Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | M. Aris Munandar
Ilustrasi buku (Shutterstocks)

Tokoh Nasional dan Buku

Buku menjadi netra bagi seluruh insan akademikus di jagat raya ini. Melalui buku, kita mampu memperoleh ilmu dan pengetahuan yang luar biasa. Banyak ahli yang lahir karena kecintaannya terhadap buku.

Keberadaan buku sebagai lahan ilmu pengetahuan membuat bangsa yang dulunya buta akan kebebasan berpikir menjadi lebih mantap dalam memperjuangkan kebebasannya. Seperti tutur Bung Hatta, “Aku rela dipenjara asalkan bersama buku, karena dengan buku, aku bebas”.

Bung Hatta yang kala itu gencar-gencarnya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan terkenal sebagai seorang yang sangat visioner di asingkan oleh Belanda ke Digul, Banda Naire. Satu yang tidak ditinggalkan oleh Bung Hatta adalah buku yang dibawanya, sehingga buku itu menjadi teman abadi baginya.

Kisahnya mengajarkan kita bahwa dengan buku setiap manusia dapat berpikir bebas walaupun dalam keadaan yang terpenjara secara lahiriah. Bahkan dalam keadaannya itu, Bung Hatta menciptakan sebuah buku yang berjudul “Alam Pikiran Yunan”. Merupakan mahar Bung Hatta disaat menikahi Rahmi Rahim pada 18 November 1945.

Sosok Bung Hatta hanya sebagian kecil dari banyaknya tokoh dunia yang eksis karena kecintaannya terhadap buku, tak terkecuali para ahli fisikawan seperti Albert Einstein dan ahli filsafat seperti Aris Toteles  yang menjadikan buku sebagai jalan hidup mereka.

Negeri yang buta akan ilmu pengetahuan layaknya bunga yang haus akan air dan cahaya. Keberadaanya hanya sebatas keindahan di mata, namun begitu lapuk dalam bertahan. Bunga yang indah membutuhkan tenaga untuk mempertahankan dirinya, yaitu air dan cahaya matahari.

Begitu pula suatu bangsa membutuhkan ilmu pengetahuan untuk bertahan dari ancaman penjajahan pikiran dan fisik. Indonesia sebagai negara yang pernah mencicipi pahitnya penjajahan telah memberikan suatu legacy bahwa perjuangan untuk bebas dari tekanan negara penjajah bukanlah melalui gerakan militer semata, melainkan juga membutuhkan perlawanan dengan ilmu pengetahuan.

Tokoh bangsa Indonesia telah membuktikan bahwa hanya dengan bukulah kita mampu dikenang dan dipandang oleh bangsa luar. Adalah B.J. Habibie, Presiden ketiga Indonesia itu sangat gemar membaca buku. Karena kebiasaannya itulah negara luar salah satunya Jerman tertarik untuk memanfaatkan ilmunya di bidang penerbangan.

Kecintaan Habibie pada buku bukan hanya pada karya non fiksi tetapi juga karya fiksi seperti karya Jules Verne. Ia menjadi tokoh bangsa yang sangat akrab dengan dunia penerbangan.

Bahkan melalui kecintaannya pada bukulah sehingga ia menemukan sebuah teori yang diberi nama crack propagation theory atau teori perambatan keretakan. Teori ini merupakan model matematika yang berguna untuk memprediksi perilaku perambatan retak di struktur pesawat hingga tingkat atom (Sumber: https://tirto.id/).

Masih terdapat segudang tokoh nasional yang memiliki kecintaan terhadap buku. Namun, keberadaan mereka hanya akan menjadi sebuah kenangan jika para generasi yang akan datang justru redup dalam dunia literasi.

Produktivitas dalam menggali ilmu pengetahuan melalui buku sangat menjadi penentu masa depan bangsa dan negara ini. Apalagi kemajuan teknologi yang mulai memasuki era Revolusi 4.0 menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara yang harus ikut serta dalam lingkaran persaingan dagang secara internasional.

Kita hanya akan mampu bersaing dengan negara berkembang dan maju lainnya jika modal ilmu dan pengetahuan para generasi negeri ini telah mumpuni serta dipersiapkan secara komprehensif. Tetapi, kembali lagi, banyak generasi terlena dengan kemajuan teknologi yang ada.

Banyak dakta menunjukkan bahwa di masa sekarang kebanyakan generasi milenial menghabiskan waktu dengan gadget dan melupakan dunia literasi. Tentu bukan tanpa sebab, tawaran fitur menarik seperti game online telah merebak di dunia kawula muda.

Tidak sedikit yang kecanduan dan bahkan sangat sulit untuk melepaskan kegiatannya itu. Sehingga muncul suatu pertanyaan, mau di bawah ke mana bangsa ini di masa yang akan datang? Terlebih lagi saat ini kita sedang dilanda bencana nonalam yaitu pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) semakin menambah ujian para kaum muda saat mengisolasi diri, antara memilih tetap produktif membaca buku atau justru terlena dengan kenyamanan sesaat yang ditawarkan oleh teknologi.

Hari Buku Nasional dan Pandemi Covid-19

Pandemi Covid-19 masih mengalami peningkatan kasus secara signifikan. Wabah yang merebak sejak Maret 2020 di Indonesia itu terasa tidak ada habisnya. Sehingga Pemerintah telah mengambil sejumlah kebijakan untuk menangani penyebarannya. Menurut data dari Tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, hingga 17 Mei 2020 menunjukkan kasus positif sebanyak 17.514 orang, sembuh 4.129orang, dan meninggal 1.148 orang (Sumber: https://covid19.go.id/).

Angka tersebut tentunya menggambarkan adanya eskalasi kasus baru Covid-19 yang terjadi di Indonesia. Keadaan ini kemudian menyebabkan beberapa aktivitas yang seharusnya dilakukan di luar rumah, terpaksa dilakukan di dalam rumah termasuk kegiatan pendidikan. 

Sebelumnya Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).

PP tersebut dimaksudkan sebagai aturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (UU Kekarantinaan Kesehatan) yang memuat ketentuan mengenai Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Tujuannya adalah agar penyebaran Covid-19 dapat ditekan sehingga keadaan bisa pulih kembali.

Selama isolasi diri di rumah, tentunya sangat membosankan atau bahkan cenderung membuat kita lebih pasif dalam melakukan aktivitas fisik. Termasuk malas untuk membaca buku. Jika melihat kisah tokoh nasional sebelumnya, kita akan sangat merasa malu. Sebab mereka dalam keadaan berjuang dan tekanan bangsa penjajah masih tetap mempertahankan kebiasaan positifnya yakni membaca buku.

Sedangkan di masa ini, akses untuk mendapatkan bahan bacaan baik itu artikel maupun buku sudah tersedia sangat luas di dunia internet. Tetapi kembali lagi, bahwa tawaran internet bukan hanya hal-hal yang sifatnya tekstual tetapi juga visual seperti game online. Hal itulah yang perlu dilawan oleh para kaum intelektual bangsa Indonesia. Jangan sampai dalam keadaan pandemi Covid-19 kemalasan membaca menurunkan produktivitas kaum muda untuk memperoleh pengetahuan dari buku.

Momentum peringatan Hari Buku Nasional (Harbuknas) yang jatuh pada 17 Mei 2020 sudah sepatutnya dijadikan oleh kalangan akademisi dan khalayak sosial sebagai ajang untuk merefleksikan diri. Harbuknas merupakan suatu momen yang mengisyaratkan bahwasanya pentingnya membaca buku. Harbuknas pertama kali diperingati pada tahun 2002 hingga hari ini.

Peringatan Harbuknas yang selalu dilaksanakan tangga 17 Mei tersebut bertepatan dengan berdirinya Perpustakaan Nasional Republik Indonesia pada 17 Mei 1980. Sejarah sehingg adanya Harbuknas itu disebabkan oleh adanya kalangan masyarakat yang tergolong dalam kelompok pecinta buku menginisiasi agar diadakannya Harbuknas tersebut. Dengan alasan, bahwa melalui hal demikian diharapkan minat baca masyarakat Indonesia bisa mengalami eskalasi. Mengingat angka produktivitas membaca negara Indonesia sangatlah rendah dibanding negara lain.

Melansir dari Detik, berdasarkan data dari Programme for International Student Assessment (PISA) rilisan Organisation for Economic Co-Operation and Develompent (OECD) tahun 2015 menunjukkan bahwa Indonesia berada pada urutan 62 dari 70 negara yang disurvei (bukan 72 karena 2 negara lainnya yakni Malaysia dan Kazakhstan tak memenuhi kualifikasi penelitian) dalam hal budaya literasi.

Sedangkan melansir dari Tirto.id, data dari  United Nations of Educational (UNESCO) pada tahun 2016 mempublikasikan hasil studi yang diberi nama “The World’s Most Literate Nations” menunjukkan bahwa kebiasaan membaca orang Indonesia berada pada urutan 60 dari 61 negara.  

Jika merujuk pada data tersebut terlihat jelas bahwa budaya literasi khususnya membaca buku di Indonesia masih sangat rendah yakni sekitar 0,001 persen. Dalam artian dari 1000 penduduk hanya 1 orang yang membaca buku dengan sungguh-sungguh.

Hal ini tentunya menjadi masalah yang perlu untuk dibenahi secara bertahap dan cepat. Sebab tidak ada waktu lagi bagi negara yang telah berusia 74 tahun dan akan memasuki usia 100 tahun pada 2045 mendatang untuk menunggu budaya literasi ini meningkat.

Dibutuhkan program Pemerintah yang dapat memicu dan memacu minat membaca bagi masyarakat Indonesia dan para kawula muda pada khususnya. Sebab masa depan bangsa tergantung pada sejauh mana pendidikan generasi saat ini.

Produktif di Tengah Pandemi

Produktif tidak hanya diartikan sebagai kegiatan yang sifatnya membaca buku, tetapi lebih luas lagi adalah menciptakan suatu karya yang bersifat abadi. Socrates (470-399 SM) sebagai seorang filsuf terkenal dengan pemikirannya dan bahkan memiliki pengaruh terhadap pemikiran Eropa. Socrates terkenal bukan karena buku yang diciptakannya, akan tetapi melalui buku dari muridnya yang bernama Plato.

Dari buku-buku yang ditulis oleh Plato, Socrates dijadikan sebagai tokoh utama di dalamnya. Salah satu buku Plato yang terkenal adalah  “Matinya Socrates” dari naskah asli “Phaedo” dalam “The Republic and Other Works”. Dalam buku tersebut Plato menjadikan Socrates sebagai tokoh utamanya.

Hal ini memberikan sebuah makna, bahwa orang hanya akan dikenang jika ia menulis atau ditulis melalui sebuah buku. Pemikiran hanya akan menjadi milik seseorang dan tidak dimanfaatkan orang lain jika tidak disebar melalui wadah berupa buku.

Momentum pandemi Covid-19 sudah selayaknya dijadikan sebagai kegiatan menghabiskan waktu untuk berkarya. Karya tersebut bisa berupa tulisan ilmiah maupun non ilmiah, baik buku atau yang lainnya. Buku adalah salah satu karya yang sangat direkomendasikan untuk dibuat. Sebab merupakan karya abadi bagi setiap penulisnya.

Terlebih lagi melalui buku kita bisa berbagi ilmu pengetahuan dan membangun peradaban yang bersesuaian dengan konstitusi Indonesia.

Sebagaimana dalam Pasal 28C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI 1945) termaktub ketentuan bahwa “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.

Ketentuan itu juga bersesuaian dengan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) bahwa “Setiap orang berhak untuk mengembangkan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya sesuai dengan martabat manusia demi kesejahteraan pribadinya, bangsa, dan umat manusia.

Berdasarkan ketentuan di atas, maka ketika kita menghasilkan sebuah karya berupa buku itu berarti kita telah memenuhi hak warga negara untuk memperoleh manfaat ilmu pengetahuan yang diberikan melalui buku tersebut.

Apalagi Pemerintah telah membuat program yang sangat relevan dengan dunia literasi, salah satunya adalah Gerakan Sekolah Menulis Buku (GSMB) yang dimulai pelaksanaannya sejak tahun 2018 oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, dan masih banyak lagi program Pemerintah lainnya yang sangat berorientasi pada peningkatan budaya literasi bangsa Indonesia. Namun, semua itu hanya akan bisa terlaksana sebagaimana mestinya jika ada peran masyarakat yang konsisten dalam memperjuangkan budaya literasi tersebut.

Pada akhirnya, pemikiran seseorang hanya akan dikenang jika diaplikasikan dengan tulisan. Jika tidak, ia akan hilang di tengah masyarakat. Sebagaimana tutur Pramoedya Ananta Toer: “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian”. Ungkapan tersebut mengajarkan bahwasanya setiap orang mempunyai hak dan potensi untuk menulis, sebab menulis adalah jalan untuk menuju keabadian.

Oleh: M. Aris Munandar, SH. / Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin, dan Penulis Buku

M. Aris Munandar