Hikmawan Firdaus | Gabriella Keisha
Ilustrasi uang  Rp 10.000 (Dok. Pribadi/Keisha)
Gabriella Keisha

Belakangan ini, FYP TikTok rame banget sama konten “10 tibu di tangan istri yang tepat.” Isinya biasanya para istri menunjukkan uang Rp.10.000 bisa mereka sulap jadi belanjaan dan masakan seadanya, bahkan sampai tips “Belanja tujuh ribu, nabung tiga ribu.”

Narasinya terdengar manis, tapi dibalik konten ini menuai pro dan kontra, banyak yang melawan, tapi nggak sedikit juga yang bilang, “ya kunci rumah tangga harmonis itu istri bisa ngatur uang berapapun.”

Padahal, ini bukan sekadar konten viral saja, melainkan cerminan dari masalah sosial, ekonomi, dan gender yang sudah mengakar.

Dari sisi ekonomi, kita tahu sendiri banyak keluarga di Indonesia hidup di batas cukup, atau bahkan kurang. Dalam kondisi seperti ini, perempuan sering jadi pihak yang dipaksa kreatif buat nutup kekurangan finansial rumah tangga.

Masalahnya, banyak pasangan pakai narasi “istri yang tepat bisa ngatur uang berapapun” buat melegitimasi ketidaktanggungjawaban finansial pasangan. Ya, mungkin “istri yang tepat bisa ngatur uang berapapun” terdengar keren. Tapi masa iya tandanya rumah tangga bahagia itu cuma satu pihak yang harus terus putar otak?

Kalau istrinya mengeluh dibilang nggak bersyukur, nggak ikhlas, atau malah dibilang matre. Padahal, tanpa disadari itu adalah bentuk dari kekerasan ekonomi. 

Istri yang sabar, hemat, dan “bisa diajak susah” dipuji seolah itu lambang kesetiaan, padahal itu bisa saja bentuk pengabaian yang dipakai untuk menutup-nutupi kurangnya tanggung jawab finansial.

Narasi ini lama-lama bikin perempuan merasa bersalah kalau minta hidup yang layak. Padahal dia nggak minta kemewahan kok, cuma hak dasar: hidup yang cukup, setara, dan berdaya.

Fenomena ini bisa terjadi ke siapa saja, bukan soal perempuan atau laki-laki. Ini soal pola hubungan. Rumah tangga bukan soal kompetisi soal siapa yang paling tahan makan nasi garam setiap hari, tapi kerja sama: soal komunikasi, perencanaan, dan saling dukung.

Kalau narasi kayak gini terus diglorifikasi akan makin banyak perempuan yang dibikin nggak berdaya atas nama cinta. Karena cinta seharusnya menguatkan bukan membungkam. Baik laki-laki maupun perempuan berhak merasa aman dan dihargai.