Tidak sedikit dari kita kalau sedang membaca sesuatu itu ibarat air di sungai, mengalir begitu saja mengikuti arus. Entah itu arus menuju ke air terjun atau ke laut, kita tetap saja membaca mengalir begitu saja. Apalagi kalau sedang membaca novel, cerpen, atau sajak-sajak romantisme yang justru menghanyutkan kita.
Pola membaca semacam ini tidak mengherankan ketika masyarakat kita amat mudah untuk termakan hoaks, berita bohong, dan tersulut ujaran kebencian. Sebagaimana yang dikutip dari suara.com, Masyarakat anti fitnah Indonesia (Mafindo) mengungkapkan bahwa 60 persen masyarakat Indonesia terpapar informasi hoaks.
Tentu ini sangat berbahaya, dari berita hoaks dan kegoblokan masyarakat dalam membaca informasi, meningkatkan potensi konflik dan ketegangan sosial. Apalagi di musim politik yang segala teks wacana digelontarkan sebagai propaganda yang menjerumuskan pembacanya.
BACA JUGA: 5 Hal Kecil yang Membuat Hidup Lebih Bermakna, Kebersamaan Salah Satunya
Nah, untuk menghindari itu semua, seorang filsuf Prancis, Jacques Derrida mengajak kita semua untuk tidak selalu percaya seratus persen pada teks. Melalui metode dekonstruksinya, ia mengajak kita untuk mencermati, membongkar, mengotak-ngatik teks yang kita baca. Tanpa basa-basi, langsung saja gass tips-tips dari Derrida.
1. Hindari Makna Tunggal, selalu Berpikir Plural
Cara berpikir dalam teks yang paling ditentang pertama kali dan yang paling mendasar menurut Derrida adalah pola pikir kita memahami teks secara tunggal. Kalau istilah kerennya, Derrida menyebutnya sebagai pola pikir logosentrisme. Hal ini yang sangat ditentang Derrida ketika kita bergelut dengan teks.
Padahal, bagi Derrida ketika kita membaca teks itu harus berpola pikir “equivok” (plural) bukan “univok” (tunggal), yang berarti kita harus menemukan makna-makna lain, bukan hanya makna tunggal. Misalnya nih, ada teks “NKRI Harga Mati”, kita tidak bisa hanya sekadar memaknainya sebagai nasionalisme, tapi kita bisa memaknainya sebagai perjuangan, perang, dogmatisme, atau bahkan chauvinisme.
2. Percabangan Makna Tanpa Batas
Tidak hanya sampai disitu saja, penggalian makna pada teks bukan hanya berlangsung secara horizontal, melainkan juga secara vertikal, atas-bawah, kiri-kanan, depan-belakang, dan berbagai arah tanpa batas. Makna selalu bercabang tanpa henti. Inilah yang kemudian disebut Derrida sebagai trace, atau jejak-jejak makna yang tanpa batas.
Misalnya aja teks “NKRI Harga Mati” tadi, kita bisa telusuri siapa yang membuat? Kepada siapa teks itu dibuat? Apa alasannya membuat teks itu? Dalam kondisi apa teks itu dibentuk? Apa makna Mati? Apa makna Harga? Apa makna NKRI? dan, berbagai percabangan lainnya.
BACA JUGA: 5 Tips Memilih Pemimpin yang Berkualitas di Pemilu Mendatang, Simak!
3. Jangan Anti pada Paradoks-Paradoks
Kemudian, dalam membaca teks jangan anti pada paradoks-paradoks, jangan anti pada kontradiksi-kontradiksi. Pasalnya, memang begitulah dekonstruksi bekerja, ia harus menggembur narasi, wacana maupun teks agar kita menjadi kritis dalam membaca teks, untuk menemui berbagai makna yang tersembunyi.
Masih dengan contoh yang sama, jika dikatakan “NKRI Harga Mati” dikatakan sebagai sesuatu yang baik, apakah “NKRI Harga Hidup” dianggap sebagai sesuatu yang buruk? Apakah kata hidup justru dianggap buruk? Nah, begitulah dekonstruksi bekerja untuk menabrakkan paradoks-paradoks yang ada.
4. Jangan Berhenti pada Oposisi Biner
Namun, perlu diperhatikan juga bahwa jangan sampai kita berhenti dalam paradoks saja, jangan sampai kita berhenti dalam oposisi biner, antara hitam dan putih, antara siang dan malam. Pasalnya, jika kita berhenti dalam oposisi biner, sama saja kita terjebak dalam perangkap teks yang justru membungkam kritisisme kita.
Oleh karenanya, kita perlu melampaui bineritas. Seperti yang kita sebut sebelumnya bahwa jangan hanya berhenti antara teks “hidup” dan “mati” saja. Pasalnya, masih ada teks “penyakit” yang menjembati hidup dan mati, atau teks “kelahiran” dan lain sebagainya. Apakah NKRI Harga Penyakit? Apakah NKRI Harga Kelahiran (kesucian)?
Pada akhirnya, dekonstruksi yang ditawarkan Derrida ini sangat membantu kita untuk membaca teks-teks yang berkeliaran, khususnya informasi yang tersedia bebas di media sosial kita. Dekonstruksi adalah cara bagaimana kita menangkal hoaks, dan lebih kritis mengkonsumsi informasi.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Ranking Sekolah, Segregasi Ruang Kuliah, dan Stigma yang Menyertai
-
7 Salah Kaprah Masyarakat dalam Memahami Karl Marx
-
Demonstrasi: Mementingkan Beberapa Pihak, Merugikan Banyak Pihak
-
Kekerasan Seksual di Pesantren: dari Legitimasi Kuasa dan Moral Budak Santri
-
Meretas atau Diretas: Masa Depan Algoritma di Kehidupan Manusia
Artikel Terkait
-
Sudah Tahu? Begini Cara Mematikan Status Online di Instagram
-
Ingin Memelihara Ikan? Berikut 3 Tips agar Ikanmu Tidak Mudah Stres
-
3 Kesalahan saat Mengenakan Pakaian Baru di Tempat Kerja
-
3 Tips Membersihkan Panci Gosong yang Mudah, Bisa Pakai Soda dan Cuka
-
Melatih Kemampuan Berpikir dari Buku '99 Cara Berpikir Ala Sherlock Holmes'
Lifestyle
-
4 Daily Outfit ala Narin MEOVV yang Siap Jadi Inspirasi Fashion Kamu
-
4 Serum Korea Alpha Arbutin yang Ampuh Bikin Wajah Cerah Bebas Noda Hitam!
-
Dandan Sat-Set, Tiru 4 Look Anggun Kim Ji Won dengan Dress Simpel Elegan
-
4 Rekomendasi Serum dengan Ekstrak Kaktus untuk Rahasia Kulit Lembap dan Bebas Kusam
-
4 Inspirasi Padu Padan Outfit Minimalis ala Lee Sun Bin, Modis Tanpa Ribet!
Terkini
-
Sinopsis The City Maker, Drama Terbaru Zhao Li Ying dan Huang Xiao Ming
-
Dua Clean Sheet, Nadeo Argawinata Siap Jaga Momentum Apik Borneo FC
-
Erick Thohir Konfirmasi Nasib Miliano Jonathans di FIFA Matchday September
-
Harry Kane Menggila, Bayern Munchen Gasak Leipzig Lewat Gol Setengah Lusin
-
Mexe oleh Pabllo Vittar & NMIXX: Ekspresikan Diri dengan Lepas dan Bebas