Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Hendy Setiawan (DPP UGM)
Ilustrasi pemilu (Unsplash/5Element)

Membicarakan politik tidak akan pernah ada putus-putusnya. Hal tersebut mengingat selama manusia itu masih ada maka politik akan terus mewarnai peradaban umat manusia. Politik akan selalu menyertai kehidupan manusia sehingga tidak akan ada manusia yang hidup tanpa politik.

Sejak manusia lahir sebenarnya menjadi dasar jika pada saat itu manusia masuk dalam fase awal politik misalnya ketika lahir orang tua kita akan mencarikan akta kelahiran, mencari pembaharuan kartu keluarga atau lainya yang bersinggungan dengan kebijakan negara dalam urusan administrasi kependudukan sebagai pengakuan atas warga negara.

Ketika sudah mencapai usia 17 tahun maka wajib membuat KTP, dan bahkan ketika mati masih berurusan dengan politik. Begitu dekatnya aktivitas manusia yang sering kali tidak disadari bahwa itu semua selalu bersinggungan dengan politik. Konsep politik tersebut menjelaskan jika di mana ada manusia maka berarti ada politik yang hidup.

Tidak ada definisi tunggal terhadap politik dan bahkan ilmuwan politik telah menyepakati bahwa makna politik sangatlah beragam tergantung perspektif yang kita gunakan dalam melihatnya. Pada intinya titik penekanan konsep politik selalu berurusan dengan kekuasaan (power) yang hingga akhirnya melahirkan kewenangan (authority).

Ada salah satu ahli politik yang mendifinisikan politik dan itu sangat merefleksikan dengan realitas saat ini yang ada. Namanya adalah Harold Lasswell yang mengutarakan bahwa politik adalah “who gets what, when and how”. Memahami definisi Lasswell aspek “siapa” berkaitan dengan aktor ataupun pelaku politik. Sementara aspek “apa” adalah objek yang diperebutkan oleh aktor dan itu berkaitan dengan sumber daya, alokasi nilai-nilai, dan lainya. Sedangkan aspek “kapan” dan “bagaimana” berkaitan dengan persoalan waktu dan strategi yang digunakan untuk mencapai tujuanya atas dasar kepentingan.

Politik Harold Lasswell, Pandemi,  dan Pilkada 9 Desember

Berangkat dari konsep dasar politiknya Harold Lasswell maka penyelenggaraan Pilkada 9 Desember 2020 di tengah pandemi dapat diurai. Perhelatan akbar demokrasi di masa pandemi terkesan dipaksakan dan berbau kepentingan. Sesungguhnya publik dengan kedaulatanya sebagai warga negara meminta agar kontestasi politik ditunda sampai setidaknya pandemi ini melandai atau dapat dikendalikan. Faktanya di saat pandemi ini terus bergejolak naik justru DPR, Pemerintah, dan penyelenggara pemilu tetap kolot pada keputusanya. Pilkada yang akan berlangsung di satu sisi memang sebagai mekanisme memilih wakil-wakil rakyat namun di sisi lain keselamatan publik juga menjadi hal yang sangat rentan.

Penyelenggara pemilu, eksekutif dan legislatif akan menjamin jika dalam proses pentahapan Pilkada baik dari awal sampai akhir akan menjunjung tinggi protokol kesehatan. Memang hal tersebut wajib hukumnya melakukan pesta elektoral saat bencana terjadi. Namun kandidat wakil rakyat telah mempertontontan pelanggaranya terhadap pentahapan Pilkada akan protokol kesehatan kepada publik. Memang sangatlah miris di mana Pilkada ini nampaknya belum siap namun terlihat dipaksakan.

Sebetulnya kontestasi politik tersebut tidak terlalu mendesak dilakukan. Terlebih pesta tersebut melibatkan publik mulai dari kampanye, pendidikan politik, pencoblosan di hari H dan masih banyak lagi pentahapan yang melibatkan publik. Lalu pertanyaanya jika Pilkada ini ditunda sampai batas hari yang belum bisa ditentukan maka munculah pertanyaan “siapa yang akan dirugikan atas penundaan ini?” dan lebih jauh lagi “ ada apa dibalik Pilkada 9 Desember 2020 yang menaruhkan kualitas demokrasi politik?”. Berkontestasi sama halnya berani berpikir rasional di atas kepentingan dan kebaikan bersama.

Jika memang tidak memungkinkan maka sebaiknya tidak patut bersikukuh dengan keputusanya yang nanti akan menimbulkan korban berjatuhan. Bukankah pemilu menjadi mekanisme kontestasi yang legal untuk melindungi warga bangsa?

Pentahapan Pilkada Edukasi Politik

Pemilihan umum yang akan dihelat 9 Desember mendatang akan mempengaruhi kualitas hasil pemilihan. Hal ini dikarenakan keadaaan kedaulatan rakyat belum sepenuhnya dapat digunakan secara merdeka, bebas, jujur, dan berkualitas. Pasalnya pandemi virus ini masih menjadi fokus perhatian yang serius dibandingkan mengikuti tahapan pemilu.

Ditambah lagi pentahapan pemilihan kepala daerah yang nantinya akan didominasi melalui jalur virtual baik itu debat calon, pendidikan politik, pengundian, dan lainya. Hal ini dinilai tidaklah efektif karena bagi pemilih dalam kawasan rural mayoritas masih gagap dengan teknologi. Oleh karenanya secara kualitas pemilih otomatis akan menjadi buruk dan akibatnya menghasilkan pemimpin yang tidak cakap.

Bukankah pemimpin berkualitas dihasilkan oleh pemilih yang berkuaitas pula? Harus dipahami jika memilih adalah persoalan membangun masa depan warga bukan membangun karir atas dasar kepentingan kelompoknya.

Selanjutnya berkaitan dengan pemilihan umum maka tidak luput dari bagian sebagai pendidikan politik. Hal ini dikarenakan masih banyak masyarakat awam yang tipe budaya politiknya masuk ke dalam klaster budaya politik parokial bukan pastisipan.

Implikasinya adalah pendidikan politik harus benar-benar dilakukan dan hukumnya wajib. Baik itu melalui debat kandidat, kampanye, pengutaraan visi misi, sosialisasi program dan lainya agar pemilih mengerti betul siapa yang akan dipilih dan alasan rasionalnya apa pemilih tersebut memilihnya.

Keberhasilan pendidikan politik secara virtual terhadap masyarakat menjadi hal yang harus direalisasikan. Namun nampaknya publik memiliki fokus perhatian akan kesehatan dalam mengatasi pandemi bukan persoalan elektoral.  Suara-suara publik memang idealnya harus diakomodir karena ini menagnut tatanan sistem politik demokrasi. Mandataris publik sebagai kedaulatan tertinggi dan elit tidak boleh mengambil kebijakan dengan mengindahkan suara publik.

Refleksi Elektoral dan Pandemi Virus

Publik hanya bisa berharap jika pemangku kepentingan harus meninjau kembali akan penyelenggaraan pemilihan 9 Desember mendatang. Kondisi dan situasi ini harus benar-benar dimaklumi jika pemilihan mendatang bukan hal yang sangat mendesak dilakukan. Ada persoalan yang jauh amat penting yakni bersinggungan dengan masalah kesehatan. Tidak ada penawaran yang lebih baik dari kesehatan warga negara namun pemilihan umum dapat ditunda ke tahun depanya.

Sudah saatnya sebagai wakil-wakil rakyat menyadari jika mereka bekerja atas nama rakyat. Kebaikan dan kehendak bersama harus dijunjung tinggi. Legitimasi pemangku kepentingan berada dititik kepercayaan publik. Saling menyadari, memahami bahwa pandemi ini sangat berbahaya dan jangan sampai menambah penderitaan rakyat akibat pandemi.

Situasi ini menjadi momentum emas bagi elit negara untuk peka terhadap apa yang dibutuhkan warga negara. Perbaikan kesehatan, ekonomi, sosial harus perlu dibangun karena saat ini sektor tersebut lumpuh. Tidak ada yang lebih penting dibandingkan itu semua. Penuhi kebutuhan warga negara baru lakukan ritual elektoral setelah kondisi publik stabil.  

Hendy Setiawan (DPP UGM)