Pesantren, sebagai lembaga pendidikan berbasis agama, idealnya menjadi tempat belajar tidak hanya ilmu pengetahuan dan agama, tetapi juga akhlak, kepedulian, dan keamanan bagi semua santri. Sayangnya, kasus kekerasan terhadap anak termasuk bullying masih terjadi, bahkan di lingkungan pesantren.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak (PPPA), Arifah Fauzi, mengingatkan bahwa relasi kuasa: di mana pihak dengan otoritas lebih menggunakan kekuasaan atas yang lemah dapat menjadi salah satu akar terjadinya bullying.
Dalam sebuah sambutan peresmian Masjid dan Pondok Pesantren Riyadlul Jannah 2 Internasional di Karawang, Arifah Fauzi meminta agar pesantren menjadi zona aman dan nyaman bagi santri, di mana setiap individu dapat bertumbuh secara mental dan fisik, spiritual dengan aman tanpa rasa takut.
Santri Pelopor
Istilah pelopor dalam konteks ini merujuk pada santri atau pengurus pesantren yang dapat menjadi agen perubahan: mendorong terciptanya lingkungan pesantren yang aman dan menolak segala bentuk kekerasan. Santri pelopor bisa melakukan beberapa hal berikut ini:
- Menyebarkan informasi tentang bahaya bullying dan menyadari relasi kuasa yang ada di antara sesama santri
- Membentuk kelompok diskusi atau peer support group di pesantren
- Membantu pengasuh dalam mengawasi kegiatan atau interaksi antar santri agar tidak menimbulkan sikap intimidasi
- Menguatkan nilai empati dan sikap peduli antar sesama santri
Dengan menjadi pelopor, santri tidak hanya melestarikan budaya pesantren yang aman, tetapi juga menjadi pesantren menjadi lebih manusiawi.
Santri Pelapor
Sementara itu, santri pelapor juga berperan penting: ketika terjadi tindakan kekerasan dan diketahui, santri atau pihak lain wajib serta berani melapor pada pihak yang berwenang di pesantren, baik pengasuh atau institusi terkait agar tindakan tersebut dapat ditindaklanjuti.
Arifah Fauzi secara tegas mengajak agar tidak ada rasa takut dalam melapor. Karena selain aspek keamanan dan keadilan di dunia, ada pula pertanggungjawaban di akhirat.
"Jangan takut untuk melapor kepada pihak berwenang ketika mengetahui adanya kekerasan. Karena apapun yang kita kerjakan di dunia ini, akan diminta pertanggung jawabannya di akhirat nanti," pesan Arifah (dikutip dari suara.com).
Sistem pelaporan yang efektif di pesantren perlu didukung prosedur yang jelas, jaminan bahwa pelapor dan korban tidak akan dirugikan, dan mekanisme tindak lanjut yang transparan. Tanpa itu, banyak kasus yang mungkin tetap tersembunyi karena takut akan konsekuensi sosial atau takut disalahkan.
Mengapa Relasi Kuasa Penting Dipahami?
Relasi kuasa adalah kondisi di mana pihak memiliki kekuasaan: baik formal maupun informal: atas pihak lain.
Di pesantren, pengasuh, senioritas, aturan, dan tradisi bisa menciptakan relasi kuasa yang jika tidak dikelola dengan adil, bisa berubah menjadi alat kekerasan.
Bullying sering terjadi bukan hanya karena niat jahat, tetapi karena ketidaksadaran akan efek kekuasaan dan bagaimana kekuasaan itu bisa disalahgunakan.
Santri memiliki dua peran penting dalam upaya meminimalisir bullying di pesantren: sebagai pelopor yang mencegah, dan sebagai pelapor yang bertindak ketika kekerasan terjadi.
Pesantren harus menjadi lingkungan yang aman dan nyaman, di mana relasi kuasa diakui, dibatasi, dan dikendalikan agar tidak berubah menjadi penyalahgunaan.
Dukungan dari pengasuh, pihak pesantren, orang tua, dan pemerintah juga sangat diperlukan untuk membangun sistem yang adil dan responsif.
Dengan budaya pelopor dan pelapor yang kuat, pesantren dapat menjadi teladan dalam mencetak generasi yang tidak hanya cerdas akal dan kuat spiritual, tetapi juga matang secara emosional dan sosial, yang menghormati martabat sesama, menolak kekerasan, serta berani bersuara ketika ada yang salah.
Baca Juga
-
Pidato Tegas Prabowo di PBB: Desak Dunia Akui Palestina, Siap Kirim Pasukan Perdamaian
-
Suara Bergetar, Ferry Irwandi Klarifikasi usai Jadi Korban Framing IG Story
-
Korupsi Kuota Haji: KPK Bantah Istana Intervensi, tapi Kok Belum Ada Tersangka?
-
Fenomena 'Kaya Lewat Jalur Gemini': Jalan Pintas Gaul ala Netizen
-
Mengenal Pak Agus: Figur Seniman Penjaga Napas Suling Bambu
Artikel Terkait
-
Beda Pendidikan Gibran Vs Subhan Palal yang Gugat Ijazah Wapres
-
Terpopuler: Biaya Kuliah Gibran di UTS Insearch Sydney hingga Harga Sewa Hotel Prabowo di AS
-
Soal SD Rasa CPNS! Curhat Ibu Viral Bongkar Kurikulum Pendidikan yang Bikin Geleng Kepala
-
Alumni MDIS Dian Hunafa Turun Gunung Bela Ijazah Gibran: Aku Sakit Hati Juga Dong!
-
Roy Suryo Gebrak Meja: Sebut KPU 'Komisi Fufufafa' Lindungi Gibran, Ancam Gugurkan Jabatan Wapres
Kolom
-
Media Sosial, Desa, dan Budaya yang Berubah
-
Ketika Whoosh Bikin Anggaran Bengkak, Kereta Konvensional Jadi Anak Tiri?
-
Membaca Buku Self Improvement, Sumber Motivasi atau Malah Toxic Positivity?
-
Fatherless: Saat Ayah Ada tapi Tak Hadir
-
Film Pangku dan Arti Rising Star Award yang Diraih Claresta Taufan
Terkini
-
Mengapa Semua Orang Suka Cara Soleh Solihun dalam Mengulas Musik?
-
Selamat! Christopher Nolan Resmi Jadi Presiden Directors Guild of America
-
Lebih dari Sekadar Bola, Futsal Jadi Ruang Ekspresi Jiwa
-
Membangun Harmoni Tim di Futsal: Ketika Teknik Bertemu Solidaritas
-
Futsal: Ketika Lapangan Kecil Jadi Panggung Aksi Tanpa Henti