Seorang siswa kelas 1 di SMPN 19 Tangsel berinisial MH (13) meninggal pada Minggu (16/11/2025) setelah diduga menjadi korban perundungan oleh teman sekelasnya, yang memukul korban menggunakan kursi besi di ruang kelas.
Insiden ini memicu reaksi dari Abdul Mu’ti, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, yang menyatakan akan mendalami kasus tersebut secara serius.
Kejadian ini seharusnya menjadi alarm bagi seluruh lingkungan sekolah bahwa bullying tidak bisa dianggap remeh.
Meski sering dibungkus sebagai “canda” atau “hanya main-main”, pukulan kursi terhadap MH menunjukkan bahwa garis antara lelucon dan kekerasan bisa sangat tipis.
Terlebih ketika pihak sekolah dan lingkungan tampak lamban merespons, keluarga korban menuding bahwa sekolah tidak proaktif, dan janji tanggung jawab dari keluarga pelaku belum ditepati.
Dalam praktiknya, banyak sekolah masih mengadopsi pola penanganan bullying yang reaktif, menunggu laporan resmi atau bukti fisik baru bergerak.
Padahal, jejak-jejak awal seperti perubahan sikap siswa, sakit kepala yang terus-menerus, hingga penarikan diri sosial seharusnya bisa jadi sinyal penting yang perlu diperhatikan.
Kasus MH memperlihatkan bahwa ketika sinyal ini tidak ditangkap dengan cepat atau bahkan diabaikan, dampaknya bisa fatal.
Pendidikan karakter dan penguatan budaya sekolah yang aman bukan sekadar jargon. Perlu strategi sistematis, misalnya pelatihan guru untuk mengenali tanda-tanda perundungan, prosedur pelaporan yang jelas, dan cara menciptakan ruang aman untuk siswa berbicara tanpa takut label.
Sekolah harus menjadi ruang siswa merasa dilindungi, bukan sekadar diawasi. Dengan insiden ini, tanggung jawab itu kembali ke pihak sekolah, pemerintah daerah, guru, dan komunitas untuk benar-benar mewujudkannya.
Di tengah sorotan publik dan tekanan agar kasus ini segera diusut tuntas, satu hal jelas yang harus selalu diingat oleh siapa pun bahwa bullying bukan urusan ringan yang bisa dilupakan atau dibuang ke “masalah anak-anak”.
Ketika kekerasan dianggap sepele, maka ruang aman bagi anak-anak menjadi lemah dan mudah runtuh.
Kasus SMPN 19 Tangsel menjadi pengingat keras bahwa setiap sekolah memiliki tugas mendesak untuk mencegah, mendeteksi, dan menanggulangi bullying, sebelum tragedi serupa terjadi lagi.
Baca Juga
-
Usia 20-an Kena Diabetes? Cek Kebiasaanmu Sekarang Juga!
-
Idealis, Danilla Riyadi Minta Album Barunya Didengar dari Awal
-
Lima Tahun Menunggu, Prabowo Bersihkan Nama Dua Guru Luwu Utara
-
Tersandera Maskulinitas, Laki-Laki Takut Mengaku Dilecehkan
-
'Duta Poligami', Fedi Nuril Balik Jadi Suami Dua Istri di Film Pangku
Artikel Terkait
-
Ada Siswa Dibully hingga Meninggal, Kepala Sekolah SMPN 19 Tangsel Didesak Mengundurkan Diri
-
Geger Siswa SMPN 19 Tangsel Tewas Diduga Dibully, Mendikdasmen: Saya Akan Dalami Kasus Ini!
-
Sepekan Lebih Kritis, Siswa SMP Korban Bullying di Tangsel Meninggal Usai Dipukul Kursi
-
Membekali Murid Menjadi Saksi Aktif untuk Mencegah Perundungan di Sekolah
-
Siswa SMAN 72 Bantah Ada Bullying di Sekolah: Jangan Termakan Hoaks
Kolom
-
Sepenggal Perjalanan Menjadi Pahlawan Tanpa Tanda Jasa
-
Di Balik Ucapan Hari Ayah: Fakta Mengejutkan Indonesia Negara dengan Tingkat Fatherless Tinggi
-
Literasi dan Numerasi Menurun: Alarm Bahaya untuk Pendidikan Nasional?
-
Menghidupkan Makna Pendidik Melalui Pengalaman Guru Gen Z Salah Berlabuh
-
Bintang Kebaikan di Hari Senin: Menyemai Karakter dengan Apresiasi
Terkini
-
Dukung Ekosistem Kampus, Alumni FISIP Unsoed Inisiasi 'Investasi Kolektif' Kafe dan Bentuk Yayasan
-
Ditodong Boiyen, Rafael Tan Akui Tak Punya Target Nikah dan Lebih Berserah
-
Pagi, Siang, atau Malam? Cari Tahu Kapan 'Jam Emas' Otakmu Bekerja Paling Optimal Buat Belajar
-
Usia 20-an Kena Diabetes? Cek Kebiasaanmu Sekarang Juga!
-
Runner Up Kumamoto Masters 2025: Gregoria Mariska Tunjung Tetap Bersyukur