Hikmawan Firdaus | Thedora Telaubun
Foto Seseorang Sedang Memegang Polaroid (Pexels/Lisa from Pexels)
Thedora Telaubun

Tren foto polaroid bareng idola atau artis lewat Gemini AI lagi ramai banget di TikTok dan Instagram. Netizen berlomba-lomba pamer potret estetik bareng bias idol atau artis favorit mereka seolah-olah momen itu nyata. Hasilnya memang bikin melongo karena terlihat realistis, rapi, dan bahkan susah dibedakan mana editan dan mana yang beneran. 

Sekilas, tren ini memang terlihat fun dan kreatif. Orang bisa bikin kenangan maya bareng idola tanpa perlu keluar uang atau antre fan meeting. Frame polaroid yang identik dengan nostalgia pun menambah kesan hangat.

Namun di balik keseruan aktivitas itu, muncul satu pertanyaan yang bikin mikir banget: Kalau wajah idol sudah bebas pasang di frame digital, apakah kegiatan ini pure kreativitas netizen atau sudah masuk ke ranah objektifikasi? Idola yang aslinya manusia dengan batasan, dengan bebas jadi “bahan” manipulasi visual tanpa izin, dan beberapa tidak terkontrol.

Fenomena ini bukan sekadar soal bercanda. Dalam penelitian berjudul “Eroticizing Men: Cultural Influence on Advertising and Male Objectification”, dijelaskan bahwa objektifikasi muncul ketika seseorang diperlakukan hanya sebagai tubuh atau penampilan fisik, bukan sebagai individu yang utuh.

Di TikTok, misalnya, ada pengguna yang mengunggah polaroid AI dengan idol cowok yang tampak seperti merangkul atau mencium. Konten ini menuai tawa, tapi sekaligus kritik karena dianggap merendahkan.

Isunya mirip sama deepfake: foto asli diubah jadi fantasi personal orang lain. Bedanya, tren polaroid ini terkesan lebih ringan, lebih lucu. Padahal esensinya sama karena idol dijadikan objek yang bisa dipindah-pindah, diatur pose dan ekspresinya, seakan mereka nggak punya hak untuk bilang “iya” atau “tidak.”

Siapa Saja Bisa Jadi Korban

Hal yang menarik, kebanyakan idola yang dipakai adalah laki-laki. Ini bikin isu gender ikut kebawa. Objektifikasi yang sering dikaitkan dengan perempuan, di tren kali ini kebanyakan idol laki-laki yang menjadi sasaran. 

Di sisi lain, ada juga fans yang bilang tren ini harmless, cuma buat seru-seruan aja dan hanya untuk konten. Tapi tetap saja, rasa “kedekatan” yang dibangun AI ini bisa bikin batas antara realita dan fantasi makin tipis.

Kalau publik terbiasa melihat idol laki-laki ditampilkan dalam situasi yang menyerempet pelecehan dan menganggapnya lucu, itu bisa menormalisasi perilaku yang seharusnya tidak wajar. Apalagi, masih ada anggapan keliru bahwa cowok tidak bisa dilecehkan, sehingga isu ini sering tidak dianggap serius.

Sejatinya siapa pun bisa menjadi korban objektifikasi tanpa melihat latar belakangnya, tingkat pendidikannya, berapa usianya, apapun gendernya. Objektifikasi bisa terjadi kapan saja dan di mana saja.

Teknologi: Kreatif tapi Berisiko

Selain itu, tren ini juga menyoroti sisi gelap dari kemajuan teknologi. AI seperti Gemini yang awalnya dirancang untuk memudahkan pekerjaan manusia, mengasah kreativitas, ternyata bisa dipakai untuk hal-hal yang berpotensi merugikan diri sendiri maupun orang lain. Risikonya makin besar, termasuk penyebaran konten palsu atau manipulasi citra publik figur.

Ujung-ujungnya, tren ini bikin kita bertanya lagi: sampai di mana kreativitas digital bisa berjalan tanpa melanggar privasi dan martabat orang lain? Apakah polaroid AI cuma sekadar gaya baru di media sosial, atau pengingat halus bahwa objektifikasi bisa bertransformasi lewat teknologi: lebih estetik tapi tetap problematis?

Dunia digital selalu menawarkan cara baru buat merasa dekat dengan idola. Hanya saja, kedekatan yang sehat harusnya tetap menyisakan ruang hormat bukan sekadar menjadikan mereka properti visual.

Kreativitas itu penting, tapi jangan sampai melupakan batasan dan martabat orang lain.