Hayuning Ratri Hapsari | Fauzah Hs
Mendikdasmen Abdul Mu'ti (Instagram/kemendikdasmen)
Fauzah Hs

Sobat yoursay, baru-baru ini Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, mengungkap bahwa nilai Matematika SMA sederajat di Tes Kemampuan Akademik (TKA) 2025 jeblok.

Namun, ada kalimat yang membuat banyak guru merasa diremehkan, “Bukan karena muridnya goblok, tapi mungkin cara kita mengajarkannya dan bukunya tidak mendorong mereka belajar matematika.”

Mendikdasmen tidak menyalahkan murid, lalu siapa yang akhirnya menjadi pihak yang seolah-olah paling bersalah? Guru lagi, guru lagi.

Padahal masalah pendidikan Indonesia tidak sesederhana salah metode mengajar. Guru bekerja dalam sistem yang penuh aturan, kurikulum yang terus berganti, tuntutan administrasi yang tidak ada ujungnya, serta fasilitas yang sering kali jauh dari ideal.

Mengatakan nilai jeblok karena cara mengajar yang buruk adalah pengabaian terhadap konteks besar yang menjadi akar persoalan.

Mari kita lihat lebih dekat.

Para guru yang bereaksi terhadap pernyataan menteri ini memiliki keluhan yang serupa, kurikulum selalu berubah setiap kali menterinya berganti. Hari ini metode A, besok metode B, lusa metode C. Silabus berubah, format penilaian berubah, tujuan pembelajaran juga berubah.

Bahkan standar kelulusan pun ikut berubah hingga pada akhirnya sekolah dipaksa meluluskan siswa meski belum mencapai kompetensi maksimal. Bagaimana mungkin numerasi meningkat kalau naik kelas saja tidak lagi berbasis capaian, melainkan agar sekolah tidak terlihat buruk?

Sobat yoursay, bayangkan kamu seorang guru matematika yang harus mengikuti tiga perubahan kurikulum dalam lima tahun terakhir.

Setiap perubahan datang dengan buku baru, modul baru, sistem pelaporan baru, dan semuanya harus diterapkan cepat-cepat tanpa melihat kesiapan lapangan.

Sementara itu, pemerintah berharap hasil asesmen nasional melonjak seperti sihir. Apakah realistis?

Guru honorer pun berada dalam situasi yang lebih ironis.

Mereka dibebani tuntutan tinggi, diminta selalu berinovasi, tetapi penghasilannya sering kali tidak cukup untuk hidup layak, apalagi untuk membeli buku tambahan, ikut kursus, atau meningkatkan kompetensi STEM.

Pemerintah menuntut inovasi, tetapi tidak memberikan ekosistem yang memungkinkan inovasi itu tumbuh.

Banyak guru terpaksa mengajar sambil mencari pekerjaan sampingan agar dapur tetap mengepul. Lalu ketika nilai matematika siswa jeblok, mereka yang disuruh introspeksi? Sungguh tidak adil.

Pernyataan menteri bahwa pemerintah sedang menyiapkan buku-buku STEM yang mudah, murah, dan menyenangkan, juga mengundang pertanyaan baru. Selama ini, siapa yang menyusun kurikulum? Siapa yang menentukan standar buku?

Jika buku sebelumnya tidak mendorong siswa belajar, bukankah itu berarti pemerintah sedang mengakui kegagalan desain kebijakan pendidikan selama bertahun-tahun? Kenapa yang dikritik justru guru, bukan sistem yang menghasilkan buku-buku tersebut?

Guru bukan pesulap, mereka tidak bisa tiba-tiba mengubah dunia pembelajaran matematika jika soal ujian yang keluar jauh dari kisi-kisi yang diberikan.

Banyak guru mengeluh bahwa soal TKA 2025 sama sekali tidak sinkron dengan kisi, try out, ataupun materi yang dibahas MGMP.

Sobat yoursay, kalau kamu belajar setahun penuh tentang A, B, C, lalu tiba-tiba diuji X, Y, Z, apakah hasilnya tidak akan jeblok?

Pemerintah meminta guru dan murid mempersiapkan diri, tetapi panitia penyusun soal tidak menunjukkan koordinasi yang memadai. Guru akhirnya dianggap gagal, padahal yang benar-benar gagal adalah sistem yang tidak terintegrasi.

Budaya pendidikan kita faktanya memang terlalu fokus pada hasil, bukan proses. Ketika hasilnya buruk, kita buru-buru menyalahkan pihak paling dekat, yaitu guru.

Padahal masalah literasi dan numerasi adalah persoalan struktural jangka panjang. Kita tidak bisa berharap siswa mencintai matematika kalau sejak SD mereka diajarkan bahwa angka adalah sesuatu yang menakutkan. Kita tidak bisa berharap numerasi membaik kalau bahan ajar tidak menarik dan kurikulum tidak memberi ruang kreatif bagi guru.

Apakah pemerintah benar-benar memahami realitas lapangan, atau hanya melihat dari laporan-laporan formal yang disusun rapi?

Guru di lapangan tahu betul bahwa perbaikan pendidikan salah satunya ada pada keberanian pemerintah untuk berhenti menggonta-ganti kurikulum demi citra politik. Pemerintah juga harus melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem asesmen, termasuk sinkronisasi soal dengan kurikulum.

Sobat yoursay, kita berhak menuntut pemerintah untuk berhenti bersikap seolah-olah guru adalah biang masalah. Justru mereka adalah orang-orang yang tetap bertahan, meski kebijakan berubah-ubah tanpa arah.

Jika pemerintah sungguh ingin memperbaiki numerasi, mulailah dengan konsistensi, koordinasi, dan keberanian mengakui bahwa masalah terbesar pendidikan ada di ruang rapat pembuat kebijakan.