Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | nurul fauziyyah
Belajar di Rumah (shutterstock)

\Kondisi mengharuskan kita semua mengubah pola hidup, kerja, aktivitas, bahkan belajar, dan lainnya. Wabah Corona yang sangat tak disangka mampu melumpuhkan sebagian besar rutinitas bahkan tak hanya di Indonesia, namun hampir di seluruh dunia, serta dalam jangka waktu yang cukup lama. Semua tak terduga namun kita harus tetap berusaha melaluinya dengan semangat serta tak lupa berdoa.

Social distancing, self-isolating, menggeser pula pola pembelajaran yang tadinya mayoritas offline menjadi online, Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang diterapkan oleh hampir seluruh lembaga pendidikan seperti sekolah dan perguruan tinggi di Indonesia. Hal tersebut berjalan sesuai dengan Surat Edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 4 Tahun 2020 dan SE Mendikbud Nomor 36962/MPK.A/HK/2020 tentang pembelajaran jarak jauh.

Pergeseran pola pembelajaran ini tak jarang menimbulkan kesenjangan dan berbagai permasalahan yang solusinya mungkin bagi sebagian pendidik menjadi momok yang membingungkan. Banyak keluhan berdatangan kepada lembaga pendidikan, pendidik, bahkan KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) mulai dari jenjang pendidikan dasar hingga pendidikan di perguruan tinggi.

Keluhan yang muncul hampir semua seragam yaitu beban kuota untuk mengikuti pembelajaran online, beban tugas yang menumpuk dan saling berdatangan dari para pendidik, kesulitan sinyal ataupun media untuk pembelajaran online, semangat belajar yang rendah, bahkan ketidaksesuaian harapan peserta didik akan pembelajaran online yang diterimanya. Mungkin mereka memang ikut kelas namun hati mereka tak demikian karena pendidik hanya menyampaikan materi tanpa peduli kondisi pun isi hati dari mahasiswa (siswa) atau mahasiswa (siswi).

Survei online yang dilakukan KPAI didasarkan karena banyaknya keluhan yang diterima. Hasil dari survei yang dilakukannya cukup mengejutkan karena justru sebagian besar (76,7 persen) mengaku tidak menyukai pembelajaran jarak jauh dan hanya sebagian kecil (23,3 persen) responden (peserta didik) yang menganggap PJJ menyenangkan. Hal tersebut seharusnya menjadi bahan introspeksi untuk semua pihak karena pergeseran pola pembelajaran ini mungkin mengagetkan sebagian peserta didik, orang tua, pun pendidik.

Jika belajar dari resposiveness yang dilakukan oleh KPAI, ada baiknya pendidik juga melakukan evaluasi dengan meminta feedback dari peserta didik atas pembelajaran online yang telah dilakukan guna mencapai kegiatan belajar online yang lebih efektif dan menyenangkan. Jangan hanya mau didengar, namun juga harus mau mendengar.

Hal tersebut secara tidak langsung juga akan membuat peserta didik merasa ‘memiliki’ kelas, merasa dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan dalam kelas dengan cara menyumbangkan pikiran dan penilaiannya melalui jawaban-jawaban atas kuesioner pertanyaan yang diberikan oleh pendidik.

Hal tersebut didukung oleh Adult Learning Theory (Andragogy) dari Malcom S. Knowles, yang menyatakan bahwa orang dewasa (mahasiswa/i) dalam proses belajar itu merasa perlu dilibatkan atau berpartisipasi aktif dalam pembelajaran. Mengerti kondisi dan kebutuhan peserta didik dalam pembelajaran akan membantu pencapaian kesuksesan dalam proses belajar yang dilakukan.

Evaluasi dan feedback dari peserta didik juga sangat dibutuhkan guna mencapai keseimbangan kelas antarpendidik dan peserta didik. Keberhasilan pembelajaran entah offline ataupun online akan terealisasi ketika support system dari semua pihak (peserta didik, pendidik, orang tua, civitas akademik lainnya) saling memahami kondisi satu sama lain.

“Jangan saling menyalahkan. Jangan pula larut dalam penderitaan. Semua beban ada untuk menguatkan orang-orang yang sedang mencari pengetahuan. Jangan kalah oleh rasa lelah dalam penyesuaian pada proses pembelajaran. Saling support bersama, tetap bahagia, serta belajar dan berdoa, karena semua pasti ada hikmahnya”

nurul fauziyyah