Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | M. Aris Munandar
Ilustrasi - korupsi. ANTARA/Shutterstock/am.

Memperingati hari “Antinarkoba Sedunia” yang jatuh pada 26 Juni 2020 ini tentunya kita harus lebih progresif dalam berpikir, khususnya dalam memberikan solusi terhadap penanganan kasus narkotika yang semakin merajalela.

Salah satu prinsip penegakan hukum yang bisa dijadikan corong pemulihan dan penyelesaian kasus narkotika adalah prinsip keadilan restoratif (restorative justice) yang secara konsepsional telah diperbincangkan sejak dahulu namun pelaksanaannya masih belum terlihat secara jelas di Indonesia.

Indonesia sebagai Negara Hukum

Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) menyatakan secara jelas dan tegas bahwa egara Indonesia adalah Negara Hukum.

Menurut Abdul Mukhtie Fadjar dalam bukunya “Sejarah, Elemen dan Tipe Negara Hukum”, bahwa negara hukum ialah negara yang  susunannya diatur dengan sebaik-baiknya dalam undang-undang sehingga segala kekuasaan dari alat-alat pemerintahannya didasarkan hukum.

Rakyat tidak boleh bertindak sendiri-sendiri menurut semuanya yang bertentangan dengan hukum. Sehingga sudah seyogianya Pemerintah Indonesia membuat regulasi terkait narkotika tersebut untuk dijadikan sebagai dasar hukum dalam hal pemidanaan terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika serta pengedaran narkotika di masyarakat. 

Sebagai upaya mewujudkan negara hukum secara komprehensif dan berkeadilan, maka untuk mengakomodir penyelesaian persoalan narkotika, negara Indonesia telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika (UU narkotika).

Dijelaskan pada huruf b bagian konsideran menimbang dalam UU narkotika tersebut bahwa untuk meningkatkan derajat kesehatan sumber daya manusia Indonesia dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat perlu dilakukan upaya peningkatan di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, antara lain dengan mengusahakan ketersediaan narkotika jenis tertentu yang sangat dibutuhkan sebagai obat serta melakukan pencegahan dan pemberantasan bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan Prekursor narkotika.

Adanya kebijakan Peraturan Perundang-undangan tersebut, secara politis merupakan suatu usaha dari negara untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang tentram dan sejahtera secara batiniah maupun lahiriah.

Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh L.J. Van Apeldoorn dalam buku Donald Albert Rumokoy dan Frans Maramis yang berjudul Pengantar Ilmu Hukum, bahwa “Tujuan hukum adalah mengatur pergaulan hidup secara damai. Dengan demikian, keberadaan suatu hukum jika dilihat dari pandangan Apeldoorn yaitu adanya ketertiban dan ketentraman (orde en rust) masyarakat.”

Akan tetapi, meskipun aturan tersebut telah dibuat, namun persoalan penanganan penyalahgunaan narkotika yang selama ini telah dihadapi oleh bangsa Indonesia dianggap belum memadai. Hal itu sangat berkaitan dengan dinamika sosial yang sangat cepat dan perkembangan jenis obat-obatan yang mendahului aturan tersebut menjadi persoalan utamanya.

Aktualisasi dari peraturan yang ada juga menjadi faktor utama sehingga penyalahgunaan narkotika masih acap kali terjadi, tentunya kita kembali lagi kepada persoalan ketertinggalan peraturan dengan dinamika sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat di Indonesia.

Sehingga para praktisi hukum juga kewalahan dalam menangani kasus penyalahgunaan narkotika jenis baru yang belum diatur secara tegas dalam UU narkotika tersebut.

Sedangkan Indonesia adalah negara hukum yang harus patuh pada asas legalitas (nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali) yakni tidak ada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan (Vide: Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).

Realitas dan Penegakan Hukum Tindak Pidana narkotika

Pengaturan terhadap penyalahgunaan narkotika secara realitas tidak memberikan efek jera terhadap pelaku tindak pidana. Hal ini dibuktikan berdasarkan data dari United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) yang dikutip oleh World Drugs Report tahun 2019 menunjukkan bahwa setidaknya ada 271 juta jiwa di seluruh dunia atau 5,5 % dari jumlah populasi global penduduk dunia dengan rentang usia antara 15 sampai 64 tahun telah mengonsumsi narkoba, setidaknya orang tersebut pernah mengkonsumsi narkotika di tahun 2017.

Sedangkan menurut data dari Badan narkotika Nasional (BNN) Republik Indonesia menunjukkan Angka Prevalensi terhadap narkotika mulai tahun 2011 sampai dengan tahun 2019 terjadi penurunan yang cukup signifikan. Pada tahun 2011 prevalensi pada angka 2,23 %, pada tahun 2014 prevalensi pada angka 2,18 %, pada tahun 2017 pada angka 1,77 % dan pada tahun 2019 pada angka 1,80 % (Sumber: Press Realease Akhir Tahun Badan narkotika Nasional Tahun 2019).

Di samping itu, menurut Data Angka Prevalensi Nasional tahun 2019 terhadap orang yang pernah memakai narkotika menjadi berhenti menggunakan dan tidak mengkonsumsi narkotika kembali, terjadi penurunan sekitar 0,6 % dari jumlah 4,53 juta jiwa (2,40 %) menjadi 3,41 juta jiwa (1,80 %), sehingga hampir sekitar satu juta jiwa penduduk Indonesia berhasil diselamatkan dari pengaruh narkotika.

Dari data tersebut terlihat pada tahun 2019 terjadi peningkatan sebesar 0,03 %, dimana kenaikan ini disebabkan oleh adanya peningkatan penyalahgunaan narkotika jenis baru (New Psychoactive Substances) yang di tahun-tahun sebelumnya belum terdaftar di dalam lampiran UU narkotika dan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 13 Tahun 2014 tentang Perubahan Penggolongan narkotika. (Sumber: Ibid.).

BNN bersama Polri, TNI, Bea Cukai dan Imigrasi di tahun 2019 telah berhasil mengungkap sebanyak 33.371 kasus narkotika dengan sejumlah barang bukti yaitu narkotika jenis ganja dengan total sebesar 112,2 ton, Sabu seberat 5,01 ton, Ekstasi sebanyak 1,3 juta butir dan PCC sebanyak 1,65 juta butir yang disita dari sejumlah tempat di seluruh Indonesia.

Adapun tersangka kasus narkotika yang berhasil ditangkap BNN dan Polri di tahun 2019 sebanyak 42.649 orang pelaku. Di samping itu tahun 2019 BNN berhasil memetakan 98 jaringan sindikat narkotika, sebanyak 84 jaringan sindikat narkotika telah berhasil diungkap BNN.

Sebanyak 84 jaringan tersebut terdiri dari 27 jaringan sindikat narkoba internasional, 38 jaringan dalam negeri/jaringan baru dan 19 jaringan sindikat narkoba yang melibatkan warga binaan/napi yang berperan sebagai pengendali jaringan di 14 Lembaga Pemasyarakatan. (Sumber: Ibid.).

Salah satu wilayah di Indonesia yang mengalami banyak kasus tindak pidana penyalahgunaan narkotika terdapat di Kota Makassar. Berdasarkan data yang diberikan oleh Kapolres Pelabuhan Makassar pada tahun 2019, mengungkapkan bahwasanya sepanjang tahun 2018 hingga 2019 tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang ditangani Polres Pelabuhan Makassar ada 148 laporan, dan tersangkanya ada 202 laki-laki dan 9 orang perempuan, dengan barang bukti 570, 967 gram sabu, 5,8 Kg ganja, 4,7200 gram ekstasi dan 100 butir obat daftar G. (Sumber: https://makassar.tribunnews.com/).

Data lain juga diberikan oleh Direktur Narkoba Polda Sulawesi Selatan yang menyatakan bahwa sepanjang tahun 2019 terjadi 1760 kasus, di mana terjadi peningkatan 40 kasus dari tahun 2018. Sedangkan pelaku yang ditangkap sebanyak 2.386 orang dan 2 orang ditembak mati (Sumber: https://news.detik.com/).

Berdasarkan data tersebut menunjukkan adanya suatu realitas sosial bahwa betapa pun banyaknya regulasi dan peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh pemangku kebijakan dalam hal ini Pemerintah RI beserta legislatif, tetap saja tindak pidana narkotika mengalami fluktuasi secara signifikan hingga hari ini.

Bahkan terdapat banyak kasus narkotika telah memasuki rana pejabat publik dan profesi hukum bahkan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Sebagai contoh pada Putusan  Nomor: 85-K/PM III-16/AD/VII/2018 yang diputuskan oleh Hakim Pengadilan Militer III-16 Makassar.

Pada putusan tersebut terpidana berinisal TAN yang berpangkat Wadannu Pimu Kima melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika dengan tanpa hak dan melawan hukum menjadi perantara dalam jual beli narkotika Golongan I.

Adapun jenis narkotika yang diperjual belikan adalah jenis shabu-shabu sebanyak satu paket kecil seberat 730.389 mg. Pelaku dihukum dengan pidana pokok penjara selama 5 (lima) tahun, denda sebanyak Rp. 1.000.000.000 (Satu Miliar Rupiah) sebagaimana Pasal 114 ayat (1) UU narkotika serta pidana tambahan dipecat dari dinas militer sebagaimana Pasal 10 KUHP. 

Sebelumnya dalam putusan tersebut dijelaskan bahwa terpidana pernah dijatuhi sanksi disiplin karena menggunakan narkotika, bahkan pada saat pelaku ditangkap pada kasus pengederan narkotika tersebut, terpidana positif menggunakan narkotika.

Namun kelemahan dalam putusan tersebut, Hakim tidak memerintahkan agar pelaku direhabilitas padahal dalam bukti pemeriksaan menunjukkan bahwa terpidana merupakan juga pecandu. Hal ini menunjukkan betapa narkotika sangatlah besar dampaknya dalam kehidupan bermasyarakat bahkan dalam pertahanan maupun keamanan negara.

Lebih dari itu, terdapat juga fakta bahwa penegakan hukum di Indonesia melalui sistem peradilan pidana yang dianut masih belum mampu mengatasi dan menekan peradaran maupun penggunaan narkotika. Tentunya hal ini terjadi tidak dengan disengaja, sebagaimana diketahui penegakan hukum di Indonesia masih serupa pendekatan the law and order approach (ketertiban dan hukum) atau biasa disebut law enforcement.

Pendekatan ini sudah punah di Amerika Serikat sebab menitikberatkan pada penegakan hukum melalui pihak kepolisian, sehingga sejak tahun 1958 terdapat gagasan terkait sistem peradilan pidana (criminal justice system). Di mana pada masa inilah terjadi perubahan penegakan hukum menuju pada pendekatan sistem pada peradilan pidana.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Mardjono Reksodipoetro dalam buku Romli Atmasasmita yang berjudul “Sistem Peradilan Pidana Kontemporer” bahwa  sistem peradilan pidana memiliki 4 (empat) komponen yakni kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan.

Keadilan Restoratif sebagai Alternatif Pemidanaan

Pada dasarnya UU narkotika juga merupakan bentuk abstraksi manifestasi dari prinsip restorative justice atau restorasi, restorative justice merupakan alternatif atau cara lain peradilan kriminal dengan mengedepankan pendekatan integrasi pelaku di satu sisi dan korban/masyarakat di lain sisi sebagai satu kesatuan untuk mencari solusi serta kembali pada pola hubungan baik dalam masyarakat.

Prinsip dasar restorative justice adalah terjadi pemulihan kepada mereka yang menderita akibat kejahatan, pelaku memiliki kesempatan terlibat dalam pemulihan keadaan (restorasi), dan pengadilan berperan untuk menjaga ketertiban umum dan masyarakat berperan untuk melestarikan perdamaian yang adil.

Selain itu, UU narkotika juga mengandung prinsip atau asas minimal universal/minimum khusus, yang berarti penjatuhan hukuman terendah (minimal) yang bersifat umum (universal) yang berlaku bagi setiap perkara dengan jenis hukumannya masing-masing.

Pengertian “maksimal spesial” adalah penjatuhan hukuman tertinggi (maksimal) yang bersifat khusus (spesial) atas masing-masing, ketentuan undang-undang yang berbeda atau telah ditentukan maksimalnya.

Atas dasar asas tersebut maka dijamin adanya kepastian hukum dalam penerapan jenis pidana dalam hukum pidana artinya dengan asas tersebut tentu “mengikat para Hakim pada batas minimal dan batas maksimal penghukuman” yang akan dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana korupsi.

Atas dasar asas penghukuman tersebut artinya hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman yang lebih rendah dari batas minimal dan juga Hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman yang lebih tinggi dari batas maksimal hukuman yang telah ditentukan undang-undang.

Hukum yang adil tentunya harus memberikan perlakuan yang sama terhadap setiap orang, sebagaimana pandangan J.P. Plamenatz yang merumuskan keadilan sebagai “giving every man his due, and the setting, either by compensating the victim of wrong or by punishing the doer of it (memberikan setiap orang apa yang semestinya, dan membenarkan kesalahan baik dengan memberikan ganti rugi kepada korban maupun dengan memberikan hukuman dari kesalahan itu).

Tujuan pada prinsip restorative justice adalah untuk mereformasi criminal justice system yang selama ini tumbuh dan berkembang pada masyarakat Indonesia. Konsep criminal justice system dinilai telah mengalami ketertinggalan dalam hal pemidanaan.

Selain karena sistem pemidanaannya yang terbilang masih mengedepankan asas primum remidium, juga menjadikan hukuman penjara sebagai jalur yang utama. Padahal dalam konteks kekinian, sistem pemidanaan bukan lagi bertumpu pada pelaku melainkan telah mengarah pada penyelerasan antara pelaku maupun korban dalam sebuah perkara pidana.

Prinsip-prinsip restorative justice setidaknya terbagi atas 3 (tiga) poin besar, antara lain:

1) Membuat pelanggar bertanggungjawab untuk memperbaiki kerugian yang ditimbulkan oleh kesalahannya;

2) Memberikan kesempatan kepada pelanggar untuk membuktikan kapasitas dan kualitasnya di samping mengatasi rasa bersalahnya secara konstruktif, melibatkan para korban, orang tua, keluarga besar, sekolah dan teman sebaya;

3) Menciptakan forum untuk bekerjasama dalam hal menyelesaikan masalah, menetapkan hubungan langsung dan nyata antara kesalahan dengan reaksi sosial yang formal.

Kesulitan dalam penegakan prinsip restorative justice pada sistem peradilan di Indonesia selama ini diakibatkan oleh sikap penegak hukum yang bertendensi formalistik. Sehingga untuk menguak nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat masih sangat sulit.

Sedangkan dalam mayoritas peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia pada era dewasa ini telah banyak yang berorientasi pada restorative justice, seperti yang terdapat dalam UU narkotika yang secara fundamental mengatur adanya rehabilitas terhadap pelaku sekaligus korban dalam hal penyalahgunaan narkotika (mengkonsumsi narkotika secara ilegal).

Sistem rehabilitasi tersebut bukan hanya harus melalui putusan pengadilan, melainkan dalam segala tingkatan upaya hukum dapat saja dilakukan rehabilitasi tersebut seperti dalam tingkat penyidikan, penuntutan, hingga pemeriksaan di pengadilan.

Terdapat beberapa program dalam konsep keadilan restoratif, yaitu a) Mediasi; b) Victim-Offender Mediation Programmes (Mediasi Penal); c) Restoratif Conference (Conferencing); d) Family and Community Group Conferencing; e) Informal Mediation (Mediasi Informal); f) Traditional Village or Tribal Moots; g) Reparation Negotiation Programmes; h) Circles (Lingkaran); dan i) Reparative Board/Youth Panel.

Secara universal dapat dipahami bahwa prinsip restorative justice pada dasarnya menjunjung tinggi nilai-nilai pemulihan dan keseimbangan di antara para pihak yang berperkara dalam konteks pidana.

Yang awalnya hanya mengedepankan pemidanaan dengan tujuan memenjarakan seorang pelaku tindak pidana, sekarang dengan adanya konsepsi restorative justice akan senantiasa mengedepankan nilai musyawarah untuk menghasilkan keputusan yang mengedepankan kepentingan bersama di luar jalur hukum maupun dengan jalur hukum. Terkhusus dalam perkara narkotika dengan adanya rehabilitasi sebagai upaya penyembuhan pelaku penyalahguna narkotika.

Jika dilihat secara konsepsional, maka pendekatan keadilan restoratif sangat relevan untuk diterapkan di Indonesia, hal ini dikarenakan Indonesia merupakan negara yang mayoritas masyarakatnya menyukai musyawarah dan majemuk.

Berabad-abad lamanya Indonesia menganut yang namanya hukum adat, dalam hukum adat menitikberatkan musyawarah mufakat pada setiap penyelesaian perkara. Oleh karena itu, keadilan restoratif bukanlah hal baru bagi Indonesia, sehingga sangat efektif jika diterapkan walaupun tentunya harus melalui banyak penyesuaian dengan kultur sosial.

Oleh: M. Aris Munandar / Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin dan Aktivis Hak Asasi Manusia

M. Aris Munandar