Scroll untuk membaca artikel
Candra Kartiko | Septyarosa Syahputri
Ilustrasi anak dilarang (Pexels/Monstera)

Pada umumnya, orang tua memiliki ekspektasi yang tinggi akan kehidupan anak-anaknya. Tak ayal, orang tua akan berusaha semaksimal mungkin untuk memenuhi segala kebutuhan sang buah hati. Namun, tak jarang ekspektasi itu berubah menjadi sebuah obsesi yang kerap mengekang dan sifatnya ortoriter bagi sang anak.

Tanpa disadari, beberapa orang tua mungkin menciptakan lingkungan asuh yang toxic bagi sang anak dengan dalih ingin selalu memberikan yang terbaik. Segala sesuatu yang berlebih tentu tidak akan baik jadinya, termasuk dengan pola asuh orang tua yang seperti tidak mengenal batas terhadap anak-anaknya.

Lantas, seperti apakah pola asuh yang toxic dan tanpa disadari memberikan dampak minimnya batasan orang tua terhadap anak? Yuk, simak selengkapnya!

1. Kurangnya privasi antara anak dan orang tua

Salah satu tanda bahwa orang tua memiliki pola asuh yang toxic adalah kurangnya privasi antara anak dengan orang tua. Menceritakan kejadian sehari-hari kepada orang tua memang sah-sah saja dilakukan, bahkan sebenarnya baik. Namun, hal ini tidak menjadi baik ketika orang tua secara sadar ingin mengetahui seluruh hal tentang anaknya dan tidak memberikan mereka ruang privasinya sendiri.

Orang tua secara sadar ingin selalu mengawasi anak-anaknya hingga sang anak tidak percaya diri untuk memutuskan dan mencari solusi atas permasalahan yang mereka miliki.

2. Orang tua selalu ingin terlibat dalam segala aspek kehidupan anak

Salah satu tanda bahwa orang tua menerapkan pola asuh yang toxic adalah, orang tua secara sadar selalu ikut andil dalam segala hal dan selalu ingin dilibatkan dalam kehidupan sang anak. Mereka merasa bahwa anak belum bisa memutuskan dengan tepat, jadi orang tua bersikap manipulatif untuk menekankan otorisasi untuk memutuskan segala sesuatu di dalam hidup si anak.

3. Orang tua ingin emosinya dimengerti anak, tapi tidak sebaliknya

Orang tua yang memiliki pola asuh toxic agaknya minim akan validasi perasaan anaknya sendiri. Saat kecil, kita mungkin familiar dengan kalimat “jangan menangis,” tapi, orang tua mengatakan kalimat tersebut sembari marah bahkan sampai memukul.

Orang tua disebut gagal memvalidasi perasaan sedih sang anak, tapi memaksakan emosinya (marah) terhadap si anak. Anak akan merasa bahwa perasaan yang ia miliki salah, dan hanya orang tua yang berhak memiliki emosi, karena pada dasarnya anak kecil belum mengerti protes.

4. Orang tua merasa paling tahu yang terbaik bagi anaknya yang sudah dewasa

Orang tua juga kerap kali merasa paling tahu tentang apa yang terbaik bagi anak mereka. Orang tua kerap merasa bahwa mereka yang paling mengenal si anak, dan mengerti apa yang mereka butuhkan. Maka dari itu, sebuah batasan antara orang tua dan anak sebenarnya harus diciptakan. Kenapa? Bahwa tidak selamanya orang tua itu tahu yang terbaik bagi si anak, apalagi anak yang telah beranjak dewasa. Anak memiliki Hak Asasi Manusia untuk memutuskan pilihan hidupnya sendiri. Itu yang mungkin seringkali dilupakan atau diabaikan orang tua.

Sejatinya, anak adalah sebuah pelajaran paling kompleks yang dimiliki orang tua seumur hidupnya. Maka, jangan pernah berhenti untuk belajar menjadi orang tua yang jauh lebih baik.

Septyarosa Syahputri