Dalam sistem adat Jawa, ada beberapa pantangan perjodohan hingga pernikahan yang masih berlaku hingga sekarang. Meski, kadang terasa aneh dan agak nggak masuk akal sih. Namun, masih ada beberapa orang yang berpegang teguh sama pantangan ini terlepas dari adat, melainkan ada alasan pribadi.
Menyadur Kawruh Basa Jawa Pepak dan sumber lainnya, ada dua pantangan yang saling berikatan nih, yaitu:
Menurut Kamus Besar Bahasa Jawa Indonesia, winih memiliki arti:
- Benih, mengacu pada biji-bijian benih, bisa juga sel sperma baik dalam dunia binatang atau manusia, dan
- Bibit, mengacu pada bibit tanaman atau kualitas keturunan.
Dalam kebiasaan adat Jawa, mbalik winih atau kembalinya benih adalah situasi ketika seseorang menikah dengan salah satu penduduk asal desa ayahnya. Misalnya, suatu keluarga yang tinggal di desa A, yang mana ayahnya berasal dari desa B yang jaraknya begitu jauh. Maka, sang anak akan dilarang menikah dengan penduduk desa B karena alasan mbalik winih.
Meski agak enggak masuk akal, menurutku hal ini sah-sah saja. Barangkali ada begitu banyak hal kurang menyenangkan yang hendak disimpan oleh sang ayah. Atau, ada situasi yang sebaiknya dihindari. Toh, sang ayah yang merupakan penduduk asli pasti sudah tahu ada apa disana, atau mengapa dilarang.
Sementara itu, kebo mulih menyang kandhange atau secara harfiah bermakna kerbau pulang ke kandangnya adalah peribahasa Jawa. Saya menemukannya lewat buku Pepak Basa Jawa, yang berarti wong lunga bali maneh menyang asale atau orang yang merantau pulang lagi ke daerah asalnya.
Namun, dalam sistem pantangan perjodohan, hal ini merujuk pada keadaan seseorang yang menikahi orang dari daerah desa ibunya.
Pantangan ini mengacu pada daerah desa sang ibu ya. Sebab, dalam beberapa percakapan dan dialek, ibu dipercaya sebagai ‘kandang’ alias memiliki rahim dan mampu hamil, sedangkan ayah sebagai ‘penurun benih’.
Kalau menurutku, alasan adanya pantangan ini enggak jauh beda dengan keterangan mbalik winih sih. Mungkin saja, ada begitu banyak alasan pribadi, atau masa lalu yang ingin dihapus, dan sebagainya. Atau karena adanya silsilah kerabat dan keluarga besar dalam wilayah itu, sehingga sebaiknya menikah dengan orang dari daerah lain.
Seyogyanya, kita tidak boleh langsung menghujat suatu adat, melainkan berpikir logis. Awalnya, saya sendiri pun merasa aneh dengan dua pantangan ini. Namun, dipikir-pikir hal ini masuk akal juga. Maka, sebaiknya kita menurut kepada restu orang tua dan bukannya ngeyel. Tentunya selama masih berada di atas jalur yang benar ya. So, menurutnu gimana?
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Balas Sapaan Fans, Bahasa Jawa El Rumi dan Dul Jaelani Jadi Sorotan
-
Gugur Gunung, Representasi Nilai Sosial Masyarakat yang Terus Lestari!
-
Esensi Pawonan dalam Semangat Rewang: Harapan Kemudahan bagi Generasi Baru!
-
Garwa dalam Bahasa Jawa, Kasih Sayang dan Penghormatan Tinggi buat Istri!
-
Jangan Asal Sebut 'Mata' dalam Bahasa Jawa! Beda Istilah, Beda Maksudnya
Lifestyle
-
Daily Look Andalan! Sontek 4 Gaya Minimalis Kasual ala S.Coups SEVENTEEN
-
ThinkPad L13 Gen 2 vs. X13 Gen 1: Mana Laptop Bekas Terbaik di Harga 4 Jutaan?
-
Clean & Calm: 4 Micellar Water Lokal Green Tea untuk Perawatan Harian
-
5 Zodiak yang Terlalu Sering Mengalami Patah Hati, Ada Punyamu?
-
4 Moisturizer Lokal Shea Butter Atasi Kulit Kering dan Perkuat Skin Barrier
Terkini
-
Pelatih Vietnam Ogah Bergantung pada Naturalisasi, Sindir Timnas Indonesia?
-
Kegigihan Pesisir: Ketahanan yang Dipikul oleh Nelayan dan Para Perempuan
-
Reuni Bintang Parasite, Choi Woo Shik dan Jang Hye Jin Bintangi Film Number One
-
Tegas, Wardatina Mawa Pilih Gugat Cerai Insanul Fahmi daripada Dipoligami
-
Mengapa John Herdman Dianggap Cocok untuk Timnas Indonesia?