Banyak perusahaan menggunakan seni untuk membangun citra positif. Praktik ini dikenal dengan istilah artwashing yang kini mulai disorot publik.
Istilah ‘artwashing’ mungkin belum begitu familiar, tapi praktiknya bisa jadi sudah sering kita temui tanpa sadar. Yuk kenalan lebih jauh dengan apa itu artwashing, bagaimana bentuknya, dan kenapa kita perlu lebih peka saat menikmati karya seni di ruang publik.
Apa Itu Artwashing?
Artwashing berasal dari gabungan dua kata, art (seni) dan whitewashing (menutupi kesalahan). Melalui Wiktionary, artwashing adalah praktik menggunakan seni dan seniman dengan cara positif untuk mengalihkan perhatian atau melegitimasi tindakan negatif individu, organisasi, negara, atau pemerintah terutama yang berkaitan dengan gentrifikasi.
Tujuannya bukan hanya mendukung seni, tapi untuk mengalihkan perhatian dari isu-isu yang sebenarnya lebih penting dan mendesak. Di sinilah seni berubah fungsi, dari sarana ekspresi dan kritik, menjadi alat branding dan pencitraan.
Bentuk-Bentuk Artwashing yang Sering Terjadi
Artwashing tidak selalu mudah dikenali, apalagi ketika dibungkus dalam estetika yang menarik dan pesan sosial yang terdengar mulia. Salah satu bentuk paling umum adalah sponsorship acara seni oleh perusahaan besar. Mereka mendanai event yang terlihat mendukung kreativitas anak muda, tapi diam-diam menggunakan itu sebagai cara untuk memperbaiki reputasi mereka.
Ada juga program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) yang memakai seni sebagai jubah. Perusahaan dengan catatan lingkungan atau sosial yang buruk membuat pameran seni bertema pelestarian alam, misalnya, untuk menunjukkan bahwa mereka peduli. Padahal, langkah-langkah konkret untuk memperbaiki dampak dari kegiatan mereka sendiri sering kali tidak dilakukan.
Kenapa Artwashing Bisa Jadi Masalah?
Masalah utama dari artwashing adalah ia bisa menutupi isu nyata yang seharusnya dikritisi. Publik diajak untuk menikmati keindahan dan keseruan, bukan untuk bertanya siapa di baliknya dan apa motifnya. Seni yang seharusnya bisa menjadi ruang untuk menyuarakan kebenaran, justru dibungkam secara halus melalui kemasan visual dan hiburan.
Dari sisi etika, artwashing juga meragukan. Apakah seniman tahu siapa yang mendanai karya mereka? Apakah mereka punya ruang untuk menyampaikan kritik, atau justru harus mengikuti narasi "positif" dari sponsor? Ketika seni dibatasi hanya untuk yang aman dan enak dipandang, fungsi sosial dan politik seni ikut tergerus.
Kasus-Kasus Artwashing
Di Indonesia, salah satu contoh yang sempat ramai diperbincangkan adalah Festival Pestapora 2025. Festival ini disorot karena sempat mendapat dukungan dari PT. Freeport Indonesia sebelum akhirnya memutuskan kerja sama di hari kedua dengan perusahaan tambang besar yang punya catatan panjang soal kerusakan lingkungan.
Beberapa musisi yang awalnya dijadwalkan tampil pun memilih mundur, sebagai bentuk protes terhadap praktik artwashing yang dianggap menutupi masalah serius dengan kemasan seni.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Sebagai masyarakat yang semakin melek isu sosial dan budaya visual, kita bisa lebih kritis dalam menikmati karya seni dan event budaya. Bukan berarti harus anti seni, tapi perlu tahu siapa yang berdiri di baliknya dan apa dampaknya bagi masyarakat luas.
Pertama, cari tahu siapa sponsornya. Apakah perusahaan itu punya rekam jejak yang layak dipercaya? Kedua, perhatikan apakah event seni tersebut melibatkan komunitas lokal atau hanya sebagai alat branding satu arah. Ketiga, dukung seniman independen dan proyek seni yang berbasis komunitas, yang lebih sering menyuarakan realitas tanpa dikendalikan oleh kepentingan bisnis.
Dan yang tak kalah penting, gunakan media sosial dan opini publik sebagai alat pengawasan. Kritik yang membangun, informasi yang terbuka, dan kesadaran kolektif adalah kekuatan utama dalam melawan praktik artwashing.
Artwashing bukan sekadar soal seni. Ia adalah refleksi bagaimana kekuatan visual bisa dimanfaatkan untuk mencitrakan, menutupi, dan bahkan menggusur.
Karena di balik gambar yang indah dan panggung yang megah, bisa saja ada realitas yang sedang disembunyikan.
Baca Juga
-
Segera Tayang! Intip 4 Fakta Menarik di Balik Film 'Belum Ada Judul'
-
Jangan Salah Pilih Warna! 4 Cat Rambut untuk Kulit Sawo Matang
-
Pesona Nicole Parham Jadi Wajah Baru Ipar Adalah Maut Gantikan Davina
-
Disebut Sebagai Putra Mahkota Keraton Solo, Intip Profil KGPH Purbaya
-
Pembalap Asal Sleman Raih Juara European Talent Cup Catalunya 2025!
Artikel Terkait
-
Mengintip Pameran Seni UNFOLD: Saat Furnitur Jadi Seni dan Identitas Lokal
-
Art Jakarta 2025: Lebih dari Sekadar Pameran, Ini Cara Mendukung Ekosistem Seni Indonesia
-
Art Jakarta 2025 Siap Berpameran di JIExpo Awal Oktober 2025
-
Hoki Setahun! Orang Ini Bagikan Cerita Bisa Ketemu Raisa Hanya dengan Bayar Rp 10 Ribu
-
Momen Dul Jaelani Minta Izin Ahmad Dhani Bawakan Lagu Dewa 19 di Pestapora 2025
Lifestyle
-
Bukan Cuma Pisang Goreng, Ini 10 'Jodoh' Makanan Manis yang Bikin Kopimu Makin Nikmat
-
Bukan Cuma Mawar atau Melati: 7 Tanaman 'Aneh' dari Penjuru Dunia yang Bikin Melongo
-
Chic sampai Street Style, Intip 4 Look OOTD Edgy Khas Yeonjun TXT Ini!
-
Setelah Viral, Clara Shinta Berjanji Tak Lagi Umbar Urusan Pribadi
-
Anti-Monoton! 4 Padu Padan Outfit Layering ala Kim Se Jeong yang Effortless
Terkini
-
Marceng Berpeluang Dipanggil, Lini Tengah Timnas SEA Games Bakal Ungguli Tim-Tim Rival
-
Adultifikasi di Medsos Bikin Anak Kehilangan Masa Kanak-Kanak
-
1159 Tahun Merti Ngupit, Warga Klaten Menjawab Krisis Air dengan Tradisi
-
Debut di Dunia Film, Ariel Noah Ungkap Alasan Terima Peran Dilan ITB 1997!
-
Cinta dan Karier Tetap Jalan, Amanda Manopo Tetap Bersinar Usai Menikah