Bagi banyak anak muda, musik bukan sekadar hiburan. Ia hadir sebagai “teman setia” yang mampu memengaruhi suasana hati, bahkan menentukan produktivitas. Playlist yang disusun dengan cermat dan sengaja sering dianggap sebagai vitamin mental; sesuatu yang sederhana, tapi berdampak besar pada keseharian.
Setiap orang punya caranya sendiri dalam meracik dan menikmati musik. Ada yang memilih lagu-lagu upbeat untuk membangkitkan energi, ada pula yang lebih suka nada mellow agar bisa menenangkan diri. Playlist telah menjadi ruang personal tempat anak muda menata perasaan mereka sebelum menghadapi berbagai aktivitas.
Tidak heran, banyak yang merasa lebih siap menjalani hari setelah mendengarkan lagu-lagu favorit mereka.
Musik sebagai Vitamin Mental
Efek musik terhadap psikologis bukan sekadar sugesti. Salah satu riset psikologi oleh Shaleha yang berjudul “Do Re Mi i: Psikologi, Musik, dan Budaya”, menunjukkan bahwa musik dapat menurunkan stres, meningkatkan fokus, dan membantu regulasi emosi. Dengan kata lain, mendengarkan playlist musik bisa sama pentingnya dengan secangkir kopi atau jeda istirahat singkat.
Di era digital, fenomena musik viral juga punya peran besar. Lagu-lagu dari TikTok atau Spotify kerap masuk playlist jutaan anak muda. Dari situ terlihat bagaimana musik membentuk budaya populer sekaligus cepat menyebar sebagai tren sekaligus bahasa bersama generasi muda.
Playlist: Identitas dan Tren Sosial
Namun playlist bukan hanya konsumsi pribadi. Banyak anak muda menjadikannya sebagai identitas sosial. Membagikan tautan playlist di Instagram atau Spotify Wrapped, misalnya, merupakan cara halus untuk menunjukkan identitas diri, mengekspresikan diri sekaligus menjalin kedekatan dengan orang lain.
Dari lagu yang sama, mereka bisa merasa terhubung meskipun tidak saling kenal. Musik mampu menjadi medium komunikasi yang sederhana tapi efektif.
Anak muda banyak yang menggunakan musik untuk mengendalikan perasaan, mencari motivasi, bahkan sebagai bentuk pelarian positif. Di tengah tekanan kuliah, kerja, magang dan tuntutan sosial, playlist menjadi ruang aman sekaligus energi baru.
Di titik ini, wajar kalau ada yang beranggapan bahwa musik bisa disejajarkan dengan kebutuhan sehari-hari lain seperti kopi atau olahraga ringan. Jika olahraga menyehatkan tubuh jasmani, maka musik bisa menyehatkan pikiran. Logikanya sederhana: ketika mental seseorang lebih tenang, produktivitas pun ikut meningkat. Artinya, investasi kecil dalam bentuk playlist favorit bisa memberi hasil besar dalam keseharian.
Musik sebagai Ruang Aman dan Energi Baru
Pada akhirnya, musik memang tidak bisa menyelesaikan semua masalah. Ia tidak bisa menghapus tumpukan tugas, meredakan kemacetan jalan, atau mengubah kenyataan bahwa hidup kadang melelahkan, tapi musik mampu memberi ruang sejenak untuk bernapas. Lewat satu lagu, seseorang bisa merasa dimengerti, bisa merasa ditemani, bahkan bisa menemukan kembali semangat yang sempat hilang.
Itulah mengapa playlist punya arti lebih dari sekadar daftar lagu. Playlist adalah cermin diri. Ia bisa menjadi cermin suasana hati, sekaligus pengingat bahwa setiap orang berhak punya momen kecil untuk menjaga diri. Anak muda yang sibuk mengejar mimpi, sering kali lupa mengambil jeda. Playlist hadir untuk mengisi celah itu ringan, sederhana, tetapi penuh makna.
Lewat pilihan lagu, seseorang bisa menemukan keseimbangan emosi dan energi yang dibutuhkan.
Jadi, jangan remehkan lagu yang kamu putar berulang kali. Bisa jadi, di balik alunan nada dan liriknya, tersimpan kekuatan yang membantu kamu bertahan. Sebab pada akhirnya, musik bukan cuma bunyi yang lewat di telinga, melainkan energi yang menjaga hati tetap utuh.
CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Richelle Skornicki dan Adegan Dewasa di Pernikahan Dini Gen Z: Antara Akting dan Perlindungan Anak
-
Mungil tapi Memikat: Parfum Roll On yang Wajib Ada di Tas Kamu
-
Dirut Terra Drone Tersangka, Safety Kantor Wajib Dievaluasi
-
Baru di Kursi Bupati, Ardito Wijaya Kena OTT Bersama 4 Orang Lainnya
-
Hak Asasi Manusia, tapi Milik Siapa?
Artikel Terkait
-
Memahami Protes Gen Z di Nepal, Larangan Media Sosial dan "Nepo Baby': Apa Sih Itu?
-
Hipdut, Genre Baru yang Bikin Gen Z Ketagihan Dangdut
-
The Panturas Tuai Kritik: Tolak Pestapora karena Freeport, Tapi Manggung di Event Sponsor Sama
-
Mengekspresikan Diri Lewat Nada: Musik sebagai Bahasa Gen Z
-
Makan Sambil Nonton Jadi Gaya Hidup Baru Gen Z
Lifestyle
-
4 Rekomendasi Tablet Layar 12 Inci Paling Worth It untuk Kerja Harian, Produktivitas Naik 10 Kali
-
Vivo X200T Siap Meluncur Awal Tahun 2026, Ukuran Compact dan Performa Kencang
-
Ketika Meme Menjadi Senjata Bullying Digital: Batas Antara Lucu dan Melukai
-
4 Rekomendasi HP Terbaik 2025 dengan Harga Rp 2 Jutaan, Chipset Kencang dan Baterai Awet
-
Padepopan: Festival Baru yang Menghidupkan Kembali Ruang Budaya Depok
Terkini
-
Bukti Nyata Seni Inklusif: Arif Onelegz dan Lauren Russel Buktikan Setiap Tubuh Bisa Menari
-
Jalani Laga Genting untuk Lolos, Garuda Muda Harapkan Keajaiban Timnas Era STY Kembali Terjadi!
-
Banjir Aceh-Sumatera: Solidaritas Warga Lari Kencang, Birokrasi Tertinggal
-
Mengenal Neophobia: Ketika Rasa Takut pada Hal Baru Menjadi Hambatan
-
Cillian Murphy Diincar Kembali Main dalam Film Ketiga 28 Years Later