Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Shalsa Azzahra
Jaringan listrik dan logo PLN. [Antara]

Berdasarkan laporan keuangan yang dipublikasikan di situs Bursa Efek Indonesia, kerugian yang dialami PLN dipicu kenaikan beban usaha 12%. Menurut data, beban terbesar masih berasal dari beban bahan bakar dan pelumas yang naik dari Rp 85,28 triliun menjadi Rp 101,88 triliun. PLN juga menderita pembengkakan kerugian karena selisih kurs. Jika pada kuartal III-2017 rugi dari selisih kurs mencapai Rp 2,23 triliun, maka pada kuartal III-2018 menjadi Rp 17,33 triliun.

Kepala Divisi Pengadaan Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi PLN Chairani Rachmatullah, sempat mengungkapkan betapa sensitifnya harga minyak dan nilai tukar rupiah terhadap keuangan perusahaan listrik tersebut. Ia membeberkan setiap pelemahan rupiah sebesar Rp 100/US$, maka beban PLN bertambah Rp1,2 triliun. Sementara jika setiap kenaikan harga minyak (ICP) US$ 1 per barel, maka beban keuangan yang ditanggung oleh BUMN setrum ini bertambah Rp 268 miliar.

Melihat sisi lain dari kerugian yang dialami oleh PLN, pada bulan Juni 2020, banyak protes dari masyarakat akibat lonjakan tagihan listrik, yang tidak biasanya sesuai tagihan. Dan PLN mengakui bahwa lonjakan tagihan tersebut dipicu oleh dampak dari perhitungan rata-rata pada 3 bulan terakhir, selama penerapan PSBB.

Karena penerapan kebijakan social distancing maka petugas catat meter tidak bisa mengunjungi pelanggan untuk melakukan pencatatan meter secara langsung. Karena itu, tagihan listrik didasarkan pada penghitungan rata-rata penggunaan listrik 3 bulan terakhir (Desember, Januari, Februari).

Pada bulan Maret, masyarakat sudah melakukan PSBB sehingga terjadi kenaikan konsumsi listrik akibat banyaknya aktivitas pelanggan di rumah. Hal ini menyebabkan terjadinya selisih antara jumlah penggunaan riil dengan pencatatan (yang didasarkan angka rata-rata selama tiga bulan).

Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), memastikan tarif tenaga listrik untuk pelanggan nonsubsidi tidak mengalami kenaikan.

Besaran tarifnya tetap sama sejak 2017, begitu pula bagi golongan pelanggan bersubsidi. Tarif listrik pelanggan nonsubsidi untuk pelanggan tegangan rendah (TR), yaitu pelanggan rumah tangga daya 1.300 Volt Ampere (VA) sampai 5.500 VA, pelanggan bisnis daya 6.600 sampai 200 kVA, pelanggan pemerintah daya 6.600 sampai 200 kilo Volt Ampere (kVA) ke atas, dan penerangan jalan umum  tidak naik atau tetap sebesar Rp 1.467 per kilo Watt hour (kWh). Khusus untuk pelanggan rumah tangga 900 VA-RTM, tarifnya Rp 1.352/kWh.

Dan untuk pelanggan tegangan menengah (TM) seperti pelanggan bisnis, industri, pemerintah dengan daya lebih dari 200 kVA, dan layanan khusus, besaran tarifnya sebesar Rp 1.115/kWh. Sedangkan bagi pelanggan tegangan tinggi (TT) yang digunakan industri daya lebih dari sama dengan 30 ribu kVA ke atas, tarifnya Rp 997/kWh.

Tarif tenaga listrik untuk 25 golongan pelanggan bersubsidi lainnya juga tidak mengalami perubahan, besaran tarifnya tetap. Kepada pelanggan ini tetap diberikan subsidi listrik, termasuk di dalamnya pelanggan yang peruntukan listriknya bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), bisnis kecil, industri kecil, dan kegiatan sosial.

Karena petugas catat meter tidak melakukan pengecekan rutin akibat kebijakan PSBB, maka banyaknya kesalahan pencatatan tagihan listrik di beberapa rumah, dan pihak PLN menyatakan dalam akun sosial media, jikalau ada kesalahan yang memang tidak wajar, maka PLN mengaku siap menerima keluhan pelanggan.

Terutama jika pelanggan merasa ada ketidaksesuaian antara tagihan dengan tarif yang ditagihkan dengan meteran di rumah. Bagi pelanggan yang ingin melakukan pengecekan terhadap catatan pemakaian listrik bisa dilakukan melalui Aplikasi PLN Mobile, website www. pln.co.id, dan contact center PLN 123.

Oleh : Shalsa Azzahra / Mahasiswa S1 Pendidikan Ekonomi, Universitas Negeri Jakarta.

Shalsa Azzahra