4 Tips Membaca Kritis dan Terhindar Hoaks dengan Cara Dekonstruksi Derrida

Candra Kartiko | Mohammad Maulana Iqbal
4 Tips Membaca Kritis dan Terhindar Hoaks dengan Cara Dekonstruksi Derrida
Teks Informasi (Pixabay/StartupStockPhotos)

Tidak sedikit dari kita kalau sedang membaca sesuatu itu ibarat air di sungai, mengalir begitu saja mengikuti arus. Entah itu arus menuju ke air terjun atau ke laut, kita tetap saja membaca mengalir begitu saja. Apalagi kalau sedang membaca novel, cerpen, atau sajak-sajak romantisme yang justru menghanyutkan kita.

Pola membaca semacam ini tidak mengherankan ketika masyarakat kita amat mudah untuk termakan hoaks, berita bohong, dan tersulut ujaran kebencian. Sebagaimana yang dikutip dari suara.com, Masyarakat anti fitnah Indonesia (Mafindo) mengungkapkan bahwa 60 persen masyarakat Indonesia terpapar informasi hoaks.

Tentu ini sangat berbahaya, dari berita hoaks dan kegoblokan masyarakat dalam membaca informasi, meningkatkan potensi konflik dan ketegangan sosial. Apalagi di musim politik yang segala teks wacana digelontarkan sebagai propaganda yang menjerumuskan pembacanya.

BACA JUGA: 5 Hal Kecil yang Membuat Hidup Lebih Bermakna, Kebersamaan Salah Satunya

Nah, untuk menghindari itu semua, seorang filsuf Prancis, Jacques Derrida mengajak kita semua untuk tidak selalu percaya seratus persen pada teks. Melalui metode dekonstruksinya, ia mengajak kita untuk mencermati, membongkar, mengotak-ngatik teks yang kita baca. Tanpa basa-basi, langsung saja gass tips-tips dari Derrida.

1. Hindari Makna Tunggal, selalu Berpikir Plural

Cara berpikir dalam teks yang paling ditentang pertama kali dan yang paling mendasar menurut Derrida adalah pola pikir kita memahami teks secara tunggal. Kalau istilah kerennya, Derrida menyebutnya sebagai pola pikir logosentrisme. Hal ini yang sangat ditentang Derrida ketika kita bergelut dengan teks.

Padahal, bagi Derrida ketika kita membaca teks itu harus berpola pikir “equivok” (plural) bukan “univok” (tunggal), yang berarti kita harus menemukan makna-makna lain, bukan hanya makna tunggal. Misalnya nih, ada teks “NKRI Harga Mati”, kita tidak bisa hanya sekadar memaknainya sebagai nasionalisme, tapi kita bisa memaknainya sebagai perjuangan, perang, dogmatisme, atau bahkan chauvinisme.

2. Percabangan Makna Tanpa Batas

Tidak hanya sampai disitu saja, penggalian makna pada teks bukan hanya berlangsung secara horizontal, melainkan juga secara vertikal, atas-bawah, kiri-kanan, depan-belakang, dan berbagai arah tanpa batas. Makna selalu bercabang tanpa henti. Inilah yang kemudian disebut Derrida sebagai trace, atau jejak-jejak makna yang tanpa batas.

Misalnya aja teks “NKRI Harga Mati” tadi, kita bisa telusuri siapa yang membuat? Kepada siapa teks itu dibuat? Apa alasannya membuat teks itu? Dalam kondisi apa teks itu dibentuk? Apa makna Mati? Apa makna Harga? Apa makna NKRI? dan, berbagai percabangan lainnya.

BACA JUGA: 5 Tips Memilih Pemimpin yang Berkualitas di Pemilu Mendatang, Simak!

3. Jangan Anti pada Paradoks-Paradoks

Kemudian, dalam membaca teks jangan anti pada paradoks-paradoks, jangan anti pada kontradiksi-kontradiksi. Pasalnya, memang begitulah dekonstruksi bekerja, ia harus menggembur narasi, wacana maupun teks agar kita menjadi kritis dalam membaca teks, untuk menemui berbagai makna yang tersembunyi.

Masih dengan contoh yang sama, jika dikatakan “NKRI Harga Mati” dikatakan sebagai sesuatu yang baik, apakah “NKRI Harga Hidup” dianggap sebagai sesuatu yang buruk? Apakah kata hidup justru dianggap buruk? Nah, begitulah dekonstruksi bekerja untuk menabrakkan paradoks-paradoks yang ada.

4. Jangan Berhenti pada Oposisi Biner

Namun, perlu diperhatikan juga bahwa jangan sampai kita berhenti dalam paradoks saja, jangan sampai kita berhenti dalam oposisi biner, antara hitam dan putih, antara siang dan malam. Pasalnya, jika kita berhenti dalam oposisi biner, sama saja kita terjebak dalam perangkap teks yang justru membungkam kritisisme kita.

Oleh karenanya, kita perlu melampaui bineritas. Seperti yang kita sebut sebelumnya bahwa jangan hanya berhenti antara teks “hidup” dan “mati” saja. Pasalnya, masih ada teks “penyakit” yang menjembati hidup dan mati, atau teks “kelahiran” dan lain sebagainya. Apakah NKRI Harga Penyakit? Apakah NKRI Harga Kelahiran (kesucian)?

Pada akhirnya, dekonstruksi yang ditawarkan Derrida ini sangat membantu kita untuk membaca teks-teks yang berkeliaran, khususnya informasi yang tersedia bebas di media sosial kita. Dekonstruksi adalah cara bagaimana kita menangkal hoaks, dan lebih kritis mengkonsumsi informasi.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak