar program yang semestinya menyehatkan tidak berubah menjadi ancaman bagi mereka yang seharusnya dilindungi.
Anak-anak yang seharusnya menjadi penerima manfaat, justru menjadi korban lemahnya kontrol dan prosedur yang diabaikan. Program yang terdengar manis, harus diuji bukan sekadar dari niatnya, tapi dari keamanan dan kualitas nyata yang diterima siswa. Jika tidak, apa yang seharusnya menyehatkan berpotensi berubah menjadi ancaman serius.
Baca Juga
-
Sony Rilis Trailer Anaconda: Adaptasi Baru Thriller Klasik 1997
-
Lelaki dan Kelopak Bunga: Narasi Genderless di Sporadies
-
RPG Koleksi Baru: Seven Knights Re:BIRTH Resmi Meluncur di Indonesia
-
'Belum Terlihat'? Pernyataan Menteri HAM soal Pendemo Hilang Tuai Kritik Pedas!
-
When Botanies Meets Buddies: Sporadies Meramban Bunga Jadi Cerita
Artikel Terkait
-
Minta Maaf Kasus Keracunan MBG Kembali Terulang, Pemerintah: Bukan Kesengajaan
-
Profil dan Kekayaan Dony Oskaria, Ditunjuk Prabowo Jadi Plt Menteri BUMN
-
Iklan Presiden Prabowo di Layar Lebar, Bioskop Jadi Panggung Politik?
-
Ribuan Siswa Keracunan MBG, Warganet Usul Tim BGN Berisi Purnawirawan TNI Diganti Alumni MasterChef
-
Gelombang Keracunan MBG, Negara ke Mana?
Kolom
Terkini
-
Sakura Jayakarta: Bunga yang Tumbuh di Tengah Bara Penjajahan
-
Intip Profil Awkarin, Perjalanan Karier Hingga Pindah Ke Melbourne
-
MAN 1 Yogyakarta Fasilitasi Sosialisasi TKA 2025
-
Film Tuhan Izinkan Aku Berdosa: Membongkar Patriarki dan Kekerasan Simbolik
-
3 Film Indonesia yang Tayang Perdana di BIFF 2025: Tembus Panggung Dunia