Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani
Ilustrasi peregangan. (Shutterstock)

Manusia terdiri dari kesatuan jiwa dan raga atau disebut juga sebagai psychosomatic unity. Artinya, bagian yang satu dengan yang bagian yang lainnya saling memengaruhi. Pengaruh yang dirasakan oleh jiwa kita akan berpengaruh pula terhadap raga kita, demikian pula sebaliknya.

Kesatuan jiwa dan raga ternyata sangat kuat, apa yang dipikirkan dalam jiwa kita maka raga kita akan memberikan reaksi. Begitupun dalam olahraga prestasi terutama dalam pertandingan, atlet yang melakukan gerakan-gerakan fisik tidak mungkin akan menhindarkan diri dari pengruh-pengaruh mental-emosional yang timbul dalam olahraga tersebut (Harsono, 1988:242).

Hal yang sama juga disampaikan oleh Sugarman (2008:1) bahwa hubungan antara jiwa, raga sangatlah erat. Apapun yang ada dalam jiwa, raga kita sebetulnya bereaksi.

Kalau kita amati lebih mendalam, penampilan para atlet sebenarnya merupakan hasil gabungaan dari beberapa faktor. Faktor tersebut adalah kemampuan fisik, teknik, taktik atau strategi, dan mental. Latihan mental memegang peranan penting untuk menghasilkan keadaan mental yang Tangguh.

Pelatihan kemampuan mental dalam olahraga harus didesain untuk menghasilkan kondisi dan keterampilan psikis para atlet yang akan mengarah kepada peningkatan performa dalam olahraga (Rushall, 2008).

Pada akhir tahun 1970-an Amerika Serikat sudah menerapkan psikologi rerkait dengan latihan mental dalam olahraga. Dasar pemikirannya adalah faktor yang berhubungan dengan penampilan sukses dalam pertndingan sangat terkait erat dengan ketahanan mental atlet.

Bahkan Kuan & Roy (2007) menjelaskan bahwa salah satu faktor yang sering berhubungan dengan performa yang baik dalam sebuah kompetisi adalah ketahanan mental dan ketahanan mental tersebut termasuk faktor keterampilan mental yang harus dimiliki oleh atlet.

Atlet yang memiliki ketahanan mental berarti atlet tersebut memiliki keterampilan mental yang baik untuk menghadapi berbagai tantangan dan tekanan yang dihadapinya, terutama ketika dala pertandingan.

Supaya atlet, memiliki ketahanan mental, atlet harus dilatih mentalnya dalam proses latihan yang sistematis, kontinu, dan berkesinambungan. Alasannya adalah ketahanan mental bukanlah sesuatu yang diwariskan kepada atlet, tetapi mental harus dipelajari.

Ungkapan tersebut diperkuat oleh pendapat Loehr (1982: 10) bahwa ketahanan mental itu dipelajari, tidak diwariskan selanjutnya Vealey (1988) menjelaskan bahwa kemampuan mental layaknya kempuan fisik, bisa dipelajari dalam tingkatan tertentu.

Oleh karena itu, latihan keterampilan mental merupakan sebuah pendekatan edukatif di mana kemampuan mental dipandang sebagai suatu hal yang bisa dipelajari. Kedua pendapat tersebut menegaskan bahwa latihan mental seperti layaknya latihan fisik agar bisa dikuasai dengan baik oleh atlet harus diajarkan oleh pelatih dan dipelajari oleh atlet.

Dengan demikian, latihan keterampilan mental tidak begitu saja bisa dikuasai oleh atlet setelah atlet yang bersangkutan menguasai beberapa kemampuan fisik, teknik, mental dalam proses Lathan.

Bahwa keterampilan mental berhubungan dengan teknik kognitif-somatik yang secara umum meliputi latihan visualisasi, latihan gerak visual, terapi kognitif, bio-feedback, meditasi relaksasi otot secara progresif.

Dengan demikian latihan keterampilan mental harus diberikan kepada atlet sesuai dengan kebutuhannya, dengan menggunakan berbagai metode dan teknik latihan yang tepat.[1]

[1] Komarudin, Psikologi Olahraga, Cet. Ke-6, (Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2016), hlm.1-5.

Oleh: Maghfirotul Munawaroh / Mahasiswa Jurusan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah Fakultas Tarbiyah Ilmu Keguruan Kampus IAIN Pekalongan
Email: anasajjalah44@gmail.com