Krisis iklim membawa dampak yang semakin nyata bagi masyarakat pesisir. Cuaca ekstrem, kenaikan muka air laut, abrasi, hingga perubahan suhu membuat kegiatan melaut tidak menentu dan sumber penghidupan semakin rapuh. Pada kondisi seperti ini, perempuan menjadi kelompok yang paling rentan.
Mereka bukan hanya mengelola rumah dan keluarga, tetapi juga harus menanggung beban tambahan ketika pendapatan rumah tangga menurun akibat perubahan kondisi laut. Di banyak wilayah, perempuan pesisir berada di garis depan menghadapi dampak krisis iklim: dari kesehatan, pekerjaan, hingga keamanan diri.
Penelitian oleh Rosalinda, Hadi, dan Andini pada 2024 berjudul “Ecofeminist Perspective on the Impact of Climate Change on Women’s Health: Study Case of Coastal Women in Sendang Biru Hamlet, Indonesia” memberikan gambaran mendalam tentang kondisi ini. Penelitian tersebut dilakukan di Sendang Biru Hamlet, sebuah wilayah pesisir di Kabupaten Malang yang sangat bergantung pada aktivitas melaut.
Penelitian ini menemukan bahwa kenaikan suhu, kelembapan, perubahan pola gelombang laut, dan banjir rob meningkatkan risiko gangguan kesehatan perempuan, memperberat beban kerja mereka, dan menempatkan mereka pada posisi rentan terhadap kekerasan dan beban domestik yang tidak seimbang. Selain itu, penelitian ini menegaskan bahwa perempuan pesisir mengalami marginalisasi struktural sehingga kemampuan mereka dalam beradaptasi terhadap krisis iklim menjadi terbatas.
Krisis Iklim dan Dampak Berlapis pada Kesehatan Perempuan
Perubahan suhu dan kelembapan ekstrem menyebabkan gangguan kesehatan yang lebih berat pada perempuan pesisir. Penelitian menunjukkan bahwa kondisi lingkungan yang semakin panas meningkatkan risiko infeksi saluran reproduksi dan penyakit berbasis lingkungan seperti dermatitis dan infeksi jamur.
Bagi perempuan yang setiap hari bekerja di ruang lembap seperti mengolah ikan, menjemur hasil laut, atau bekerja di dapur, perubahan ini semakin memperburuk kondisi kesehatan mereka. Ketika rob atau banjir datang, akses terhadap sanitasi, air bersih, dan ruang pribadi menjadi semakin terbatas, mengancam kesehatan fisik maupun psikologis.
Selain itu, kondisi lingkungan yang rusak memaksa perempuan untuk bekerja lebih lama dalam situasi yang kurang higienis. Aktivitas seperti mencuci, memasak, dan mengolah hasil laut menjadi lebih berat karena air laut yang mulai tercemar dan ketersediaan air tawar yang semakin berkurang. Dampak ini menambah tekanan bagi perempuan yang sudah menanggung beban domestik dan ekonomi secara bersamaan.
Beban Kerja Ganda dan Ketidakpastian Ekonomi Rumah Tangga
Penurunan hasil tangkapan ikan akibat cuaca ekstrem membuat laki-laki nelayan semakin sulit mengandalkan penghasilan dari laut. Dalam situasi ini, perempuan mengambil peran tambahan sebagai pencari nafkah. Mereka mengolah hasil laut menjadi ikan asin, terasi, atau produk olahan lain yang lebih stabil pendapatannya.
Namun, hal ini justru menyebabkan beban kerja mereka meningkat dua hingga tiga kali lipat dari sebelumnya. Penelitian menunjukkan bahwa perempuan pesisir bekerja dalam durasi yang lebih panjang daripada laki-laki, terutama pada saat kondisi laut tidak memungkinkan nelayan pergi melaut.
Selain mengurus rumah, perempuan harus memastikan pemasukan keluarga tetap berjalan. Mereka mengolah hasil laut, menjual makanan, atau mengambil pekerjaan informal seperti buruh cuci atau pedagang kecil. Sayangnya, pekerjaan-pekerjaan ini sering kali tidak diakui sebagai kontribusi ekonomi yang setara, menyebabkan posisi perempuan tetap tidak dianggap sebagai aktor ekonomi penting. Ketidaksetaraan ini memperkuat beban ganda mereka di tengah krisis iklim.
Kerentanan Sosial dan Minimnya Perlindungan bagi Perempuan
Krisis iklim tidak hanya berdampak pada kesehatan dan ekonomi, tetapi juga memperbesar risiko kekerasan, eksploitasi, dan marginalisasi perempuan. Penelitian menemukan bahwa kondisi darurat seperti banjir rob, kerusakan rumah, dan hilangnya mata pencaharian meningkatkan ketegangan dalam keluarga dan komunitas.
Situasi seperti ini menyebabkan perempuan sering kali menjadi pihak yang paling terdampak, baik secara emosional maupun fisik. Minimnya ruang aman dan fasilitas pendukung mengakibatkan mereka rentan terhadap kekerasan domestik.
Selain itu, perempuan pesisir masih minim dilibatkan dalam pengambilan keputusan terkait kebencanaan maupun pengelolaan lingkungan. Padahal, mereka memiliki peran penting dalam menjaga ketahanan keluarga dan komunitas. Mengabaikan suara perempuan berarti mengabaikan perspektif yang sangat krusial dalam upaya adaptasi terhadap perubahan iklim.
Krisis iklim memperjelas bagaimana ketidakadilan gender tercermin dalam kehidupan perempuan pesisir. Mereka bukan hanya menghadapi beban domestik, tetapi juga harus menanggung dampak perubahan lingkungan yang semakin tidak menentu.
Temuan penelitian menunjukkan bahwa perempuan memiliki potensi besar dalam adaptasi dan mitigasi iklim, namun keterlibatan mereka masih sering terhambat oleh struktur sosial yang tidak adil. Oleh karena itu, penting bagi berbagai pihak baik dari pemerintah, akademisi, dan masyarakat untuk memberikan perhatian khusus pada kebutuhan dan suara perempuan pesisir, agar ketahanan komunitas dapat terbangun secara lebih inklusif dan berkelanjutan.
Baca Juga
-
Eco-Anxiety Bukan Penyakit: Saat Kecemasan Iklim Menggerakkan Perubahan
-
Saat Emosi Mengendalikan Ingatan: Mengenal Fenomena Mood-Congruent Memory
-
Hope Theory: Rumus Psikologi di Balik Orang yang Tidak Mudah Menyerah
-
Distorsi Kognitif yang Membentuk Cara Kita Melihat Dunia
-
The Power of Three: Pilar Resiliensi yang Menjaga Kita Tetap Tangguh
Artikel Terkait
Kolom
-
Gie, Andi Munajat, dan Relevansi Aktivisme Mahasiswa Hari Ini
-
Selingkuh hingga Poligami Publik Figur: Mengapa Ramai Jadi Konsumsi Medsos?
-
Generasi Kesepian di Tengah Keramaian: Ketika Kehadiran Hanya Sebatas Notifikasi di Layar
-
Viral Tumbler KAI: Bahaya Curhat di Medsos Bagi Karier Diri dan Orang Lain
-
Pesannya Masih Relevan, Pidato Hari Guru Nasional 1996 Presiden Soeharto Kembali Viral
Terkini
-
Curi Perhatian di Spirit Fingers, Ini Tiga Drama Lain dari Park Ji Hu
-
4 Essence Toner Panthenol Rp40 Ribuan, Bikin Kenyal dan Skin Barrier Kuat!
-
El Rumi Akui Vibe Positif Syifa Hadju Bikin Dirinya Lebih Yakin Menikah?
-
Ulasan Film Pipeline: Seo In Guk Jadi Tukang Bor Nyentrik yang Bikin Ngakak
-
4 Ide Fashion Zhou Yiran: Effortlessly Stylish dengan Clean Look