Lintang Siltya Utami | Davina Aulia
Inle Lake fisherman (unsplash.com/Matan Levanon)
Davina Aulia

Di banyak desa pesisir Indonesia, perubahan paling mencolok bukan hanya ombak yang kian tinggi atau garis pantai yang makin mundur, tetapi hilangnya suara perahu yang dulu memecah kesunyian pagi. Tempat-tempat yang dahulu dipenuhi derit jaring dan obrolan nelayan kini terasa lengang. Sebagian perahu dibiarkan terbalik di tepi pantai, sebagian lain membusuk pelan, tertutup lumut dan air asin.

Fenomena ini bukan sekadar tanda menurunnya aktivitas melaut, melainkan simbol dari sebuah realitas baru yang dihadapi masyarakat pesisir. Perpindahan ini terjadi perlahan, nyaris tanpa jejak dalam data pemerintah, tetapi jelas dalam kehidupan sehari-hari.

Laut yang Berubah, Penghidupan yang Menghilang

Dalam beberapa tahun terakhir, perubahan iklim memukul keras wilayah pesisir. Pola angin menjadi sulit diprediksi, gelombang ekstrem muncul di luar musim, dan ikan yang dulu melimpah kini semakin menjauh ke tengah laut.

Banyak nelayan mengeluhkan bahwa mereka harus menghabiskan lebih banyak solar untuk mencapai lokasi tangkapan, sementara hasil yang didapat tidak sebanding.

Di beberapa wilayah pesisir Jawa, Sumatra, dan Kalimantan, penurunan hasil tangkap bahkan mencapai 30-50 persen. Abrasi yang kian parah menenggelamkan sebagian pemukiman, sementara rob datang makin sering, merendam rumah, jalan, dan tambak. Di tengah kondisi tersebut, bekerja sebagai nelayan bukan lagi pilihan yang memberikan kepastian.

Pekerjaan Baru yang Tidak Pernah Dibayangkan

Didesak oleh kondisi ekonomi, banyak nelayan akhirnya memilih pergi ke kota. Mereka bekerja sebagai buruh bangunan, penjaga toko, pengemudi ojek, atau kuli di pelabuhan. Keputusan ini tidak pernah mudah, sebab profesi nelayan bukan sekadar pekerjaan, melainkan identitas yang diwariskan turun temurun. Meninggalkan laut berarti meninggalkan sebagian diri mereka.

Namun bagi sebagian besar, kota menawarkan satu hal yang laut kini jarang berikan, yaitu kepastian pendapatan, meski kecil dan tidak menentu. Para nelayan ini tidak memiliki keahlian teknis lain selain melaut, sehingga mereka kerap terjebak dalam pekerjaan informal dengan upah rendah.

Meski begitu, mereka tetap bertahan karena keluarga di desa menunggu, dan laut tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan dasar mereka.

Perempuan yang Memikul Beban Ekonomi Baru

Ketika laki-laki migrasi, perempuan pesisir mengambil peran tambahan dalam menjaga stabilitas keluarga. Banyak dari mereka menjadi tulang punggung ekonomi lokal. Ada yang mengolah ikan menjadi kerupuk, memproduksi ikan asin, membuka warung kecil, hingga merawat tambak yang mulai terancam abrasi.

Perempuan juga harus menghadapi tekanan lingkungan yang semakin berat. Rob membuat rumah sering terendam, dinding lembap, dan perabot rusak.

Mereka harus mengurus anak, menjaga rumah, dan tetap bekerja untuk menutup biaya harian. Dalam banyak kasus, perempuan pesisir adalah pihak yang paling merasakan dampak migrasi dan perubahan iklim secara langsung.

Generasi Muda yang Berjarak dari Laut

Perubahan ini juga mempengaruhi cara anak-anak nelayan memandang masa depan mereka. Jika dulu menjadi nelayan adalah profesi kebanggaan, kini banyak remaja pesisir yang mulai menjauh dari cita-cita tersebut.

Mereka melihat bagaimana ayah atau kakak mereka harus pergi jauh ke kota untuk bekerja, bagaimana laut tidak lagi memberikan kepastian, serta bagaimana lingkungan tempat tinggal mereka semakin tidak aman. Jika tren ini terus berlanjut, komunitas pesisir yang selama ini menjadi pusat budaya bahari Indonesia berisiko kehilangan generasi penerusnya.

Kebijakan yang Masih Tertinggal

Sayangnya, hingga kini kebijakan pemerintah belum cukup kuat untuk memulihkan atau menyesuaikan kondisi kehidupan nelayan. Bantuan alat tangkap atau perbaikan pelabuhan tidak menyentuh akar permasalahan seperti krisis ekologi, tata kelola laut, dan diversifikasi ekonomi lokal.

Banyak desa pesisir tidak memiliki alternatif mata pencaharian sehingga migrasi menjadi pilihan terakhir yang tak terhindarkan. Padahal, dengan pelatihan keterampilan, pengembangan UMKM berbasis pesisir, hingga pengelolaan perikanan yang lebih adil, sebagian migrasi ini dapat ditekan.

Migrasi sunyi nelayan adalah alarm bagi Indonesia bahwa perubahan lingkungan bukan hanya menenggelamkan daratan, tetapi juga menggeser kehidupan sosial, budaya, dan struktur ekonomi masyarakat.

Hilangnya nelayan bukan sekadar hilangnya profesi, tetapi hilangnya pengetahuan lokal, tradisi, dan hubungan manusia dengan laut yang selama ini menjadi identitas.

Di desa-desa pesisir yang semakin sepi, jaring yang tergantung di sudut rumah bukan lagi tanda persiapan melaut, melainkan simbol peralihan zaman. Ketika laut tak lagi menjanjikan pulang, masyarakat pesisir dipaksa mencari kehidupan baru.