Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | wahid kurniawan
Novel Catatan Harian Sang Pembunuh

Di film-film bertema pembunuhan atau thriller, kita kerap mendapati momenn ketika seorang pembunuh terjebak dalam hidup yang penuh rasa bersalah. Setelah menahun menjalani hidup sebagai pembunuh, pada akhirnya, tinggalah rasa bersalah menghantui pikirannya.

Ia jadi tak tenang, gelisah, dan kesulitan tidur. Akan tetapi, di mata tokoh novel ini, Kim Byeong-su, hal tersebut sama sekali tak benar. Bagi veteran pembunuh berantai seperti dia, rasa bersalah pada dasarnya adalah perasaan yang lemah. Ketakutan, amarah, dan kecemburuanlah perasaan yang kuat. Perasaan-perasaan inilah yang membuat tidurmu tak nyenyak.

Baiklah, kita boleh tak sepakat dengan ucapannya tersebut. Apalagi, demi mendapati fakta bahwa dia adalah seorang pria tua usia 70 tahun yang menderita Alzheimer atau demensia. Dan, sebagai pengidap demensia, pendapat Kim Byeong-su seperti racauan selintas lalu yang sebentar-sebentar terlupakan.

Fakta ini lantas menjadikan novel ini menarik. Ditulis menggunakan format jurnal yang tak menunjukkan kejelasan waktu, narator sekaligus Kim Byeong-su sendiri mengisahkan kehidupan di masa senjanya.

Dalam hitungannya, terdapat tiga fase kehidupan yang dijalani Kim Byeong-su: Masa remaja atau ketika ia kali pertama membunuh, sehabis remaja atau ketika gencar-gencarnya ia menjadi pembunuh berantai, dan masa kini atau ketika ia berhenti membunuh sama sekali.

Soal yang terakhir, pembaca sudah diberitahu di bagian awal, bahwa ia sudah 25 atau 26 tahun tak melukakan pembunuhan. Dan di masa senjanya ini, ia mencoba menjalani hari-harinya sebagai pria tua biasa bersama anak tirinya, Eun-hee, yang selalu menjaganya mengingat dirinya mengidap demensia yang dari waktu ke waktu tampak mengkhawatirkan.

Segalanya pun barangkali bakal berlangsung lancar, kalau suatu hari ia tak bersepeda dan menabrak mobil milik Park Ju-tae, seorang pengusaha estat.

Pertemuan itu menerbitkan kecurigaan pada diri Kim Byeong-su, bahwa pria itu pelaku pembunuhan yang meneror para wanita muda di daerah tempat tinggalnya. Masalah lantas menjemput titik runyamnya dalam hidup Kim Byeong-su, begitu ia mengetahui putri tirinya, Eun-hee, menjalin hubungan dengan lelaki itu.

Kim Byeong-su tak ingin hal itu terjadi, tentu saja. Ia khawatir, putri tirinya itu menjadi korban selanjutnya. Oleh sebab itu, sebelum ia keduluan Park Ju-tae, pria tua itu ingin bergerak lebih dulu.

Di tengah proses pengusutan, pengamatan, dan upaya melancarkan aksi itulah, novel ini bergerak mendedah seberagam hal. Narator menjalin narasi tidak berurutan, tapi  di situ letak keunikannya. Sering kali, antarparagraf atau fragmen, sama sekali tak berhubungan.

Namun, agaknya penulis bukan saja ingin mengisahkan mantan pembunuh berantai ini, melainkan pula sekelumit kondisi masyarakat Korea. Disebutkan, masa jaya Kim Byeong-su sebagai pembunuh berantai berlangsung ketika rezim diktator mencengkram Korea Selatan.

Di masa-masa itu, seperti penuturan Kim Byeong-su sendiri, pembunuhan warga biasa di desa bukan sesuatu yang besar, maka lancarlah aksi pria itu dalam membantai puluhan nyawa, bahkan nyawa ayahnya sendiri.

Di samping itu, kebebasan masyarakat dibatasi oleh rezim penguasa. Kita bisa saja langsung dipancung di alun-alun, kalau sampai berujar yang bukan-bukan. Pun, mengenai tindak-tanduk kepolisian, masih menurut penuturan Kim Byeong-su, memiliki perbedaan dengan zaman di masa senjanya kini, atau setelah demokrasi mekar sebagai ideologi.

Sebelumnya, para polisi hanya tampak seperti sekumpulan orang konyol berpentungan yang tak becus mengusut kasus, mereka kerap menghentikan pengusutan suatu kasus di tengah jalan. Yang mana, kebanyakan kasus itu milik Kim Byeong-su.

Jelas saja, pria itu jumawa akan masa lalunya. Akan tetapi, kini, ia seperti menemukan karma yang menimpanya lewat demensia dan ancaman pembunuhan terhadap satu-satunya orang terdekat yang ia miliki: Eun-hee.

Usaha Kim Byeong-su bukan suatu yang mudah, kita tahu, sebab demensianya itu merenggut perlahan-lahan semua memorinya, dari yang jangka pendek sampai jangka panjang. Waktu menuntut ia lekas-lekas mencegah terbunuhnya Eun-hee, tetapi waktu pula yang memburu dan menggiringnya ke dalam jurang kekosongan ingatan.

Terang kemudian, menyelami novel ini bukan sesuatu yang datar saja. Dalam ketipisan halamannya, Kim Young-ha selaku penulis, menggerakkan kisahnya dalam tempo yang cepat, tapi ditaburi kerikil, jebakan, dan tembok penghalang.

Lewat penuturan Kim Byeong-su, penulis menarik atensi pembaca untuk turut bersimpati terhadap mantan pembunuh berantai itu, sekaligus menyuguhkan kengerian dalam lanskap pendesaan yang acap mencengkam: Hutan bambu penuh mayat di tanahnya, rumah di kaki gunung terpencil, dan desa yang tampak lesu.

Namun begitu, kekuatan novel ini sebagai novel thriller tentu tak kehilangan identitasnya, kendati disampaikan dalam format yang tak lazim. Kim Young-ha, secara baik, menyimpan jebakan bagi para pembacanya.

Dan, jebakan ini, mengantarkan pada sesuatu yang lebih kuat entakkannya: Kekosongan di dalam kepala. Sebab begitu tiba di akhir cerita, kita seperti menyesali telah membaca novel ini. Kita seolah lupa bahwa novel ini dibangun di atas celoteh dan pemikiran seorang penderita Alzhiemer.  

wahid kurniawan