Hikmawan Firdaus | Thedora Telaubun
Dua Jack-o-lantern (Pexels/ Toni Cuenca)
Thedora Telaubun

Halloween dulu identik dengan hal-hal menyeramkan: vampir, zombie, penyihir. Tapi beberapa tahun terakhir, ada perubahan menarik dan agak absurd juga. Banyak kostum yang dulunya seram, kini tampil dengan potongan lebih minim dan gaya lebih “hot”. 

Dari sexy witch sampai “suster seksi”, Halloween pelan-pelan bergeser dari spooky ke sexy.

Penelitian menunjukkan tren ini bukan hal sepele. Studi Sullivan, Hipple, & Hyers berjudul Female Disempowerment Disguised as a Halloween Costume (2017) menemukan bahwa kostum perempuan, dibandingkan laki-laki, jauh lebih sering dibuat versi seksualnya. Kostum yang menggambarkan profesi, terutama yang diidentikkan dengan perempuan seperti nurse atau maid, cenderung difetishisasi.

Penelitian lain oleh Sherman, Allemand, & Prickett berjudul Hypersexualization and Sexualization in Advertisements for Halloween Costumes (2020) menganalisis lebih dari seribu iklan kostum dan menemukan pola serupa: kostum perempuan lebih sering digambarkan secara hypersexualized, bahkan untuk kategori remaja.

Salah satu contoh paling jelas adalah kostum nurse. Profesi perawat yang di dunia nyata bekerja di bawah tekanan tinggi dan tanggung jawab besar, diubah jadi versi sexy nurse dengan rok super pendek, stocking jala, dan simbol medis yang nggak relevan. 

Masalahnya bukan pada orang yang memilih pakai baju itu. Siapa pun bebas berekspresi lewat kostum. Tapi yang perlu dikritisi adalah bagaimana industri hiburan menjual fantasi yang menyederhanakan profesi penting menjadi objek seksual.

Pergeseran ini menunjukkan bahwa Halloween kini lebih sering dirayakan sebagai ajang tampil menarik daripada menakutkan. Seperti kata peneliti Sherman dkk., pakaian bukan sekadar kain: ia membawa pesan sosial tentang bagaimana tubuh perempuan dilihat dan dimaknai. 

Masalahnya, ketika makna seram berubah jadi seksual, Halloween kehilangan esensinya sebagai ruang bermain identitas dan imajinasi. Dulu orang memakai kostum untuk menantang rasa takut, sekarang lebih sering untuk menonjolkan daya tarik. 

Bukan salah, tapi menarik untuk dipikirkan: kapan tepatnya hiburan berubah jadi komodifikasi tubuh?

Sebagai konsumen, kita tetap punya pilihan. Nggak harus pakai kostum seram, tapi juga nggak perlu mengikuti pola industri yang selalu menonjolkan sensualitas sebagai satu-satunya cara “menarik”.

Halloween bisa tetap seru, kreatif, bahkan seksi, tanpa harus menjadikan profesi atau tubuh tertentu sebagai lelucon atau fantasi kolektif.

Intinya, ini bukan soal melarang baju seksi atau menyalahkan siapa pun yang mau tampil seperti itu. Ini soal bagaimana kita membaca ulang makna di balik perayaan. 

Karena setiap kostum adalah cerita kecil tentang siapa kita, bagaimana kita melihat tubuh, dan bagaimana budaya mempengaruhi pilihan itu.