Di era digital ini, TikTok bukan lagi sekadar platform hiburan. Bagi anak muda, TikTok telah menjadi semacam "kompas" gaya hidup, yang sering kali memaksakan standar estetika dan kesuksesan yang sulit dijangkau.
Kita bisa melihatnya, dari berbagai konten yang menampilkan segalanya tampak sempurna, kamar yang estetik, skincare routine, morning routine, cara berpakaian, tempat makan, badan yang ideal, hingga gaya hidup super produktif yang seolah tanpa cela. Namun, semua itu seringkali hanya tampilan yang sudah difilter.
Dibalik layar, tidak sedikit orang yang merasa tertekan dan Lelah karena harus terus-menerus mengejar standar yang mustahil. Mereka tampil “keren di luar,” tapi sebenarnya merasa “capek di dalam.”
Siapa yang tidak pernah tergoda ingin punya kamar minimalis putih abu-abu dengan pencahayaan hangat seperti yang sering muncul di TikTok? Atau merasa insecure karena outfit kita “biasa aja” dibanding OOTD cewek-cewek Korea di FYP?
Algoritma TikTok yang canggih terus-menerus menyajikan konten yang terasa personal, membuat kita selalu melihat cuplikan kehidupan ideal. Di platform ini, hal-hal sederhana seperti minum kopi, menyusun to-do list, atau makan sarapan pun harus terlihat menarik. Bahkan, aktivitas seharian perlu dikemas dalam bentuk video dengan musik latar yang sedang tren, supaya bisa dinikmati penonton.
Di balik konten-konten yang menampilkan gaya hidup ideal, ada fenomena lain yang tak kalah kuat: "racun TikTok". Ini adalah istilah populer yang merujuk pada video-video ulasan produk, unboxing, atau haul yang begitu meyakinkan dan menarik. Algoritma TikTok dengan cerdas menyajikan konten ini secara personal, seolah-olah produk tersebut memang solusi untuk masalah yang sedang kita alami.
Banyak yang tergoda untuk membeli barang yang sebenarnya tidak dibutuhkan, hanya karena melihat ulasan dari pengguna lain. Kalimat seperti "TikTok made me buy it" menjadi tren, menggambarkan betapa kuatnya pengaruh konten ini dalam mendorong perilaku konsumtif. Kita mungkin awalnya hanya ingin melihat-lihat, namun akhirnya tergoda untuk membeli skincare viral, pakaian yang sedang tren, atau dekorasi kamar yang estetik, hanya karena terhipnotis oleh video yang menarik.
Fenomena ini membuktikan bahwa TikTok bukan hanya mempengaruhi gaya hidup secara visual, tetapi juga secara materi. Ini membuat banyak orang terjerumus dalam siklus konsumerisme yang melelahkan, di mana kita terus-menerus merasa "kurang" dan harus membeli lebih banyak agar bisa merasa "up-to-date" atau bahkan "keren" sesuai standar yang ada.
Masalah utama muncul ketika semua standar ini berubah menjadi sebuah beban. Kita dipaksa untuk hidup bukan untuk dinikmati, melainkan untuk dipertontonkan. Kesenangan pribadi jadi nomor dua; yang terpenting adalah bagaimana hidup kita terlihat "keren" di mata orang lain.
Inilah bahaya sesungguhnya: standar yang selalu berganti itu memiliki dampak serius pada kesehatan mental. Kita terus-menerus merasa berada di bawah bayang-bayang ketidakcukupan. Perasaan "aku tidak cukup keren," "aku tidak sebahagia mereka," atau "hidupku tidak sesukses mereka" menjadi bisikan yang terus-menerus menghantui.
Perasaan ini menghasilkan tekanan batin yang tiada henti, yang perlahan-lahan merusak kesejahteraan emosional. Jika dibiarkan, kondisi ini dapat berkembang menjadi burnout, kondisi kelelahan ekstrim secara fisik dan mental, serta hilangnya rasa jati diri, karena kita terlalu sibuk mencoba menjadi orang lain yang kita lihat di layar.
Pada akhirnya, standar hidup yang paling sehat bukanlah yang terlihat sempurna di media sosial, melainkan yang membuat kita merasa nyaman, bahagia, dan utuh. Tidak masalah jika kamu tidak bisa ngopi di kafe mahal, tidak apa jika hidupmu tidak se-"keren" yang ditampilkan di layar atau belum punya waktu buat ngevlog harian.
Hidupmu tetap akan baik baik saja. Kamu tetap akan keren, tanpa perlu mengikuti tren. Standar yang ada di TikTok boleh saja jadi inspirasi, tapi jangan biarkan ia jadi tekanan. Nikmati hidupmu, bukan karena terlihat bagus di kamera, tapi karena memang kamu yang menjalani dan merasakannya sendiri.
Baca Juga
-
Tanggal Tayang Sudah Dekat! Intip Keseruan Screening 'Perempuan Pembawa Sial' di Yogyakarta
-
Nongkrong di Kalangan Mahasiswa: Lebih dari Sekadar Kumpul
-
Mengekspresikan Diri Lewat Nada: Musik sebagai Bahasa Gen Z
-
Lebih dari Sekadar Horor, Film The Conjuring: Last Rites Menjadi Penutup Kisah
-
Kotabaru: Bukan Sekadar Kafe Estetik, Ini Jantung 'Kalcer' Anak Muda Jogja!
Artikel Terkait
-
Bisa Jadi Obat Rindu, Ini Prompt Bikin Foto Polaroid Bersama Orang yang Sudah Tiada
-
Tutorial Lengkap Foto Geser Bersambung: Bikin Instagram-mu Jadi Galeri Seni Bergerak
-
Polaroid Gemini AI: Kreativitas atau Objektifikasi Terselubung
-
Lagu Populer di TikTok: Mengapa Cepat Viral Tapi Mudah Tergantikan?
-
Tutorial Bikin Foto di Lift Jadi Realistis Pakai Gemini AI yang Viral, Prompt Siap Pakai
Lifestyle
-
Foto AI Tak Senonoh Punggawa Timnas Indonesia Bikin Gerah: Fans Kreatif Atau Pelecehan Digital?
-
Playlist Mellow yang Bikin Tenang Meski Lagi Enggak Sedih
-
Minta Maaf Soal Ghosting Unpad, Zita Anjani Malah Ketahuan 'Dibantu' ChatGPT?
-
Mendung Itu Lebih dari Cuaca: Terlena Sementara dan Menemukan Tenang
-
Bosen Sama Foto Biasa? Ini 10 Prompt Simpel Buat Bikin Foto Polaroid Estetik Pakai Gemini AI!
Terkini
-
Bukan Cuma Gagal Lolos, Timnas U-23 Juga Ditikung Tim Medioker ASEAN di Jalur Runner-up Terbaik
-
Pertarungan Penuh Darah di Serial Last Samurai Standing, Ini Teasernya
-
Rizky Ridho Batal Aboard? Manajemen Persija Jakarta Bocorkan Fakta Kejutan
-
Gerald Vanenburg, Timnas Indonesia U-23 dan Kegagalannya yang akan Terus Diungkit
-
Elegan dan Sarat Pesan Sosial, Dian Sastro Pakai Pin One Piece di TIFF 2025