Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Tika Maya Sari
ilustrasi perpustakaan (Pixabay/StockSnap)

Meski terlahir dari trah Jawa murni, bahkan tumbuh dan besar di tanah Jawa, nyatanya masih ada banyak sekali frasa-frasa cantik yang membuat saya ternganga. Bukan hanya karena telah mulai terkikis oleh pesatnya arus globalisasi, tetapi penggunaan frasa-frasa gaul kini begitu masif dan mendominasi.

Ada sebuah frasa unik nan menarik dan bahkan filosofinya berhasil menarik perhatian saya. Terlebih lagi, frasa ini masih berkibar di kalangan masyarakat meski mulai terbatas pada generasi lama saja. Frasa itu adalah jangan gori yang pelafalannya menjadi njangan gori.

Jangan sendiri merupakan sayur pendamping nasi. Meski sayur, nyatanya tidak hanya terbatas pada sayur mayur saja, melainkan menjamah identitas lauk pauk yang umumnya memiliki kuah, dan diolah sedemikian rupa sehingga layak bersanding dengan nasi di atas piring. Semisal saja:

  • Jangan asem (sayur asem),
  • Jangan lodeh (sayur lodeh),
  • Jangan iwak (olahan ikan, daging, atau ayam yang dibumbui dan memiliki kuah).

Sedangkan kata gori, menurut Kamus Besar Bahasa Jawa Indonesia artinya adalah nangka muda. Namun, dalam percakapan sehari-hari dalam dialek saya, kami menyebut nangka muda sebagai tewel, dan nongko untuk nangka masak. Namun, di beberapa daerah lain ada kok yang menggunakan istilah gori.

Lho, jadi apa bagusnya frasa njangan gori? Maknanya kan sayur nangka gitu kan?

Nah, disinilah wujud estetika bahasa Jawa yang mengandung beragam filosofi yang epik.

Meski sebutan umumnya adalah sayur nangka, sayur tewel, maupun jangan tewel, tetapi istilah ini lekat sekali dengan gudeg yang ada di Jogjakarta. Kok gitu? Nah, ini karena istilah gori ini berada dalam lingkup wangsalan Jawa, alias tebak-tebakan yang mampu berdiri sebagai slang percakapan sehari-hari sih.

Penggunaannya pun cukup fleksibel. Gori yang dirasa lebih dekat kepada gudeg kemudian dipakai untuk membuat kalimat sindiran pedas, tetapi dikemas sehalus dan se-estetik mungkin sehingga butuh pemahaman tingkat tinggi untuk mengetahuinya. Semisal seperti berikut ini:

1. Jangan gori, nganti judheg anggonku mikir! (Jangan gori, sampai pusing/stres aku memikirkan!)

Yang mana, kata judheg bisa menjadi jawaban atau translate dari kata jangan gori tadi, tetapi kalimat ini juga bisa berdiri sebagai slang cantik.

2. Isih enom, kok sampun njangan gori? (Masih muda, kok sudah njangan gori?)

Nah, kalau yang ini adalah sindiran super halus nih. Kata njangan gori yang lekat dengan gudeg tadi diterjemahkan menjadi budheg. Sehingga, kalimat ini menyindir seseorang yang masih muda, tetapi indera pendengarannya sudah berkurang. Unik kan?

Nah, itulah tadi pembahasan mengenai filosofisnya jangan gori alias sayur nangka. So, menurutmu gimana?

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.

Tika Maya Sari