Hayuning Ratri Hapsari | Gabriella Keisha
Rumah Baca Komunitas (Dok. Pribadi/Gabriella Keisha)
Gabriella Keisha

Di tengah krisis literasi yang kian kompleks, harga buku mahal, perpustakaan publik sulit diakses, dan anak-anak lebih akrab dengan gawai ketimbang halaman buku. Sebuah rumah sederhana di kampung Yogyakarta memilih untuk tidak menyerah. 

Rumah Baca Komunitas (RBK) namanya, terletak di Dusun Jl. Kanoman, Area Sawah, Banyuraden, Gamping, Sleman. Namun, rumah ini bukan sekadar tempat penyimpanan buku. Rumah ini adalah ruang hidup, ruang tumbuh, dan ruang belajar bersama.

Didirikan oleh David Effendi pada tahun 2012, RBK lahir dari gagasan kecil namun bernilai. “Bagaimana buku tidak hanya berdiam di rak, tapi harus bermanfaat bagi banyak orang.”

Nilai Hidup Ditanam, Bukan Hanya Diajarkan

Rumah Baca Komunitas (RBK) dibangun  di atas nilai-nilai kebebasan, inklusivitas, toleransi, dan humanisme. Namun, nilai-nilai ini tidak terletak di poster atau papan sambutan, melainkan dijalankan sehari-hari.

Nilai-nilai itu dijalankan lewat cara menyambut pengunjung tanpa syarat, lewat ruang diskusi terbuka, dan lewat kepercayaan penuh kepada siapa pun yang ingin membaca. Meminjam buku tanpa syarat, tanpa KTP, tanpa waktu pengembalian, tanpa denda.

“Di sini semua orang berhak merdeka untuk membaca, kalau buku yang dipinjam nggak kembali, berarti dia sudah menemukan ibu kandungnya,” ujar salah satu penggiat, Faiz.

Slogan yang Jadi Gerakan: Membaca, Menulis, Menanam

Kebun Rumah Baca Komunitas (Dok. Pribadi/Gabriella Keisha)

Di sini, slogan “Membaca, Menulis, Menanam.” menyatu dalam setiap aktivitasnya. Tiga kata ini bukan sekadar jargon, melainkan cara hidup yang dipraktikkan.

Membaca, di sini ada ribuan buku terbuka bebas di rak-rak RBK. Dari buku cerita anak, novel, komik, hingga berbagai buku ensiklopedia. Menulis, ruang diskusi dan kelas kecil sering digelar di sini untuk mendorong orang menuangkan gagasannya. Menanam, di pekarangan RBK, tumbuh berbagai tanaman, sayuran, hingga buah-buahan, sebagai bentuk praktik ekoliterasi.

Menjawab Krisis Literasi Lewat Kepercayaan dan Kebersamaan

Di saat survei nasional menunjukkan rendahnya minat baca dan minimnya akses terhadap buku, RBK menawarkan jalan alternatif: membangun literasi berbasis kepercayaan, kesukarelaan, dan kebersamaan.

RBK menjadi ruang literasi yang hidup 24 jam. Di sini, tak ada sistem pinjam formal. Siapa pun boleh meminjam buku tanpa syarat.

Tidak perlu menunjukkan kartu identitas, tidak ada batas waktu pengembalian. Bahkan ketika buku tidak dikembalikan pun, itu dianggap bagian dari perjalanan buku tersebut menemukan pemilik sejatinya. 

Rumah Ini Hidup dan Menyalakan Semangat

Rumah Baca Komunitas bukan hanya tempat membaca. Ia adalah rumah yang tumbuh dari nilai. Rumah yang dibangun dari buku-buku bekas dan kepercayaan penuh kepada orang lain. Rumah yang menunjukkan bahwa di tengah krisis literasi, masih ada ruang yang menyalakan cahaya, dengan cara yang sederhana tapi bermakna: membaca, menulis, menanam.

Dan dari rumah kecil di pinggiran Yogyakarta ini, semangat literasi kembali dinyalakan, bukan dengan seremonial, tetapi dengan tindakan nyata dan keterlibatan sehari-hari. RBK hadir sebagai bukti bahwa perubahan bisa dimulai dari hal kecil, dari buku, dan dari mereka yang tak lelah percaya bahwa pengetahuan harus dibagikan, bukan dikunci.