Hajatan merupakan kegiatan yang kerap kita temui dalam lingkup masyarakat sehari-hari. Hajatan sendiri memiliki banyak cabang dan sistem penamaan yang berbeda di tiap daerah di Nusantara. Di daerah saya, ada beberapa penyebutannya seperti:
- Kenduren/slametan, yang isinya doa bersama dan bagi-bagi makanan atau berkat,
- Ewuh, yang lazimnya dipakai untuk menyebut pernikahan, dan
- Sunatan, untuk menyebut acara khitan.
Ketika mengadakan suatu hajatan, tentu sang empunya hajatan tidaklah bekerja sendiri, melainkan dibantu oleh tetangga kanan kiri yang ikut menyumbang tenaga, maupun materi. Dalam hal ini tersebutlah istilah rewang.
Menurut Kamus Besar Bahasa Jawa Indonesia definisi rewang yaitu:
- Kawan, teman (terdapat juga dalam Pepak Basa Jawa),
- Tembuni, dan
- Datang untuk membantu yang punya kerja/hajat.
Rewang sejatinya adalah salah satu bentuk gotong royong yang melibatkan segenap unsur masyarakat. Para perempuan umumnya berada di pawon atau dapur, dan pastinya kedapatan bagian masak memasak, hingga mengemas makanan serta jajanan. Ada juga yang kebagian mengupas bawang, atau ikut berbelanja bila masih ada barang yang dirasa kurang.
Sedangkan para laki-laki umumnya mengerjakan pekerjaan yang cukup berat, seperti membangun tenda untuk dapur umum, menyembelih hewan dan memotong dagingnya, bagian mengaduk jenang atau dodol dalam kuali besar yang membutuhkan tenaga ekstra, bagian mencuci piring, hingga membuat pawonan atau tungku api.
Meski era sudah modern dengan beragam alat masak, nyatanya rewang memiliki esensinya sendiri dengan melibatkan segenap masyarakat, dan kehadiran tungku api bernama pawonan. Tungku ini dibuat besar, dan diperuntukkan untuk memasak makanan dalam jumlah besar. Tentunya masih memakai bahan bakar kayu ya.
Terkadang, pawonan dibuat begitu sederhana yaitu dengan menumpuk batu bata atau batako tanpa disemen. Toh memang sehabis hajatan, tungku tersebut akan dibongkar kok. Namun, ada juga yang sengaja dibuat untuk seterusnya, sehingga melibatkan semen sebagai perekat.
Unsur otentiknya lagi, masakan yang dimasak dengan tungku api dan kayu bakar dipercaya memiliki citarasa yang lebih nikmat, dan khas.
Meski terkesan ramai karena banyak orang, sejatinya itulah esensi gotong royong dalam semangat rewang. Akan selalu ada beragam informasi sampai adu mekanik khas masyarakat yang akan senantiasa terkenang di hati. Yah, walau ada satu dua kosakata yang agak nyelekit, tetapi kita harus sudah mempersiapkan diri sih.
Sepengalamanku ikut rewang di rumah kawan yang hendak menikah, maka beberapa pertanyaan pasti akan muncul. Seperti basa basi kapan nyusul? Sudah ada gandengan? dan lainnya.
Namun, selalu ada sisipan beragam informasi dari kalangan bapak-bapak juga lho. Entah mengenai harga-harga cabai, hewan ternak, atau jokes-jokes yang agak aneh tapi yasudahlah. Toh selain itu, esensi rewang selalu mengandung harapan akan masa depan yang lebih baik, dan kemudahan-kemudahan bagi para generasi baru. So, menurutmu gimana?
Baca Juga
-
Bertualang Seru Penuh Kejanggalan Lewat Cerpen Misteri Hutan Larangan
-
Novel Salah Asuhan: Hagemoni Kolonial, dan Keegoisan Pribumi
-
Banda Neira Kembali 'Menghidupkan' Lewat Lagu 'Mimpilah Seliar-liarnya'
-
Daytime Star: Art Dewa, Karakter Green Flag, Klise Tapi Bikin Penasaran
-
Ulasan Novel Life After You: Keikhlasan dan Cinta Sejati dalam Situasi Perang
Artikel Terkait
Kolom
-
Sound Horeg: Ketika Hiburan Jalanan Menggeser Budaya dan Merusak Ketertiban
-
Aksi Sosial atau Ajang Branding? Menelisik Motif di Balik Amal Publik
-
Tarif Nol, Kedaulatan Hilang: Dilema Tembaga dalam Perjanjian Indonesia-AS
-
Gadget di Sekolah: Ancaman atau Alat Bantu Belajar?
-
Futsal: Metafora Ruang Batin Manusia
Terkini
-
4 OOTD Warm Chic Style ala Jang Da A, Bisa Disontek Biar Makin Stunning!
-
Ulasan Novel The Princes Escape: Terkadang Kuat Tak Harus Berdiri Tegak
-
Bertemu Irak dan Arab Saudi, Ini Peluang Indonesia ke Piala Dunia 2026
-
Sinopsis Film Tanvi The Great, Dibintangi Shubhangi Dutt dan Anupam Kher
-
Bungkus 2 Kemenangan, namun Langkah Timnas Indonesia U-23 ke Semifinal Belum Sepenuhnya Aman